Unduh
0 / 0
34,53031/07/2001

Seputar Khurafat Pernikahan Di Antara Dua Hari Raya Dan Beberapa Larangan Syar’i

Pertanyaan: 13475

Pertanyaan saya seputar keyakinan masyarakat di wilayah Asia yaitu bahwa sangat buruk sekali jika seseorang menikah di antara dua Id (Idul Fitri dan Idul Adha) Karena jika benar-benar terjadi akad pada waktu tersebut maka salah satu pasangan suami isteri akan mati. Saya ingin mengetahui apakah keyakinan ini benar atau tidak dalam pandangan Islam.

Demikian pula halnya telah anda sebutkan dalam salah satu jawaban anda bahwa tidak boleh mengkhususkan hari ke 15 bulan Sya’ban untuk melakukan shalat dan puasa dan bahwa ibadah di waktu tersebut lebih mulia jika seseorang hanya melanjutkan kebiasaan ibadahnya.

Di tempat saya tinggal sekarang ini, masyarakat sangat antusias melakukan puasa dan shalat karena Allah di hari ini. Mereka berkata bahwa pahalanya sangat besar sekali dan bahwa perkara ini disebutkan dalam hadits yang mulia. Ketika saya sebutkan jawaban anda, mereka mengatakan bahwa benar-benar terdapat hadits tentang kemuliaan malam ini.

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Adapun jawaban pertanyaan pertama
dari dua sisi.

Pertama: Keyakinan yang disebutkan
dalam pertanyaan adalah tidak benar, bahkan dia termasuk bid’ah dan
kesesatan yang tidak ada landasannya dalam syariat dan tidak ditunjukkan
dalam Kitab dan Sunah. 

Kedua: Keyakinan ini bertentangan
dengan syariat Islam dari berbagai sisi; 

Pertama:Keyakinan kematian dalam masa
itu. Keyakinan seperti ini tidak dibolehkan, sebab kematian dan kehidupan
ada di tangan Allah. Ajal manusia hanya ada di tangan Allah, tidak ada
seorang pun yang tahu kapan dia akan menemui ajalnya dan Allah tidak
perlihatkan rahasia perkara ini kepada seorang pun dari makhlukNya. Karena
itu Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits muttafaq alaih dari Abu
Hurairah radhiallahu anhu menyebutkan dalam haidts Jibril yang panjang,
beliau bersabda, “Ada lima perkara yang tidak diketahui selain Allah,
kemudian beliau membaca ayat;

إِنَّ اللَّهَ
عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي
الأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ
بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
 (رواه البخاري، رقم 48 ومسلم، رقم 10)

“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan
tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa
yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan
pasti) apa yang akan diusahakannya besok. dan tiada seorangpun yang dapat
mengetahui di bumi mana Dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal.” SQ. Luqman: 34. HR. Bukhori, no. 48 dan Muslim, no. 10.

Keyakinan bahwa pernikahan pada masa tersebut menyebabkan
kematian merupakan pengakuan terhadap perkara gaib. Siapa yang mengaku-ngaku
mengetahui perkara gaib adalah pendusta. Karena itu di antara tokoh thagut
adalah mereka yang mengaku mengetahui perkara gaib.

Kedua: Perkara ini dapat membuat cacat pada keimanan, karena
di dalamnya tidak meyakini adanya qadha dan qadar. Karena itu Nabi
shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan kepada Ibnu Abbas yang saat itu
masih kecil, beliau bersabda,

وَاعْلَمْ أَنَّ
الأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ
إِلا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ
يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ
عَلَيْكَ رُفِعَتْ الأَقْلامُ وَجَفَّتْ الصُّحُفُ (رواه الترمذي ، صفة القيامة
، رقم 2440)

“Ketahuilah, jika umat ini berkumpul untuk mendatangkan suatu
manfaat bagi dirimu, niscaya mereka tidak dapat mendatangkan manfaat bagi
dirimu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan bagimu. Dan jika
mereka berkumpul untuk mendatangkan suatu keburukan bagimu, niscaya mereka
tidak dapat mendatangkan keburukan bagimu kecuali apa yang telah Allah
tetapkan bagimu.” (HR. Tirmizi, Sifatul Qiyamah/2440, dishahihkan oleh
Al-Albany dalam sunan Tirmizi, no. 2043)

وجاء في الحديث
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ
الْخَلائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ
سَنَةٍ …(رواه مسلم ، باب القدر، رقم 4797)

Disebutkan dalam hadits dari Abdullah bin Amr bin Ash, dia
berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Allah telah mencatat ketentuan para makhluk limapuluh tahun sebelum
diciptakannya langit dan bumi.” (HR. Muslim, no. 4797)

Ketiga: Dalam keyakinan tersebut terdapat cacat bagi tauhid
dan kesempurnaannya, karena di dalamnya ada keyakinan sial. Telah
diriwayatkan dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi
shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda,

لا عَدْوَى وَلا
طِيَرَةَ وَلا هَامَةَ وَلا صَفَرَ (رواه البخاري ، الطب / 5316)

“Tidak ada penyakit menular (yang menular dengan sendirinya),
tidak ada keyakinan sial tidak ada burung hantu dan tidak ada bulan safar
(yang dianggap membawa kesialan).” (HR. Bukhori, At-Tibb/ 5316).

Tathayyur (keyakinan sial) maksudnya adalah tasya’um (merasa
bernasib sial) Terdapat dalam hadits riwayat Ibnu Mas’ud sesungguhnya Nabi
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

الطيرة من
الشرك  (رواه الترمذي،  السير ، رقم  1539، وصححه الألباني في صحيح الترمذي
برقم  1314)

“Thiyarah termasuk perbuatan syirik.” (HR. Tirmizi, As-Siyar,
no. 1539, dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih Tirmizi, no. 1314)

Ketahuilah bahwa tathayyur (thiyarah) menafikan tauhid, latar
belakangnya ada dua sisi;

Pertama: Orang yang tathayyurr (meyakini nasib sial)
memutuskan tawakalnya kepada Allah dan bersandar kepada selainnya.

Kedua: Dia bergantung kepada suatu perkara yang tidak ada
hakikatnya. Apa kaitannya dengan suatu perkara dengan apa yang terjadi.
Tidak diragukan lagi bahwa perkara ini merusak tauhid. Karena tauhid adalah
ibadah dan isti’anah (minta tolong)

Allah Ta’ala berfirman,

إياك نعبد وإياك
نستعين (سورة الفاتحة: 4)

“Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah
Kami meminta pertolongan.” SQ. Al-Fatihah: 4.

فاعبده وتوكّل
عليه (سورة هود: 123)

“Maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya.” SQ. Hud:
123.

Karena itu Aisyah radhiallahu anha berkata, “Sesungguhnya
Nabi shallallahu alaihi wa sallam menikahinya di bulan Syawal, dan mulai
menggaulinya di bulan Syawal dan dia merupakan isteri beliau yang paling
beliau cintai. Dahulu bangsa Arab merasa bernasib sial di bulan ini dan
mereka berkata bahwa jika seseorang menikah di bulan Syawal, maka dia tidak
selamat. Ini tidak ada kenyataannya.

Orang yang tathayyur ada dua kondisi;

-Orang tersebut tidak mau
beramal karena keyakinannya tersebut. Ini merupakan kesesatan tathayyur yang
paling besar.

-Kedua: Dia terus melakukan amal
namun dengan perasaan gelisah dihantui perasaan takut dari pengarauh sesuatu
yang dianggapnya menyebabkan kesialan. Yang ini lebih ringan, akan tetapi
keduanya mengurangi nilai tauhid dan berbahaya bagi seorang hamba.” (Lihat
Al-Qaulul Mufid, Ibnu Utsaimin, juz 2, hal. 77-78)

Dari sisi realitas praktis, kita dapatkan bahwa keyakinan
khurafat ini terbantahkan oleh sunah nabi yang shahih. Yaitu dengan
pernikahan makhluk Allah paling mulia, Nabi Muhamma shallallahu alaihi wa
sallam dengan isterinya yang paling dia cintai, yaitu Aisyah radhiallahu
anha. Pernikahan mereka terjadi di antara dua Id, dan Aisyah merupakan
isterinya yang paling mendapatkan kebaikan darinya, bahkan dia sendiri
(Aisyah) yang membantah keyakinan jahiliyah tersebut dengan berkata,

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menikahiku di bulan
Syawal dan menggauliku di bulan Syawal, tidak ada isteri Rasulullah
shalallahu alaihi wa sallam yang lebih berutung dariku.”

Urwah bin Zubair berkata, “Aisyah berpendapat disunahkan
seorang suami menemui isterinya di bulan Syawal.” (HR. Muslim, no. 1423)

An-Nawawi berkata, “Di dalamnya terdapat kesimpulan
disunahkannya menikah dan menggauli isteri di bulan Syawal. Ulama dari
kalangan kami telah menyatakan kesunahannya dan berdalil dengan hadits ini.
Aisyah bermaksud dengan ucapannya sebagai bantahan terhadap keyakinan
masyarakat jahiliah dan sikap sebagian masyarakat awam yang enggan melakukan
pernikahan atau menggauli isterinya di bulan Syawal. Ini adalah keyakinan
batil dan merupakan keyakinan peninggalan jahiliah. Mereka merasa Syawal
mendatangkan kesialan karena di antara makna Syawal adalah ‘al-isyalah’ dan
‘ar-rafa’ (Syarah Muslim, 9/209)

Ibnu Qayim berkata,

“Aisyah Ummu Mukminin berpendapat disunahkannya wanita
dinikahi dan digauli pada bulan Syawal. Dia berkata, ‘Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawal, tidak ada di antara isteri
beliau yang lebih beruntung dibanding aku.” Padahal masyarakat ketika itu
beranggapan sialanya menikah di bulan Syawal.

Ini merupakan perbuatan orang mukmin yang memiliki kekuatan
dan benar tawakkalnya kepada Tuhan mereka, yakin kepadaN dan mengetahui
bahwa apa yang Allah kehendaki akan terjadi dan apa yang tidak Dia kehendaki
tidak terjadi. Dan bahwa tidak ada yang menimpa mereka kecuali apa yang
telah Allah tetapkan untuk mereka dan bahwa apa saja yang menimpa mereka
telah tercatat semuanya sebelum mereka diciptakan dan ada. Mereka meyakini
bahwa mereka pasti akan mengalami apa yang telah ditakdirkan kepada mereka.
Apabila mereka meyakini bernasib sial, hal tersebut tidak akan dapat menolak
takdir dan ketetapan Allah terhadap mereka. Bahkan boleh jadi tathayyur
mereka menjadi sebab utama sehingga qada dan qadar berlaku terhadap diri
mereka. Maka terjadilah takdir Allah dan diri merekalah yang menjadi sebab
terjadinya keburukan bagi mereka seiring dengan keyakinan tathayyur mereka.
Adapun orang yang bertawakkal kepada Allah dan menyerahkan segala nasib
kepadaNya dan mengenalNya, maka diri mereka lebih mulia dari itu, harapan
mereka sangat tinggi, keyakinan mereka kepada Allah dan baik sangka mereka
kepadaNya menjadi bekal dan kekuatan serta tameng dari ketakutan yang ada
pada orang-orang yang suka meyakini nasib sial. Mereka mengetahui bahwa
tidak ada musibah kecuali dariNya, tidak ada kebaikan kecuali dariNya, dan
tidak ada Tuhan selainNya. Ketahuilah bahwa penciptaan dan Perintah hanya
hak Allah pemilik segala kebaikan dan penguasa alam.”

Miftahu Dar Sa’adah (2/261)

Adapun yang terkait dengan pertanyaan kedua, perhatikan
jawaban dari soal no. 8907 dan hukum merayakan malam
Nisfhu Sya’ban di situs ini dalam beberapa tema terkait dengan munasabat
(moment peristiwa).

Refrensi

Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android