Unduh
0 / 0
1390607/10/2009

Kewalian Ali bin Abi Thalib –radhiyallahu ‘anhu-

Pertanyaan: 139054

Apakah kholifah Ali bin Abi Thalib –radhiyallahu ‘anhu- termasuk wali ? , sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa Ali:

( وليكم من بعدي )

“Dia adalah sebagai wali kalian setelah aku”
atau

( أنا مِن عَلِي ، وعَلِيٌّ مني )

“Saya dari Ali dan Ali dariku”

Apakah yang demikian itu benar ?, Apakah Ali, Fatimah, Husain dan Hasan kedudukan mereka sama dengan para Nabi dan bukan dengan para Rasul ?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama:

Ali bin Abi Thalib –radhiyallahu
‘anhu- menurut ahlus sunnah wal jama’ah termasuk di antara para wali yang
mulia dan salah satu dari imam yang menjadi panutan, beliau juga sebagai
kholifah yang ke empat dari khulafa rasyidin, juga sebagai orang keempat
yang dijamin masuk surga, mereka semua adalah para sahabat yang paling mulia
–radhiyallahu ‘anhum-, keutamaan-keutamaan dan biografi beliau sangat sulit
untuk dibatasi, sehingga sebagian ulama kita telah mengarang buku khusus
tentang hal itu, seperti Imam Ahmad bin Hambal dalam bukunya “Manaqib Ali
bin Abi Thalib” dan Imam Nasa’i dalam bukunya “Khashaish Ali”.

Kedua:

Di antara keutamaan-keutamaan
ini adalah:

Sabda Nabi –shallallahu
‘alaihi wa sallam- :

( أَنْتَ مِنِّي وَأَنَا مِنْكَ ) رواه البخاري

(رقم/2699

“Kamu dari aku dan aku darimu”.
(HR. Bukhori: 2699)

Al Hafidz Ibnu Hajar –rhimahullah-
berkata:

“Yaitu; dalam hal nasab,
perbesanan, berlomba-lomba (dalam kebaikan), cinta, dan lain sebagainya dari
semua keistimewaan”. (Fathul Baari: 7/507)

Di antara keutamaan-keutamaan
yang lain adalah:

Sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Imron bin Husain –radhiyallahu ‘anhu- bahwa dia berkata:

(بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
جَيْشًا ، وَاسْتَعْمَلَ عَلَيْهِمْ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ ، فَمَضَى فِي
السَّرِيَّةِ ، فَأَصَابَ جَارِيَةً ، فَأَنْكَرُوا عَلَيْهِ ، وَتَعَاقَدَ
أَرْبَعَةٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالُوا : إِذَا لَقِينَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَخْبَرْنَاهُ بِمَا صَنَعَ عَلِيٌّ
.وَكَانَ
الْمُسْلِمُونَ إِذَا رَجَعُوا مِنْ السَّفَرِ بَدَءُوا بِرَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَلَّمُوا عَلَيْهِ ثُمَّ انْصَرَفُوا
إِلَى رِحَالِهِمْ ، فَلَمَّا قَدِمَتْ السَّرِيَّةُ سَلَّمُوا عَلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَامَ أَحَدُ الْأَرْبَعَةِ
فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ : أَلَمْ تَرَ إِلَى عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ
صَنَعَ كَذَا وَكَذَا ؟!

. فَأَعْرَضَ عَنْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ، ثُمَّ قَامَ الثَّانِي فَقَالَ مِثْلَ مَقَالَتِهِ ، فَأَعْرَضَ
عَنْهُ ، ثُمَّ قَامَ الثَّالِثُ فَقَالَ مِثْلَ مَقَالَتِهِ فَأَعْرَضَ عَنْهُ
، ثُمَّ قَامَ الرَّابِعُ فَقَالَ مِثْلَ مَا قَالُوا
.فَأَقْبَلَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْغَضَبُ يُعْرَفُ فِي
وَجْهِهِ فَقَالَ
:مَا
تُرِيدُونَ مِنْ عَلِيٍّ ، مَا تُرِيدُونَ مِنْ عَلِيٍّ ، مَا تُرِيدُونَ مِنْ
عَلِيٍّ ، إِنَّ عَلِيًّا مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ ، وَهُوَ وَلِيُّ كُلِّ
مُؤْمِنٍ بَعْدِي . رواه أحمد (33/154) طبعة مؤسسة الرسالة ، والترمذي
(رقم/3712)

“Rasulullah –shallallahu
‘alaihi wa sallam- telah mengutus pasukan, dan menunjuk Ali bin Abi Tholib
sebagai pimpinan pada sebuah pasukan, dan beliau mendapatkan seorang budak
(yang masih perawan), kemudian mereka mengingkari Ali, maka ada empat orang
dari para sahabat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah berjanji
dan mengatakan: “Jika kami bertemu dengan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa
sallam- kami akan memberitahukan apa yang telah dikerjakan oleh Ali”.

Pada masa itu umat Islam jika
baru datang dari bepergian, mereka mendahulukan untuk bertemu dengan
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, mereka pun memberi salam kepada
beliau, kemudian baru mereka pergi ke rumah masing-masing. Pada saat pasukan
tersebut datang, mereka semua memberi salam kepada beliau –shallallahu
‘alaihi wa sallam- seraya salah satu dari empat orang tersebut berdiri dan
berkata: “Wahai Rasulullah, tidak kah engkau memperhatikan Ali bin Abi
Thalib bahwa dia telah berbuat ini dan itu…?!.

Maka beliau –shallallahu
‘alaihi wa sallam- berpaling dari orang tersebut, kemudian orang yang kedua
juga berdiri dan berkata dengan ucapan yang sama, maka beliau juga berpaling
darinya, lalu orang yang ketiga pun berdiri dengan ucapan yang sama,
kemudian orang yang keempat juga mengatakan hal yang sama.

Seraya Rasulullah –shallallahu
‘alaihi wa sallam- menghampiri mereka dengan wajah yang nampak marah:

“Apa yang kalian inginkan
dari Ali, Apa yang kalian inginkan dari Ali, Apa yang kalian inginkan dari
Ali…?!, sungguh Ali itu berasal dari saya dan saya berasal darinya, dan dia
lah wali dari semua orang mukmin setelahku”. (HR. Ahmad: 33/154, cetakan
Muassatur Risalah dan Tirmidzi: 3712, dan banyak lagi yang lainnya, mereka
semua berasal dari jalur Ja’far bin Sulaiman berkata; “ini diriwayatkan dari
Yazin Ar Rusyki, dari Mutharriq bin Abdullah, dari Imron bin Husain”. Adz
Dzahabi –rahimahullah- berkata: “Dia termasuk merupakan orang-orang jalurnya
Ja’far”. (Siyar A’lam Nubala’: 8/199)

Ulama kita telah berbeda
pendapat tentang hukumnya hadits tersebut menjadi dua pendapat:

Pertama: Menerima hukumnya
hadits tersebut

Tirmidzi berkata:

“Ini adalah hadits hasan dan
gharib, kami tidak mengetahui kecuali dengan jalur ini, yaitu; dari jalur
Ja’far bin Sulaiman”.

Al Hakim berkata:

“Hadits tersebut adalah
shahih sesuai dengan syarat Imam Muslim”. Dan Imam Adz Dzahabi mendiamkannya.
(Al Mustadrak: 3/119)

Dishahihkan juga oleh Ibnu
Hibban dengan meriwayatkannya di dalam kitab Shahihnya (15/374)

Ibnu ‘Adiy –rahimahullah-
berkata:

“Abu Abdirrahman an Nasa’i
memasukkannya ke dalam kitab shahihnya, dan tidak dimasukkan oleh Imam
Bukhori”. (Al Kamil: 2/146)

Al Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah-
berkata: “Sanadnya kuat”.  (Al Ishobah: 4/596)

Dan dishahihkan oleh Albani
di dalam Silsilah Shahihah: 2223.

Alasan mereka mengatakan
hadits tersebut shahih adalah “Karena banyak dari para ulama menyatakan
bahwa Ja’far bin Sulaiman Adh Dhab’i (tsiqah) termasuk yang dapat dipercaya,
dan mereka juga mendapatkan dua orang saksi lainnya untuk hadits tersebut,
keduanya adalah dari Ibnu Abbas dalam Musnad Ahmad: 1/330 dan di dalam
Musnad ath Thayalisi: 4/470 cetakan Hajar dengan bantuan Syeikh Abdul Muhsin
At Turki dan di dalam sanadnya ada Abu Balaj yang masih menjadi
diperdebatkan. Saksi yang kedua adalah dari hadits Buraidah bin Hushaib
dalam Musnad Ahmad: 38/118 dan di dalam sanadnya ada Ajlah bin Abdullah al
Kindi dia adalah orang Syi’ah dan lemah, dan diriwayatkan juga oleh lebih
dari satu orang selain Buraidah yang tidak ada redaksi tersebut, termasuk
juga ada di dalam Shahih al Bukhori: 4350.

Kedua: Melemahkan hadits
tersebut.

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah-
berkata:

“Hadits tersebut adalah dusta
dan maudhu’ sesuai dengan kesepakatan para ulama hadits”. (Minhaj Sunnah an
Nabawiyah: 7/385)

Para pentahqiq (peneliti)
dari Musnad Ahmad cetakan Muassatur Risalah telah melemahkannya.

Penyebab mereka melemahkan
hadits tersebut adalah bahwa Ja’far bin Sulaiman adh Dhob’i meriyatkannya
sendirian, karena Yahya bin Sa’id al Qaththan melemahkannya. Abdurrahman bin
Mahdi tidak merasa nyaman dengan haditsnya. Al Bukhori –rahimahullah-
berkata tentang hadits tersebut: “Sebagian haditsnya diperselisihkan”. Ali
bin Al Madini berkata: “Haditsnya lebih banyak yang diterima, dan sisanya
adalah manakiir (mungkar)”. Ibnu Sa’d berkata: “Sebelumnya dia tsiqah (bisa
diterima), namun ada yang lemah”, hal itu bisa dilihat pada Tahdzib at
Tahdzib: 2/97”.

Ketika para ahli hadits
melakukan ijma’ bahwa dia sebelumnya adalah seorang penganut syi’ah yang
ekstrim, mencela Mu’awiyah, maka pada saat itu sebagian dari para ulama
melemahkan haditsnya yang diriwayatkan olehnya sendirian, karena orang
seperti dia tidak bisa diterima jika meriwayatkan hadits sendirian, terlebih
hadits yang diriwayatkan olehnya dalam hal ini memperkuat bid’ahnya, inilah
pernyataan yang kami lebih cenderung kepadanya dalam hadits-hadits tentang
fadhilah amal.

Ketiga:

Kalau misalnya hadits
tersebut kita anggap shahih dan bisa diterima, maka tidak ada yang bisa
menunjukkan -baik dari sisi dekat maupun jauh- sesuai dengan keinginan
syi’ah tentang penetapan kepemimpinan Ali –radhiyallahu ‘anhu- setelah Nabi
–shallallahu ‘alaihi wa sallam- meninggal dunia, hal itu bisa dilihat dari
beberapa sisi:

1.Bahwa kata
“Wali” mempunyai banyak arti dalam bahasa Arab, maka dengan dalil mana orang
Syi’ah mengkhususkan arti wali tersebut dengan khilafah (kepemimpinan). Al
Fairuz Abadi –rahimahullah-: “Al Walyu” artinya kedekatan dan hujan setelah
hujan. “Wali” yang mencintai, teman, penolong. “Waliya Syai’a / ‘ala syai –
wilayah wa walayah” artinya adalah langkah, kepemimpinan dan penguasa. “Al
Wala’”  adalah raja. “Al Maula” yang memiliki, hamba sahaya, hamba yang
memerdekakan, yang dimerdekakan, teman, kerabat seperti anaknya paman atau
yang lainnya, tetangga, yang bersumpah, anak laki-laki, paman dari jalur
bapak, tamu, kolega, anak laki-laki dari saudari perempuan, wali, Rabb,
penolong, pemberi nikmat, yang diberi nikmat, yang mencintai, yang mengikuti,
kerabatnya suami atau istri”. (al Qamus al Muhith: 1732)

2.Jika maksud
dari hadits tersebut adalah kepemimpinan dan khilafah maka kenapa Rasulullah
–shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

( ولي كل مؤمن بعدي )

            “Sebagai wali
Setiap mukmin setelahku”

Dan Ali –radhiyallahu ‘anhu-
menjadi kholifah bagi siapa saja yang hidup pada masanya, dan tidak menjadi
amir (pemimpin) bagi setiap orang mukmin sampai hari kiamat.

3.Telah
disebutkan di dalam beberapa riwayat hadits dengan redaksi:

( ولي كل مؤمن في الدنيا والآخرة ) ” مسند أحمد
” (5/179):

“Setiap orang yang beriman
menjadi wali (pemimpin) di dunia dan akherat”. (Musnad Imam Ahmad: 5/179)

Redaksi tersebut menafikan
bahwa arti dari “wali” di sini adalah kepemimpinan, maka bagaimana akan
menjadi amir mukiminin di akhirat ?!.

4.Kami belum
pernah mendengar dari Ali –radhiyallahu ‘anhu-, tidak juga dari salah
seorang pendukungnya, bahkan tidak juga dari salah seorang dari para sahabat
yang mulia menjadikan hadits tersebut hujjah (alasan) sebagai penetapan
khilafah kepada Ali –radhiyallahu ‘anhu- setelah wafatnya Nabi –shallallahu
‘alaihi wa sallam-.

Maka makna yang benar menurut
kalimat ini adalah kedekatan cinta, pertolongan dan penguatan, bahwa
mencintai Ali bin Abi Thalib –radhiyallahu ‘anhu- bagi setiap orang mukmin
adalah wajib, demikian juga menolong dan menguatkannya dalam kebenaran.

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah-
berkata:

“Perkataannya:

“هو ولي كل مؤمن بعدي”
(Dia adalah wali bagi setiap orang mukmin setelahku) adalah bentuk kedustaan
kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, karena dia adalah wali
bagi setiap orang mukmin baik semasa hidup Nabi maupun setelah beliau
meninggal dunia, wali setiap mukmin itu semasa hidup dan setelah
meninggalnya, maka al wilayah (Kedekatan) yang bermakna lawan kata dari al
‘adawah (permusuhan) tidak hanya berkaitan dengan waktu tertentu, sedangkan
al wilayah yang berarti al Imarah (kepemimpinan) maka seharusnya dikatakan:

“والي كل مؤمن بعدي )
(Pemimpin bagi setiap orang mukmin setelahku), sebagaimana yang dikatakan
pada shalat jenazah: “Jika telah berkumpul wali (kerabat) dan waali (pemimpin),
maka didahulukan pemimpin menurut pendapat yang mayoritas, namun sebagian
berpendapat didahulukan kerabat”.

Maka perkataan seseorang: “علي
ولي كل مؤمن بعدي”
adalah ucapan yang tidak boleh disandarkan kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi
wa sallam-, karena jika dia ingin berarti “Muwalah” (kedekatan) maka tidak
perlu kata “setelahku”, dan jika yang dia inginkan adalah “Imarah” (kepemimpinan)
maka seharusnya dia mengatakan “Waali” bagi setiap mukmin”. (Minhajus Sunnah:
7/278)

Baca juga jawaban soal nomor:
26794.

Beliau –rahimahullah- juga
berkata:

“Pada ucapan tersebut tidak
menunjukkan dengan jelas bahwa yang dimaksud adalah khilafah; karena maula
seperti wali, Alloh –Ta’ala- berfirman:

( إنما وليكم الله ورسوله والذين آمنوا )،

“Sesungguhnya penolong kamu
hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman…”. (Al Maidah: 55)

dan di dalam firman-Nya yang
lain:

( وإن تظاهرا عليه فإن الله هو مولاه وجبريل وصالح المؤمنين
والملائكة بعد ذلك ظهير
(

“…dan jika kamu berdua bantu-membantu
menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu
pula) Jibril dan orang-orang mu’min yang baik; dan selain dari itu
malaikat-malaikat adalah penolongnya pula”. (QS. At Tahrim: 4)

Dia (Alloh) menjelaskan bahwa
Rasul adalah wali (penolong) bagi orang-orang yang beriman, dan mereka juga
mawali (pelindung) nya, sebagaimana Alloh menjelaskan bahwa Alloh adalah
wali (penolong) bagi orang-orang yang beriman, dan mereka adalah para
penolong, dan bahwa orang-orang yang beriman menjadi penolong bagi sebagian
mukmin lainnya, al muwalah (kedekatan) lawan kata dari al mu’adah
(permusuhan), adalah penetapan (posisi) pada kedua sisi, meskipun salah satu
dari keduanya lebih agung dari yang lainnya, maka wilayah (kedekatannya)
berarti pemberian kebaikan dan keutamaan, dan dari wilayah (kedekatan) dari
sisi yang lain berarti ketaatan dan ibadah, sebagaimana Alloh mencintai
orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang beriman mencintai-Nya, maka
al muwalah (kedekatan) lawan kata dari permusuhan, penyerangan dan penipuan.
Orang-orang kafir tidak mencintai Alloh dan Rasul-Nya, mereka menentang dan
memusuhi Alloh dan Rasul-Nya, Alloh –Ta’ala- telah berfirman:

( لا تتخذوا عدوي وعدوكم أولياء(

“janganlah kamu mengambil
musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia”. (Al Mumtahanah: 1)

Dia (Alloh) memberi mereka
pahala karena itu, sebagaimana dalam firman-Nya:

( فإن لم تفعلوا فأذنوا بحرب من الله ورسوله(

“Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangimu”. (QS. Al Baqarah: 279)

Dia (Alloh) adalah wali
(pelindung) bagi orang-orang yang beriman dan Dia dalah maula (pelindung)
bagi mereka, mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya, jika demikian
maka maksud dari bahwa Alloh adalah wali dan maula dari orang-orang yang
beriman dan Rasul juga menjadi wali dan maula mereka dan Ali juga menjadi
maula mereka adalah kedekatan (kecintaan) yang menjadi lawan kata dari
permusuhan.

Orang-orang yang beriman
saling tolong-menolong kepada Alloh dan Rasul-Nya dengan muwalah (kedekatan)
yang menjadi lawan kata dari saling bermusuhan. Ini merupakan hukum yang
tetap bagi setiap mukmin, sedangkan Ali –radhiyallahu ‘anhu- termasuk mereka
yang beriman yang menolong mereka dan mereka juga menolongnya.

Pada hadits tersebut
menunjukkan penetapan imannya Ali dalam batinnya, dan menjadi saksi bahwa
beliau berhak untuk ditolong baik secara dzahir dan batin, hal ini menjawab
apa yang dikatakan oleh musuh-musuhnya dari kalangan Khowarij dan Nawashib,
akan tetapi hal itu tidak menunjukkan bahwa orang-orang mukmin tidak
mempunyai maula kecuali dia saja, bagaimana hal itu terjadi padahal
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- juga mempunyai maula (para
penolong), mereka adalah orang-orang mukmin yang shaleh, maka Ali juga
mempunyai maula (para penolong), mereka juga orang-orang yang beriman yang
berwala kepadanya, dan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah bersabda:

( إن أسلم وغفارا ومزينة وجهينة وقريشا والأنصار ليس لهم مولى
دون الله ورسوله

“Sesunggunya Aslam, Ghaffar,
Muzanah, Juhainah, Quraisy dan Anshar mereka tidak mempunyai maula
(penolong) selain dari pada Alloh dan Rasul-Nya”.

Dia (Alloh) menjadikan mereka
sebagai mawali (para penolong) Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-
sebagaimana Dia menjadikan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya,
sedangkan Alloh dan Rasul-Nya sebagai penolong mereka.

Secara umum, bedakan antara
wali, maula dan yang serupa dengannya (penolong) dengan waali (pemimpin),
maka bab wilayah yang menjadi lawan kata dari permusuhan adalah sesuatu, dan
wilayah yang berarti imarah (kepempinan) adalah sesuatu yang lain. Hadits
tersebut menunjukkan arti yang pertama dan bukan yang kedua, karena Nabi
–shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak bersabda: “Barang siapa yang saya
menjadi waalinya (pemimpinnya) maka Ali menjadi waalinya (pemimpinnya)” akan
tetapi redaksi haditsnya adalah:

من كنت مولاه فعلي مولاه

“Barang
siapa yang saya menjadi maula (penolongnya) maka Ali juga menjadi maula
(penolongnya)”.

Inilah yang menunjukkan bahwa
yang dimaksud bukanlah yang berari khilafah, karena bahwa dia sebagai wali
dari setiap orang mukmin adalah sifat yang tetap baginya semasa hidup Nabi
–shallallahu ‘alaihi wa sallam- hukumnya tidak berubah sampai beliau
meninggal dunia, sedangkan khilafah maka tidak bisa menjadi kholifah kecuali
setelah beliau meninggal dunia, maka bisa dikenali perbedaan dari keduanya.

Dan jika Nabi –shallallahu
‘alaihi wa sallam- lebih utama bagi orang-orang mukmin dari pada diri mereka
sendiri, pada masa hidup beliau dan setelah beliau meninggal dunia sampai
hari kiamat, maka jika dia menjadikan seseorang kholifah pada beberapa
urusan semasa hidup beliau atau jika dianggap telah menunjuk kholifah pada
beberapa urusan semasa hidupnya atau setelah wafatnya yang dikuatkan dengan
dalil dan ijma’, maka dia lebih berhak dengan khilafah tersebut dan dengan
semua orang-orang mukmin dari pada diri mereka sendiri, maka tidak serta
merta selain beliu menjadi lebih utama bagi setiap mukmin dari pada diri
mereka sendiri, apa lagi terjadi pada masa hidup beliau –shallallahu 
‘alaihi wa sallam-. Adapun bahwa Ali dan lainnya menjadi maula bagi setiap
orang mukmin maka hal itu merupakan sifat yang tetap bagi Ali pada masa Nabi
–shallallahu ‘alaihi wa sallam- masih hidup dan setelah beliau meninggal
dunia, dan setelah Ali meninggal dunia sekali pun, maka saat ini pun Ali
menjadi maula bagi setiap mukmin, sekarang beliau tidak berpaling dari
manusia, demikian juga semua orang-orang yang beriman sebagian mereka
menjadi penolong bagi sebagian yang lain dalam keadaan hidup maupun sudah
meninggal dunia”. (Minhajus Sunnah an Nabawiyah: 7/322-325)

Keempat:

Adapun klaim bahwa Ali bin
Abi Thalib, Fatimah, Hasan dan Husain –radhiyallahu ‘anhum- sederajat dengan
para Nabi, maka klaim merupakan bentuk kedustaan yang batil, bahkan termasuk
kekafiran yang menghancurkan akidah Islam; karena bertentangan dengan ijma’
para ulama bahwa derajat para Nabi tidak akan bisa diraih oleh selain dari
para Nabi, Alloh –Ta’ala- berfirman:

( اللَّهُ يَصْطَفِي مِنَ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ
النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ ) الحج/75.

“Allah memilih utusan-utusan
(Nya) dari malaikat dan dari manusia; sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat”. (QS. Al Hajj: 75)

Para Rasul dan para Nabi
mereka adalah pilihan dari semua makhluk Alloh, dan barang siapa yang
mengklaim selain dari pada itu maka perlu diminta dalilnya, tidak akan ada
seseorang yang bisa menetapkan bahwa Ali, Fatimah, Hasan dan Husain sama
dengan derajat para Nabi kecuali dengan kedustaan, penyimpangan, membuat
hadits-hadits dan riwayat palsu.

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah-
berkata:

“Barang siapa yang
berlebih-lebihan sikapnya kepada para wali atau yang dinamakan wali Alloh,
atau yang dinamakan keluarga Alloh, atau mereka yang disebut dengan para
hakim, atau para ahli filsafat atau yang lainnya yang tidak jauh berbeda
dengan nama-nama para Nabi, menjadikan mereka sama dengan para Nabi atau
lebih baik dari para Nabi, maka wajib di istitaab (dikurung agar bertaubat),
jika dia tidak mau maka dibunuh”. (Ash Shafdiyah: 1/262)

Syeikh Muhammad bin Abdul
Wahab –rahimahullah- berkata:

“Barang siapa yang meyakini
bahwa selain dari para Nabi lebih utama dari mereka atau menyamai derajat
para Nabi, maka dia telah menjadi kafir. Pendapat itu disarikan dari ijma’
sebagian para ulama, maka mana ada sisi kebaikan pada suatu kaum yang
keyakinan mereka mewajibkan untuk tidak diimani”. (Risalah fi Ra’dd ‘ala
Rafhidhah: 29) .

Baca juga: “Al Fashlu fil
Milal wal Ahwa’ an Nihal: 4/21)

Wallahu A’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android