Unduh
0 / 0
1839117/07/2009

Menanyakan Tentang Pendapat Syekh Islam Tentang Ayat Mubahalah

Pertanyaan: 132473

Bagaimanakah pendapat Syekh Islam tentang ayat Mubahalah ?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama:

Mubahalah adalah saling
melaknat, maksudnya adalah suatu kaum berkumpul pada saat terjadi perbedaan
di antara mereka, dengan mengatakan: “Semoga laknat Allah menimpa orang
dzalim di antara kita”. (Baca: an Nihayah fi Gharibil Atsar: 1/439)

Ayat tentang mubahalah
adalah:

إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آَدَمَ خَلَقَهُ
مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ * الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلَا
تَكُنْ مِنَ الْمُمْتَرِينَ * فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ
مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ
وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ
فَنَجْعَلْ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ (سورة آل عمران: 59-61)

“Sesungguhnya misal
(penciptaan) `Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah
menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah”
(seorang manusia), maka jadilah dia. (Apa yang telah Kami ceritakan itu),
itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu
termasuk orang-orang yang ragu-ragu. Siapa yang membantahmu tentang kisah
`Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah
(kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu,
isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian
marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la`nat Allah
ditimpakan kepada orang-orang yang dusta”. (QS. Ali Imran 59-61)

Adapun sebab turunnya ayat
ini, bahwa utusan orang nashrani dari Najran ketika mereka mendatangi
Madinah mereka mendebat tentang masalah Nabi Isa –‘alaihis salam- mereka
mengklaim sebagaimana keyakinan mereka bahwa Isa adalah seorang Nabi dan
Tuhan.

Keyakinan yang bathil
tersebut terbantahkan setelah kehadiran Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-
dan menjelaskan kepada mereka yang sebenarnya dengan bukti-bukti yang nyata,
bahwa Isa adalah hamba dan Rasul-Nya.

Maka Allah menyuruhnya untuk
bermubahalah dengan mereka.

Seraya Rasulullah
–shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengajak mereka untuk melakukan mubahalah,
yaitu; agar beliau dan kuarganya –istri dan anak-anaknya- menghadiri majelis
mubahalah, mereka juga menghadirkan istri dan anak-anak mereka, kemudian
mereka berdoa kepada Allah –Ta’ala- agar siksa dan laknat-Nya menimpa
orang-orang yang dusta.

Maka Rasulullah –shallallahu
‘alaihi wa sallam- menghadirkan Ali bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan dan
Husain –radhiyallahu ‘anhum- dan beliau bersabda: “Mereka adalah
keluargaku”.

Maka penduduk Najran
bermusyawarah di antara mereka: Apakah mereka menerima ajakan mubahalah
tersebut ?

Ternyata kesimpulan mereka
tidak berani menjawab ajakan mubahalah, karena mereka mengetahui bahwa jika
mereka menerima ajakan tersebut mereka, istri dan anak-anak mereka akan
binasa. Maka mereka meminta damai kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa
sallam- dan membayar zizyah. Dan mereka mohon pamit dan damai sampai waktu
yang sudah ditentukan. Dan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-
menyetujui hasil kesepakatan mereka. (Tafsir Ibnu Katsir: 2/49, Tafsir as
Sa’di: 1/968)

Kedua:

Syekh Islam Ibnu Taimiyah
tidak memiliki pendapat tertentu tentang ayat Mubahalah, bahkan pendapat
beliau dalam masalah tersebut sama dengan pendapat semua ahlus sunnah;
kecuali ia telah menjelaskan beberapa pemahaman yang rancu yang menjadikan
sebagian orang mengambil kisah ayat tersebut sebagai dalilnya.

Kami akan menyebutkan
kesimpulan pendapat Syekh Islam tentang Mubahalah:

1.Rasulullah
–shallallahu ‘alaihi wa sallam- menghadirkan Ali, Fatimah, Hasan dan Husain
–radhiyallahu ‘anhum- pada saat mubahalah dibenarkan menurut beberapa hadits
yang shahih.

Syekh Islam berkata: “Adapun
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengikutsertakan Ali, Fatimah,
Hasan dan Husain dalam mubahalah haditsnya shahih diriwayatkan oleh Muslim
dari Sa’d bin Abi Waqqash, ia berkata dalam hadits yang panjang. “Ketika
diturunkan ayat ini:

فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ ..

“Maka katakanlah (kepadanya):
“Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu…..”.

Rasulullah –shallallahu
‘alaihi wa sallam- mengajak Ali, Fatimah, Hasan dan Husain dan bersabda:
“Mereka semua adalah keluargaku”. (Minhaj Sunnah as Shahihah: 7/123)

2.Tidak ada yang
menunjukkan bahwa mereka (yang ditunjuk oleh Rasulullah) adalah sebaik-baik
umat ini.

Ibnu Taimiyah: “Penunjukan
Rasulullah tersebut tidak menunjukkan akan kepemimpinan mereka juga bukan
keutamaan mereka”. (Minhaj Sunnah Nabawiyah: 7/123)

Beliau juga berkata:

“Beberapa keluarga beliau
yang diajak untuk bermubahalah tidak menunjukkan bahwa mereka lebih baik
dari semua para sahabat, juga tidak mewajibkan bahwa Fatimah, Hasan dan
Husain lebih baik dari semua para sahabat”. (Minhaj Sunnah Nabawiyah: 7/125)

3.Yang
diikutsertakan dalam mubahalah adalah orang-orang yang palin dekat secara
garis keturunan, bukan yang lebih utama baginya.

Syekh Islam berkata: “Yang
menyebabkan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengajak mereka saja,
karena mubahalah bisa dilakukan hanya dengan orang-orang terdekatnya, dan
jika tidak maka jika mubahalah dengan orang-orang yang jauh meskipun mereka
lebih utama di sisi Allah, maka bukan mereka yang dimaksud dalam mubahalah”.

Beliau juga berkata:

“Mereka (yang diajak) adalah
yang terdekat nasabnya dengan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
meskipun para sahabat yang lain lebih utama menurut beliau, ia tidak
diperintah untuk mengajak yang paling baik dari pengikutnya; karena
tujuannya adalah agar masing-masing mengajak orang-orang yang memiliki
kedudukan khusus di hatinya. Sudah menjadi tabi’at manusia akan lebih merasa
takut kehilangan orang-orang yang terdekat dari keluarganya.

Dasar mubahalah adalah
keadilan, mereka juga membutuhkan keluarganya yang terdekat, mereka juga
akan lebih khawatir jika yang hadir adalah keluarganya. Oleh  karenanya,
mereka enggan untuk melakukan mubahalah karena mereka mengetahui bahwa Nabi
–shallallahu ‘alaihi wa sallam- berada pada jalan kebenaran. Dan kalau jadi
mubahalah misalnya, maka akibat dari mubahalah akan mereka dan keluarga 
alami”. (Minhaju as Sunnah an Nabawiyah: 5/45)

4.Sebab
Dipilihnya Ali bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan dan Husain dalam mubahalah;
karena mereka keluarga terdekat beliau pada saat itu.

Syekh Islam berkata:
“Sedangkan ayat mubahalah adalah tidak menunjukkan kekhususan tertentu, akan
tetapi beliau mengajak Ali, Fatimah dan kedua anaknya bukan berarti mereka
sebaik-baik umat, namun mereka adalah keluarga terdekat beliau”. (Majmu’
Fatawa: 4/419)

Ia juga berkata: “Ayat
mubahalah turun pada tahun kesepuluh pada saat datangnya utusan Najran. Dan
tidak ada yang tersisa dari paman-paman Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa
sallam- kecuali Abbas. Sedangkan Abbas tidak termasuk as Sabiqunal Awwalun,
dan ia tidak memiliki kekhususan seperti Ali.

Sedangkan anak-anak pamannya,
tidak ada yang setara dengan Ali, sedangkan Ja’far sudah terbunuh –syahid-
sebelumnya di Mu’tah pada tahun ke-8, maka Ali –radhiyallahu ‘anhu- lah yang
dipilih. (Minhaj Sunnah Nabawiah: 7/125)

Beliau juga berkata:

“Karena  anak-anak beliau
yang masih hidup pada saat itu adalah Fatimah, karena Ruqayyah, Ummu
Kultsum, Zainab sudah meninggal dunia sebelumnya.

Beliau mengajak Hasan dan
Husain, karena belum ada yang bisa dinisbahkan kepada beliau sebagai anak
kecuali mereka berdua, untuk Ibrahim (anak beliau sendiri) meskipun ada ia
masih balita tidak bisa diajak. (Minhaj Sunnah Nabawiyah: 7/129)

5.Dalam ayat
mubahalah bukanlah dalil bahwa Ali bin Abi Thalib –radhiyallahu ‘anhu- yang
berhak sebagai khalifah atau imam sepeninggal Rasulullah. Atau dengan dalil
bahwa Allah menjadikan Ali setara derajatnya dengan Rasulullah dalam
firmannya:

فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ
وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ …

“Maka katakanlah (kepadanya):
“Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri
kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu”. (QS. Ali Imran: 61)

Bersatu dalam satu jiwa
adalah perkara yang mustahil. Maka persamaan di atas adalah dalam masalah
kepemimpinan secara umum.

Syekh Islam berkata: “Kami
tidak sependapat jika berarti persamaan, dan tidak ada dalil yang
menunjukkan akan hal itu, bahkan memahami seperti itu dilarang; karena
seseorang tidak ada yang menyamai Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa
sallam-, tidak juga Ali atau yang lainnya.

Redaksi ayat di atas menurut
bahasa Arab tidak menunjukkan adanya persamaan, Allah berfirman dalam
masalah hadits ifki (berita bohong) yang dituduhkan kepada ‘Aisyah.:

إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ
بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا ..

“Mengapa di waktu kamu
mendengar berita bohong itu orang-orang mu’minin dan mu’minat tidak
bersangka baik terhadap diri mereka sendiri…..” (QS. an Nuur: 12)

Ayat di atas tidak ada yang
mewajibkan untuk difahami bahwa orang mukminin dan mukminat sama derajatnya.

Allah telah berfirman tentang
kisahnya Bani Israil :

فَتُوبُوا إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ذَلِكُمْ
خَيْرٌ لَكُمْ عِنْدَ بَارِئِكُمْ

“…Maka bertaubatlah kepada
Tuhan yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik
bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu”. (QS. al Baqarah: 54)

Yaitu; saling membunuh di
antara mereka, dan tidak diwajibkan untuk difahami harus sama semuanya, juga
tidak sama antara orang yang menyembah anak sapi atau yang menyembah
lainnya.

Demikian juga yang dikatakan
dalam firman Allah:

وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ ﴿سورة البقرة: 29)

“Dan janganlah kamu membunuh
dirimu….”. (QS. al Baqarah: 29)

Maksudnya: janganlah sebagian
membunuh sebagian yang lain, meskipun mereka tidak sama.

Firman Allah:

وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ

(سورة الحجرات : 11)

“…dan janganlah kamu mencela
dirimu sendiri”. (QS. Al Hujurat: 11)

Yaitu; janganlah sebagian
kalian mencela sebagian yang lain, menuduh dan menghinanya. Ini adalah
larangan untuk semua orang yang beriman, padahal mereka derajatnya tidak
sama dalam masalah hukum, keutamaan, tidaklah seorang yang dzalim sama
dengan yang di dzalimi, tidaklah pemimpin sama dengan yang dipimpin.  

Redaksi di atas menunjukkan
adanya kemiripan dan serupa saja, namun tidak sama. kemiripan berarti ada
kesamaan pada bagian tertentu saja, seperti kesamaan dalam keimanan. (Minhaj
Sunnah Nabawiyah: 7/123)

Wallahu a’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android