Unduh
0 / 0
64,68508/05/2008

APAKAH MALAS TERMASUK MAKSIAT

Pertanyaan: 114489

Bagaimana cara kita menggabungkan ungkapan kita ‘Kalau seorang muslim (imannya) tidak bertambah, maka dia akan berkurang’ dengan ungkapan bahwa ‘ Seorang muslim kadang mengalama futur (malas) dalam ketaatan.’ Apakah malas termasuk maksiat? Kalau dia meninggal dunia dalam kondisi malas, apakah termasuk seperti orang yang bersungguh-sungguh beramal, namun mengakhiri hidupnya dalam keadaan buruk (su’ul khatimah)?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Futur adalah kemalasan dan berleha-leha
setelah semangat dan giat. Tidak diragukan lagi, hal itu merupakan penyakit
pada diri seseorang pada suatu waktu. Baik dalam masalah agama atau urusan
dunia. Hal itu merupakan tabiat yang Allah telah ciptakan. Setiap orang
muslim –bahkan setiap manusia- di dapatkan pada dirinya semangat dalam
beribadah, berakhlak nan mulia dan (semangat) dalam mencari ilmu dan
berdakwah. Kemudian setelah berjalan beberapa waktu, ditimpa kemalasan.
Sehingga semangatnya melemah untuk melakukan kebaikan yang telah
dilakukannya beralih pada kemalasan dan  ingin istirahat. Setiap orang
sesuai dengan kemalasannya akan diperhitungkan. Barangsiapa yang ketika
malas sampai meninggalkan kewajiban dan jatuh ke sesuatu yang diharamkan,
maka dia dalam bahaya besar. Maka kemalasannya menjadi suatu kemaksiatan,
harus dikhawatirkan sampai pada suul khatimah. Kami momohon kepada Allah
kebaikan.

Sedangkan jika malas melaksanakan keutaman
dan sunnah, tapi  dia tetap menjaga kewajiban, menjauhi dosa besar dan
sesuatu yang diharamkan, hanya saja waktu melakukannya (kebaikan)
berkurang   seperti dalam mencari ilmu, qiyamul lail dan membaca Al-Qur’an.
Maka kemalasannya seperti itu diharapkan hanya sesaat saja, semoga selesai
dalam waktu dekat insyaallah. Akan tetapi memerlukan sedikit cara yang
bijaksana dalam mengobatinya. Inilah yang dimaksudkan dalam riwayat Abdullah
bin Amr radhiallahu’anhuma, dia berkata:

ذُكِرَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
رِجَالٌ يَجْتَهِدُونَ فِي الْعِبَادَةِ اجْتِهَادًا شَدِيدًا فَقَالَ : (
تِلْكَ ضَرَاوَةُ الْإِسْلَامِ وَشِرَّتُهُ ؛ وَلِكُلِّ ضَرَاوَةٍ شِرَّةٌ ،
وَلِكُلِّ شِرَّةٍ ، فَتْرَةٌ فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى اقْتِصَادٍ
وَسُنَّةٍ : فَلِأُمٍّ مَا هُوَ ، وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى الْمَعَاصِي
: فَذَلِكَ الْهَالِكُ ) رواه أحمد (2/165)
وحسنه الألباني في “السلسلة الصحيحة” (رقم/2850)

“Diceritakan kepada Rasulullah
sallallahu’alaihi wa sallam tentang orang-orang yang sangat semangat sekali
dalam beribadah,  maka beliau berkata,
“Itulah puncak semangat (pengamalan) Islam
dan kesungguhannya. Setiap setiap semangat akan mencapai puncaknya, dan
setiap puncaknya akan ada masa kemalasan. Barangsiapa yang waktu malasnya
dalam batas wajar dan tetap dalam sunnah, maka dia telah menempuh jalan yang
lurus. Dan barangsiapa yang kemalasannya melakukan kemaksiatan, maka itulah
yang celaka.’ (HR. Ahmad, 2/165. Dihasankah oleh Al-Albany dalam kitab
As-Silsilah As-Shahihah, no. 2850)

Ungkapan ‘Faliammin ma huwa’ adalah bisa
kembali di waktu kemalasannya kepada asal yang agung yakni (sesuai dengan)
sunnah. Atau ia dalam kondisi di jalan yang lurus selagi masih berpegang
teguh dengan Al-Kitab dan Sunnah. Dalam sebagian redaksi lain dikatakan,
‘Faqad aflaha (sungguh dia telah beruntung)’.

Abu Abdurrahman As-Sulami rahimahullah
berkata:

“Di antara aibnya –jiwa – adalah kemalasan
yang menimpanya dalam hak-hak yang sebelumnya dilakukannya. Yang lebih aib
lagi adalah orang yang tidak memperhatikan kekurangan dan kemalasannya. Yang
lebih aib lagi, orang yang tidak tahu kemalasan dan kekurangannya. Kemudian
yang lebih aib lagi, adalah orang yang menyangka bahwa dia semangat padahal
dalam kondisi malas dan kurang. Ini adalah sikap kurang bersyukur ketika
mendapatkan taufiq dalam melaksanakan hak-hak. Karena kurang bersyukur, maka
semangat dialihkan menjadi kurang beremangat. Dia menutupi kekuarangannya
dan menyangka baik keburukannya.

Allah Ta’ala berfirman,

“Maka Apakah orang yang dijadikan (syaitan)
menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu Dia meyakini pekerjaan itu
baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan) ?” (QS. Fathir: 8)

Agar terhindar  dari itu semua adalah dengan
mengharap kepada Allah Ta’ala, senantiasa mengingat-Nya, membaca Kitab-Nya,
mengagungkan kemuliaan orang-orang Islam dan meminta didoakan oleh para wali
Allah (orang bertakwa) agar dikembalikan kepada kondisi semula. Semoga Allah
memberikan kenikmatan dibuka baginya jalan untuk berbakti dan dalam
ketaatanNya.(Uyubun-Nafsi, hal. 8)

Seorang muslim yang menunaikan hak-hak Allah
Ta’ala, menjauhi larangan-laranganNya, dia dalam kondisi kebaikan
insyaallah. Kalau malaikat pencabut nyawa datang sementara dia dalam kondisi
seperti itu, maka kabar gembira dengan mendapatkan keutamaan dan rahmat
Allah. Cukuplah dalam hatinya ada kalimat tauhid dengan merealisasikan dalam
perbuatannya.

Adapun tentang riwayat  dari Syaqiq bin
Abdullah rahimahullah yang berkata, “Abdullah bin Mas’ud menderita sakit,
maka kami menjenguknya. Kemudian dia menangis dan mengeluh sambil berkata,
‘Sesungguhnya saya tidak menangis karena sakit. Karena saya mendengar
Rasulullah sallallahu’alaih wa sallam bersabda: ‘Sakit itu sebagai penebus
dosa.’ Sesunggunya saya menangis karena saya (sakit) dalam kondisi malas,
bukan dalam kondisi semangat. Karena seorang hamba ditulis pahalanya ketika
sakit, sama pahalanya ketika dia beramal saat sehat, namun kali ini
terhalang oleh sakit.’ Dinukil oleh Ibnu Atsir dalam kitab ‘Jamiul Usul’
karangan Razin.

Riwayat tersebut tidak dapat ditafsirkan
bahwa kalau dia meninggal dunia dalam kondisi malas artinya meninggal dalam
kondisi suul khatimah. Cuma saja dia ingin berada dalam kondisi sempurna dan
berupaya agar selalu dalam kondisi terbaik. Akan tetapi tidak setiap muslim
dimudahkan meniggal dunia dalam kondisi yang dia inginkan. Yang penting
adalah Allah telah memberikan kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang
mendapatkan pahala dan kebaikan dalam firmanNya:

إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا
الصَّلاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا
خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ  (سورة  البقرة:

277)

“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan
menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
(QS. Al-Baqarah: 277)

Dan firman Allah lainnya:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا
فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ . أُولَئِكَ أَصْحَابُ
الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (سورة الأحقاف:

13-14)

“Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap
istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada
(pula) berduka cita. Mereka itulah
penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa
yang telah mereka kerjakan.” (QS.
Al-Ahqaf: 13-14)

Ibnu Qayim rahimahullah
berkata: “Pergantian kondisi bagi pelaku (amalan) adalah merupakan suatu
kelaziman. Barangsiapa yang waktu malasnya itu ke lebih dekat pada
kebenaran, tidak keluar dari kewajiban, dan tidak masuk dalam ranah yang
diharamkan, ada harapan dia cepat kembali kepada kebaikan sebagaimana yang
lalu.”

Umar bin Khattab
radhiallahu’anhu berkata, ‘Sesungguh dalam hati ini ada kondisi menerima dan
menolak. Kalau sedang menerima maka manfaatkan dengan menunaikan yang
sunnah-sunnah. Kalau sedang menolak, maka konsistenlah dengan
kewajiban-kewajiban. Dalam kondisi malas, mendung dan tertutup (hatinya) 
yang mana pelakunya mendapatkan hikmah yang tidak diketahui perinciannya
melainkan Allah. Dari sini diketahui mana yang jujur dan mana yang bohong.
Pembohong akan terbalik dan kembali ke belakang serta  kegagalan dalam
tabiat dan hawa nafsunya. Sementara orang yang jujur menunggu pertolongan
dan tidak putus asa dari rahmat Allah. Dia menghempaskan dirinya  di depan
pintu ampunan dalam kondisi mengaduh, merendah, miskin serta merasa
kekurangan. Bagaikan bejana kosong yang tidak ada apa-apa di dalamnya.
Menunggu pemilik bejana dan pembuatnya menaruh sesuatu yang dapat
memperbaikinya. Bukan disebabkan oleh seorang hamba –meskipun rasa
kekurangan ini merupkan sebab terbesar- akan tetapi ia bukan dari anda, akan
tetapi Dia-lah yang akan memberikan kenikmatan kepada anda, melepaskan dari
anda serta mengosongkan dari anda. Dia yang menghalangi antara seseorang dan
hatinya. Kalau anda telah melihat dalam kondisi dan posisi seperti ini, maka
ketahuilah bahwa Dia akan mengisi bejana anda. Kalau hati tidak ditempatkan
dalam posisi seperti ini, ketahuilah ini adalah hati yang kosong. Maka
mohonlah kepada kepada Tuhannya dan Yang diantara jemariNya agar
mengembalikan anda, mengumpulkan yang berserakan dari anda.

Sungguh apa yang diungkapan
seseorang, “Jika anda meletakkan hati bukan pada tempatnya  dan  tanpa
bejana, maka ia adalah hati yang hilang.”

Madarijus As-Salikin,
3/126.

Tidak ada kontradiksi
antara posisi orang yang terhalang mencapai kesempurnaan dengan orang yang
terkena kemalasan, dari dua sisi;

1.
Bahwa orang mukmin, kemalasannya itu sedikit
dan terjaga. Diharapakan setelah itu dapat kembali menjadi lebih semangat
dalam kebaikan. Lebih menjaga untuk mendapatkan pahala. Sehingga dapat
mengganti yang hilang kepada derajat yang lebih tinggi dan menggapai sebab
kesempurnaan.

2.
Jika masih ada perbedaan di antara
orang-orang mukmin yang masih malas sebagian, dan sebagian lainnya telah
semangat, maka itu adalah keutamaan yang Allah Ta’ala berikan untuk
membedakaan di antara derajat orang mukmin di surga.

Ibnu Qoyyim rahimahullah
berkata:

“Menyia-nyiakan waktu yang
benar menggiring anda pada lembah kekurangan. Jika seseorang menyia-nyiakan
waktunya, maka dia tidak sedang berdiri di tempantnya, tapi sedang turun ke
derajat yang lebih rendah. Kalau tidak ke depan, maka dia pasti ke belakang.
Seorang hamba pasti berjalan tidak berhenti. Mungkin ke atas, atau ke bawah,
ke depan atau ke belakang. Tidak ada dalam tabiat maupun dalam syariat
sesuatu yang sifatnya diam. Seluruhnya tak lain hanyalah fase-fase yang
berjalan cepat. Baik ke surga atau ke neraka. Maka ada yang cepat ada yang
lambat. Di depan dan di belakang. Tidak ada yang berhenti di jalan. Akan
tetapi berbeda kecepatan perjalanannya, ada yang cepat ada yang lambat.

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّهَا لإِحْدَى الْكُبَرِ . نَذِيرًا لِّلْبَشَرِ . لِمَن
شَاء مِنكُمْ أَن يَتَقَدَّمَ أَوْ يَتَأَخَّرَ  

(سورة المدثر:
35-37)

“Sesungguhnya
Saqar itu adalah salah satu bencana yang amat besar, sebagai ancaman bagi
manusia. (Yaitu) bagi siapa di antaramu yang berkehendak akan maju atau
mundur.” (QS.
Al-Mudatsir: 35-37)

Di sana tidak disebutkan diam di tempat.
Karena tidak ada tempat di antara surga dan neraka. Tidak ada jalan sama
sekali bagi yang melalui selain dua jalur. Barangsiapa yang tidak maju
dengan amalan saleh ini, maka dia akan mundur dengan amalan buruk. Kalau
anda mengatakan, setiap orang yang semangat dalam mencari sesuatu, dia akan
terkena kemalasan kemudian bangkit untuk mencarinya lagi? Saya katakan, hal
itu merupakan suatu keharusan.

Akan tetapi orang yang malas ada dua kondisi.
Mungkin dia berhenti menahan diri, dan mempersiapkan untuk berjalan. Ini
adalah pemberhentian dalam perjalanan, tidak merusak dalam berhenti. Karena
setiap amalan ada waktu semangat, dan ketika semangat ada waktu kemalasan.
Kemungkinan berhenti karena ada seruan dari belakang, ada yang menyeret dari
belakang. Kalau dia ikuti, maka pasti ke belakang. Kalau Allah menolong
dengan rahmat-Nya dan melihat atas ketertinggalannya, maka dia bangkit
dengan kebangkitan orang marah dan menyesali keterputusasaan, dan meloncat
serta berjalan cepat agar bergabung kembali dengan rombongan.

Tapi kalau dia terlena dengan mengikuti
penyeru di kebelakangnya. Tidak rela dikembalikan ke kondisi semula. Tetap
dalam kondisi lengah dan mengikuti seruan hawa nafsu sehingga menjerumuskan
ke kondisi yang lebih buruk, meluncur ke bawah. Maka jatuhlah dalam jurang
yang sangat rendah. Terkena penyakit. Maka (kondisi seperti) itu lebih
berbahaya dan lebih sulit.

Kesimpulannya,   jika hamba ini mendapatkan
pertolongan dari Allah Ta’ala, Dia akan menyelamatkannya  dari tangan
musuhnya agar terlepas darinya. Tapi kalau tidak, maka dia akan terus ke
belakang sampai meninggal dunia. Berjalan ke belakang serta memalingkan
punggungnya. Maka tiada kekuatan melainkan dari Allah. Dan yang terjaga
adalah orang yang dijaga oleh Allah.”

(Madarijus Salikin, 1/ 267-268. Silahkan lihat soal jawab no.
47565,
20059)

Wallahu’alam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

answer

Tema-tema Terkait

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android