0 / 0

Sejenak Merenungi Kalimat : Islam Agama Moderat

Pertanyaan: 117725

Orang-orang yang baik (Muslim) berbicara tentang Moderasi dalam Beragama, kaum sekularis berbicara tentang Moderasi dalam Beragama dan bahkan orang-orang kafir pun  berbicara tentang Moderasi dalam Beragama. Lalu apakah yang dimaksud dengan moderasi dalam beragama ?

Teks Jawaban

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Ungkapan Islam adalah agama moderat telah tersebar luas di zaman kita, dan itu adalah kata-kata yang benar, dengan bukti dari Al-Qur’an, Sunnah, dan perkataan para ulama. Akan tetapi, pada saat yang sama kita menemukan orang-orang yang menyalahgunakannya dan ingin menghilangkan hukum-hukum syariat melalui ungkapan tersebut, dan menuju ke ketetapan syariat (yang paten) syariat dengan tujuan untuk menggoyahkan landasannya, berangkat dari kalimat tersebut, dan dari pemahaman yang salah terhadap kalimat tersebut.

Kalimat itu sekarang mempunyai dua penggunaan, yang satu benar dan yang lainnya salah.

  1. Adapun penggunaan yang benar, ia didukung oleh Al-Qur’an, Sunnah, dan ucapan para ulama Sunni. Disebutkan dalam Al-Qur’an bahwa umat ini adalah umat pertengahan, dan yang dimaksud dengan umat pertengahan adalah umat yang baik, pilihan dan adil. Merekalah yang berada di antara dua pihak yang saling kontradiktif. Allah Ta’ala berfirman,

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ

البقرة/ 143

“Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menetapkan kiblat (Baitul Maqdis) yang (dahulu) kamu berkiblat kepadanya, kecuali agar Kami mengetahui (dalam kenyataan) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sesungguhnya (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah : 143).

Imam At-Thabari Rahimahullah mengatakan, “Dan aku melihat bahwa Allah Yang Maha Luhur penyebutan nama-Nya tak lain menggambarkan mereka (umat Islam) sebagai umat pertengahan karena mereka bersikap tengah-tengah dalam beragama. Mereka bukanlah orang-orang yang ekstrem dalam agama, seperti ekstremnya umat Nasrani yang berlebih-lebihan dalam hal kerahiban, dan apa yang mereka katakan tentang Yesus. Mereka juga bukanlah orang-orang yang lalai (kurang) di dalamnya, seperti kelalaian orang-orang Yahudi yang mengubah Kitab Allah, membunuh para nabi mereka, mendustakan Tuhan mereka, dan kafir kepada-Nya. Mereka adalah orang-orang yang bersikap pertengahan dan tegak-lurus di dalam hal itu, maka Allah pun menggambarkan mereka seperti itu, karena urusan yang paling dicintai Allah adalah urusan yang paling tengah.” (Tafsir At-Thabari, 3/142).

Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah menegaskan makna ini, “Jadi, agama Allah itu berada di antara pihak berlebih-lebihan di dalamnya dan pihak yang lalai terhadapnya. Manusia terbaik ialah orang yang berada dalam kelompok pertengahan yang terangkat dari kelalaian orang-orang yang lalai dan tidak bergabung dengan berlebih-lebihannya orang-orang yang melewati batas. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan umat ini umat pertengahan, yaitu umat pilihan dan adil, karena mereka berada di pertengahan dari dua kelompok yang tercela. Adil ialah sikap pertengahan di antara kezaliman dan lalai. Kebanyakan bahaya itu datang dari pinggir dan yang di tengah itu dilindungi oleh yang ada di pinggir. Jadi sesuatu yang paling baik ialah sesuatu yang pertengahan. Seorang penyair mengatakan,

‘Tadinya ia adalah pertengahan yang dilindungi,

Kemudian datanglah bencana yang menjadikannya sebagai pinggiran.’”

(Ighatsatu Al-Lahfan, 1/182).

Di antara contoh dalam syariat yang bijaksana dan suci yang menegaskan makna ini adalah sebagai berikut :

  1. Doa umat Islam dalam surah Al-Fatihah,

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ . صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ

الفاتحة/6 ، 7

“Bimbinglah kami ke jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat.” (Al-Fatihah : 6-7).

Doa ini selalu dipanjatkan oleh seorang Muslim dalam shalat dan di tempat lain. Di dalamnya terdapat permohonan kepada Allah Ta’ala untuk membimbingnya ke jalan orang-orang yang diberi nikmat dari kalangan para nabi dan orang-orang yang jujur, dan untuk menghindarkannya dari jalan orang-orang yang dimurkai dari kalangan Yahudi yang tersesat secara sadar (padahal mereka mempunyai ilmu), dan dari jalan Nasrani yang tersesat karena kebodohannya.

  1. Zakat tidak diambil dari harta yang baik maupun yang buruk.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menasihati Muadz bin Jabal Radhiyallahu ‘Anhu ketika beliau mengirimnya ke Yaman, dengan mengatakan,

أَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ

رواه البخاري ( 1425 ) ومسلم ( 130 ) .

“Beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka untuk mengeluarkan zakat harta mereka, di ambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang yang miskin dari mereka. Jika mereka taat untuk itu, maka hati-hatilah engkau dari mengambil harta milik mereka yang paling baik.” (HR. Al-Bukhari, no. 1425 dan Muslim, no. 130).

An-Nawawi Rahimahullah mengatakan sambil menyebutkan faedah-faedah hadits tersebut, “Di dalamnya terdapat kesimpulan bahwa diharamkan bagi seorang pemungut zakat untuk mengambil harta yang paling baik dalam membayar zakat, akan tetapi diambi dari harta yang pertengahan. Pemilik harta haram mengeluarkan zakat dari harta yang paling buruk.” (Syarah Shahih Muslim karya An-Nawawi, 1/197).

  1. Dan dalam pembelanjaan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَاماً

الفرقان/ 67 .

“Dan, orang-orang yang apabila berinfak tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir. (Infak mereka) adalah pertengahan antara keduanya.” (QS. Al-Furqan : 67).

Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan, “Artinya, mereka tidak mubadzir dalam pengeluarannya, sehingga mereka menafkahkan melebihi kebutuhannya, tidak juga pelit terhadap keluarganya, sehingga mereka kurang dalam memenuhi hak-haknya, sehingga mereka tidak mencukupi mereka. Sebaliknya, mereka adalah orang-orang yang adil dan baik, dan urusan yang terbaik adalah yang pertengahan, tidak ini dan tidak itu.

Dan ada ukuran di antara itu, sebagaimana Allah berfirman,

وَلا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا

الإسراء/ 29

“Janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (kikir) dan jangan (pula) engkau mengulurkannya secara berlebihan sebab nanti engkau menjadi tercela lagi menyesal.” (QS. Al-Isra’ : 29). (Tafsir Ibnu Katsir, 6/123-124).

  1. Adapun penggunaan frasa Islam agama moderat yang salah, itulah yang diserukan oleh sebagian penulis dan pendakwah, yaitu berdiri di tengah-tengah di antara masalah-masalah yang saling kontradiksi, dan tidak mengambil sikap sesuai syariat yang dituntut oleh agamanya. Misalnya, antara sunah dan bid’ah. Dia tidak menolak bid’ah secara mutlak, dan tidak pula menerima sunah secara mutlak. Dalam kasus murtad, dia berusaha bersikap moderat. Dia tidak menerima ketentuan bahwa orang murtad diminta untuk bertaubat, dan bahwa orang murtad harus dibunuh, dan dia juga tidak menerima orang yang murtad secara mutlak. Dia tidak menolak ajaran tasawuf secara mutlak, melainkan menipu dirinya sendiri dengan meyakini bahwa ia termasuk orang-orang yang adil ketika ia tidak menilai bahwa penganut tasawuf sebagai salah satu sekte yang sesat dan rusak, begitu pula pada aliran-aliran sesat lainnya, bahkan sikap moderat itu merambah pada masalah kafir dan Islam.

Itulah sebabnya Anda akan menemukan bahwa orang-orang ini adalah para tokoh dialog-dialog yang diadakan untuk mendekatkan antara tauhid dan syirik, seperti halnya mendekatkan Sunni dan Syi’ah, Islam dan kafir, seperti halnya dalam mendekatkan Islam, Kristen dan Yahudi. Bukan Islam dan Sunah yang mereka tolong, dan bid’ah dan kekafiran yang mereka hancurkan. Mereka hidup untuk melemahkan agama mereka, dan meninggalkan prinsip-prinsipnya, demi menampilkan citra mereka di media sebagai salah satu pendukung moderasi beragama. Mereka memperoleh keuntungan-keuntungan duniawi yang tidak memberi manfaat bagi mereka di hadapan Tuhannya, malah justru merugikan mereka. Allah telah menghinakan sebagian simbol mereka. Ia dicekal untuk masuk ke negara kafir, padahal ia adalah “saudara”. Bahkan orang-orang Kristen di negaranya menggambarkan mereka sebagai “martir”. Dia selalu melemahkan agamanya dengan fatwa-fatwa yang menurutnya “mempermudah” dan “moderat,” padahal hal itu tidak memberikan manfaat baginya di dunia.

Maha Benar Allah yang telah berfirman,

وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ

البقرة/ من الآية 120 .

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela kepadamu (Nabi Muhammad) sehingga engkau mengikuti agama mereka.” (QS. Al-Baqarah : 120).

Mereka dan orang lain harus mengetahui bahwa jalan tengah dan moderat, bukanlah seorang Muslim berdiri di tengah jalan di antara dua hal yang kontradiktif (bertentangan), melainkan agar ia tetap berpegang pada syariat Allah Ta’ala dalam pendiriannya, menilai suatu hal menurut kepatutannya berdasarkan apa yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Wasathiyah adalah bersikap pertengahan antara dua hal, yang pada prinsipnya kedua-duanya salah dan sesat. Sedangkan orang yang menggunakan moderasi secara tidak semestinya, maka ia berdiri di tengah-tengah jalan secara mutlak, meskipun salah satu sisinya mengandung tauhid dan sunnah. Inilah yang batil (salah).

Abu Al-Muzhaffar As-Sam’ani Rahimahullah mengatakan, “Jika ada satu pendapat di antara dua pendapat, maka itu dianjurkan untuk memilihnya. Mengambil jalan di antara orang yang berlebihan dan orang yang berbuat kurang akan lebih utama jika memungkinkan untuk dijalankan. Adapun jika tidak bisa dijalankan, maka tidak usah dijalankan.” (Qawathi’ Al-Adilah fi Ushul Al-Fiqh, 5/256).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah pernah ditanya, “Apakah yang dimaksud dengan moderasi beragama atau Wasathiyah ?”

Beliau menjawab, “Moderasi dalam beragama, atau Wasathiyah adalah agar seseorang berada di antara orang yang berlebihan dan orang yang bersikap kurang, dan hal ini mencakup masalah ilmiyah-akidah dan dalam masalah amaliyah-ibadah.

Misalnya, dalam urusan akidah, terkait dengan asma dan sifat Allah, manusia terbagi menjadi tiga kelompok: dua kelompok pinggir, dan satu kelompok tengah. Satu kelompok (pihak) berlebihan dalam mensucikan Allah, sehingga ia menafikan nama-nama dan sifat-sifat yang Allah sematkan pada diri-Nya, dan kelompok yang berlebihan dalam Itsbat, sehingga ia menetapkan nama-nama dan sifat-sifat yang Allah tetapkan untuk diri-Nya, namun dengan menyerupakannya dengan makhluk.  Dan sekelompok lagi yang bersikap pertenganan yang mana menetapkan nama-nama dan sifat-sifat yang Allah tetapkan untuk diri-Nya, akan tetapi tanpa menyerupakannya dengan makhluk (berbeda dengan makhluk), dan Allah Ta’ala tidak sama dengan satupun makhluk-makhluk-Nya.

Ini dalam masalah akidah. Begitu pula amal perbuatan badan. Ada manusia yang bersikap berlebihan. Ia menambah dan bersikap kaku terhadap dirinya. Ada pula manusia yang meremehkan dan sembrono, sehingga ia menyia-nyiakan banyak hal. Padahal sebaik-baik urusan adalah yang pertengahan.

Standar pertengahan adalah apa yang diajarkan oleh syariat, maka itulah yang pertengahan. Sedangkan apa yang bertentangan dengan syariat, maka bukanlah pertengahan, akan tetapi kecenderungan; baik itu Ifrath ataukah Tafrith.

Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah telah menyebutkan lima prinsip dalam kitab Al-Aqidah Al-Wasathiyah. Di dalamnya beliau menjelaskan bahwasanya Ahlus Sunah wal Jamaah adalah kelompok yang berada pada posisi pertengahan antara kelompok-kelompok pelaku bid’ah. Alangkah baiknya jika si penanya merujuknya, karena di dalamnya terdapat faedah.” (Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darbi, kaset ke-226, sisi B).

Bisa juga merujuk ulang Risalah Al-Wasathiyah, karya Syaikh Dr. Nashir Al-Umar Hafizhahullah.

Wallahu A’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android