Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Pertama:
Menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menjaga lisannya dari apa yang dilarang untuk diucapkan, di antara larangan-larangan tersebut dan yang banyak orang mudah terjebak masuk di dalamnya adalah ghibah, kebohongan, dan adu domba.
Ghibah adalah seorang muslim menyebutkan di dalam gunjingannya apa yang tidak disukai penyebaran dan penyebutannya.
Al Buhtan adalah dusta dalam berucap
An Namimah adalah memindahkan ucapan dari kubu satu kepada kubu lainnya agar saling bertengkar.
Ada banyak dalil yang mengharamkan semua prilaku di atas, kita cukupkan dengan menyebutkan sebagian kecil saja karena keharamannya sudah jelas:
وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
الحجرات / 12
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. Al Hujurat: 12)
Dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- berkata:
مرَّ رسول الله صلَّى الله عليه وسلم على قبرين فقال : أما إنَّهما ليُعذَّبان وما يعذبان في كبير ، أما أحدهما فكان يمشي بالنميمة ، وأما الآخر فكان لا يستتر من بوله ، قال : فدعا بعسيبٍ رطْبٍ فشقه باثنين ثم غرس على هذا واحداً وعلى هذا واحداً ثم قال لعله أن يخفف عنهما ما لم ييبسا
رواه البخاري ( 213 ) ومسلم ( 292(
“Rasulullah –shallahu ‘alaihi wa sallam- telah melewati dua kuburan, lalu beliau bersabda: “Sungguh keduanya sedang diadzab dan keduanya tidak diadzab karena dosa besar; salah satu dari mereka karena suka mengadu domba, dan yang lain karena tidak menjaga diri dari air kencingnya, lalu beliau meminta ranting basah, lalu dibelah menjadi dua, kemudian ditancapkan pada masing-masing dari keduanya, lalu beliau bersabda: “Semoga dengannya keduanya diringankan adzabnya selama masih basah”. (HR. Bukhori: 213 dan Muslim: 291)
Kedua:
Ucapan seseorang tentang orang lain: “Omongannya tidak bisa dipegang” tidak diragukan bahwa hal itu termasuk yang tidak disukai oleh pengucapnya, jika yang diucapkan itu benar maka itulah ghibah, dan jika tidak maka hal itu termasuk kedustaan.
Bagi siapa saja yang terjerumus ke dalam ghibah (menggunjing), kedustaan, atau adu domba maka wajib bertaubat dan meminta ampun kepada Allah, jika ternyata ucapan tersebut diketahui sudah sampai kepada telinga yang digunjingi, maka hendaknya ia pergi kepadanya dan meminta dihalalkan, jika tidak diketahui maka tidak perlu disampaikan kepadanya akan tetapi mintakan ampun kepada Allah, mendoakannya, memujinya sebagaimana telah menggunjing sebelumnya. Demikian juga jika diyakini kalau diberitahu justru akan menambah permusuhan, maka cukup dengan mendoakannya, memujinya dan memintakan ampun kepada Allah.
Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
من كانت له مظلمةٌ لأخيه من عرضه أو شيءٍ فليتحلَّلْه منه اليوم قبل أن لا يكون دينار ولا درهم ، إن كان له عمل صالح أُخذ منه بقدر مظلمته ، وإن لم تكن له حسنات أُخذ من سيئات صاحبه فحمل عليه
رواه البخاري ( 2317 (
“Barang siapa yang mempunyai masalah tertentu (kedoliman) dengan saudaranya, karena pencemaran nama baik, atau karena sesuatu maka hendaknya ia meminta kehalalannya pada saat itu sebelum dia tidak mempunyai emas atau perak (pada hari kiamat). Jika ia mempunyai amal sholeh, maka akan diambil sesuai kadar kesalahannya. Jika ia tidak mempunyai kebaikan, maka keburukan/dosa saudaranya dibebankan kepadanya”. (HR. Bukhori: 2317)
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Barang siapa yang telah menzhalimi seseorang dengan menuduhnya (secara dusta), ghibah, mengejeknya, kemudian bertaubat maka taubatnya akan diterima. Akan tetapi jika orang yang dizholimi itu dikenal, maka ia bersedia untuk diambil haknya, dan jika ia menuduhnya (secara dusta) atau menggunjingnya namun ia belum mendengarnya, maka para ulama mempunyai dua pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad: yang lebih kuat tidak perlu memberitahukan kepadanya bahwa ia telah menggunjing sebelumnya, bahkan dikatakan, hendaknya berbuat baik dalam gunjingannya seperti halnya telah berbuat buruk dengan gunjingan sebelumnya, sebagaimana ucapan Hasal Al Basri:
“Yang menjadi kaffarat (tebusan) ghibah (gunjingan) adalah agar anda memintakan ampun (kepada Allah) orang yang telah anda gunjingkan”. (Majmu’ Fatawa: 3/291)