Apakah dibolehkan berdoa agar Allah Azza Wa jalla mengangkat musibah atau yang lebih utama itu bersabar?
Apakah Lebih Utama Berdoa Diangkatnya Musibah Atau Yang Lebih Utama Bersabar?
Pertanyaan: 120175
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Tidak mengapa berdoa agar musibah diangkat, bahkan hal itu yang lebih utama. Karena Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam menganjurkan untuk meminta kesehatan seraya dalam sabdanya:
لَا تَتَمَنَّوْا لِقَاءَ الْعَدُوِّ وَسَلُوا اللَّهَ الْعَافِيَةَ (رواه البخاري، رقم 7237، ومسلم، رقم 1742)
“Jangan berharap bertemu musuh. Mohonlah keselamatan kepada Allah.” (HR. Bukhari, no. 7237 dan Muslim, no. 1742)
Biasanya doa Rasulullah sallallahu alaihi wa sallalm ketika menjenguk orang sakit adalah:
اللَّهُمَّ أَذْهِبْ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ ، وَاشْفِ ، فَأَنْتَ الشَّافِي ، لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ ، شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا (رواه الترمذي، رقم 3565 وصححه الألباني في صحيح الترمذي(
“Ya Allah Tuhan kami, hilangkan penyakit, Tuhan seluruh manusia, sembuhkan dia, karena Engkau adalah yang Maha Bisa menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan kecuali dari kesembuhan-MU, kesembuhan total yang tidak tersisa penyakitnya.” (HR. Tirmizi, no 3565, dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih Tirmizi)
Utsman bin Abil Ash mendatangi Rasulullah sallallahu alihi wa sallam mengeluhkan sakit yang dideritanya. Maka Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Letakkn tangan anda di bagian tubuh yang sakit, lalu ucapkan ‘Bismillah’ tiga kali. Kemudian baca doa ini tujuh kali;
أَعُوذُ بِاللَّهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ (رواه مسلم، رقم 2202)
“Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari keburukan apa yang aku dapatkan dan waspadai.” (HR. Muslim, no. 2202)
Allah menyebutkan tentang hamba pilihannya yaitu para Nabi alaihimus salam, bahwa mereka berdoa agar diangkat kerusakan. Allah ta’ala berfirman:
وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِي الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ. فَاسْتَجَبْنَا لَهُ
سورة الأنبياء: 83-84
“dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: "(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang. Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu,” (QS. Al-Anbiya: 83-84)
Firman Allah ta’ala:
وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنْ الظَّالِمِينَ . فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنْ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِينَ
سورة الأنبياء: 87-88
“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: "Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim." Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari pada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anbiya: 87-88)
Terdapat riwayat bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam ketika disihir oleh Labid bin Al-A’shom, beliau berdoa kepada Tuhannya Tabaroka wa ta’ala agar disembuhkan dari bencana ini.
Diriwayatkan oleh Muslim, (2189) dari Aisyah radhiallahua’nha berkata:
سَحَرَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَهُودِيٌّ مِنْ يَهُودِ بَنِي زُرَيْقٍ ، يُقَالُ لَهُ : لَبِيدُ بْنُ الْأَعْصَمِ . قَالَتْ : حَتَّى كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَفْعَلُ الشَّيْءَ وَمَا يَفْعَلُهُ ، حَتَّى إِذَا كَانَ ذَاتَ يَوْمٍ أَوْ ذَاتَ لَيْلَةٍ دَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، ثُمَّ دَعَا ، ثُمَّ دَعَا ، ثُمَّ قَالَ: يَا عَائِشَةُ ، أَشَعَرْتِ أَنَّ اللَّهَ أَفْتَانِي فِيمَا اسْتَفْتَيْتُهُ فِيهِ…… إلخ الحديث
“Rasulullah sallallahua’laihi wa sallaam disihir oleh Orang Yahudi dari Bani Zuraiq : Labid bin Al-A’shom. Dia (Aisyah) berkata, “Sampai Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam berkhayal bahwa dia melakukan sesuatu padahal beliau tidak melakukannya. Sampai suatu hari atau suatu malan Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam berdoa kemudian berdoa dan berdoa hingga dia mengatakan, “Wahai Aisyah, apakah engkau merasakan bahwa Allah memberikan fatwa kepadaku sebagaimana fatwa yang aku minta kepadanya….” (hingga hadits seterusnya)
An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ungkapan ‘Sampai suatu hari atau suatu malan Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam berdoa kemudian berdoa dan berdoa’ ini merupakan dalil dianjurkan berdoa ketika ditimpa urusan yang tidak disukai, dan berdoa berulang-ulang serta kembali kepada Allah dengan sebaik-baiknya.
Dari sini tampak, bahwa tidak ada kontradiksi antara berdoa agar diangkat musibah dengan kesabaran. Karena Allah ta’ala memerintahkan kita berdoa kepada-Nya dan merendahkan diri kepada-Nya dan doa kita kepada-Nya merupakan ibadah. Allah ta’ala berfirman:
وَقَالَ رَبُّكُمْ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
سورة غافر: 60
“Dan Tuhanmu berfirman: ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan kabulkan kepadamu.” (QS. Ghafir: 60)
Dialah yang memerintahkan kita bersabar dan menjanjikan pahala yang banyak. Maka Allah berifman:
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
سورة الزمر: 10
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)
Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam berdoa kepada Tuhannya, padahal beliau adalah manusia paling sempurna dari sisi kesabarannya. Dan paling ridha terhadap ketentuan Allah. hal itu menunjukkan bahwa berdoa tidak menafikan kesabaran. Karena sabar adalah menahan diri dari mengeluh dan tidak menolak takdir Allah. Tidak ada penghalang yang menggabungkan pada diri seorang hamba antara dua ibadah sabar dan berdoa. Bahkan hal itu lebih utama dan lebih mulia. Dan itu adalah kondisi nabi kita Muhammad sallallahua’alaihi wa sallam .
Kita memohon kepada Alah ta’ala agar diberi ilham untuk dapat memahami agama.
Wallahua’lam
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam