Unduh
0 / 0
1473105/05/2001

Makna Hadits: لا هامة ولا صفر ولا نوء ولا غول

Pertanyaan: 13930

Saya membaca hadits aneh yang meniadakan ‘Hammah’ ‘Shafar’ ‘Nau’ ‘Ghoul’ apa arti ungkapan kata-kata ini?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Ibnu Muflih Al-Hanbali
rahimahullah mengatakan, “Dalam kitab Al-Musnad dan Ash-Shahihain (Shahih
Bukhari dan Shahih Muslim) serta lainnya dari Nabi alaihis salam, beliau
bersabda, “Tidak ada Hammah dan Shafar.’ Imam Muslim dan lainnya menambahkan
“Tidak ada Nau dan Gul.”

Kata ‘Al-Hamah’ adalah kata
tunggal dari ‘Al-Ham’ dahulu masyarakat jahiliyah mengatakan, “Tidak ada
orang yang meninggal dunia dan dikubur kecuali akan keluar dari kuburannya
serangga. Dahulu orang arab menyangka bahwa tulang mayit menjadi serangga
dan terbang. Mereka mengatakan, “Bahwa orang yang terbunuh akan keluar dari
kepalanya kutu. Dia senantiasa berkata, ‘Berilah saya minum, berilah saya
minum sampai dia menunaikan dendamnya dan membunuh orang yang membunuhnya.”

Ungkapan ‘Tidak ada Shafar’,
ada yang mengatakan bahwa dahulu orang-orang merasa sial dengan masuknya
bulan Shafar. Maka Nabi sallallahu alaihi wa sallam  mengatakan, ‘Tidak ada
Shafar’. Ada juga yang berkata,  ‘Dahulu orang arab menyangka bahwa di perut
ada ular yang menyerang manusia, kalau dia berjimak dan menyakitinya. Dan
dia menular, kemudian agama membatalkan keyakinan tersebut. Malik mengatakan,
“Dahulu penduduk jahiliyah menghalalkan bulan Shafar setahun dan
mengharamkannya setahun yang lain.”

Kata ‘An-Nau’ adalah bentuk
tunggal dari ‘Al-Anwa’, ia adalah delapan belas posisi, maksudnya adalah
posisi bulan. Di antaranya firman-Nya Ta’ala:

والقمر
قدرناه منازل

“Dan
telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah.” (QS. Yasin: 39)

Pada setiap 13 malam ada satu
manzilah yang jauh di bagian barat bersamaan dengan terbit fajar, dan
sebanding dengan itu, terbit lagi satu manzilah di arah timur pada waktu
yang sama sehingga semuanya habis salam setahun. Dahulu orang arab menyangka
bahwa saat jatuhnya sebuah manzilah dan dan kemudian terbit manzilah serupa
dengan itu, akan ada hujan. Sehingga mereka menyandarkan dan mengatakan kami
dapat hujan karena bintang ini dan itu. Dinamakan ‘nau’ karena apabila ia
terbenam di barat dan maka akan terbit satu manzilah serupa  di timur. Nau
artinya: Muncul dan terbit. 

Adapula yang mengatakan,
“Maksud dari Nau’ adalah terbenam, dia termasuk kata yang berlawanan.

Adapun perkataan orang yang
menjadikan hujan bagian dari kehendak Allah Ta’ala dan yang dia maksudkan
dengan perkataan ‘Kami dapat hujan dengan bintang ini’ yaitu  di bintang ini
dan itu. Maksudnya adalah bahwa Allah menjadikan waktu-waktu tersebut
sebagai saatnya turun hujan. Maka di kalangan kami terdapat perbedaan apakah
hal ini diharamkan atau dimakruhkan.

Adapun Kata ‘Al-Ghoul’ adalah
bentuk jamak dari ‘Ghailan’ yaitu jenis Jin dan Setan. Dahulu orang Arab
menyangka bahwa ghoul di tanah lapang  mengintai manusia lalu mereka
menyusup dan berubah-ubah warnanya dengan berbagai wujud lalu menyesatkan
jalan dan membinasakan mereka. Maka agama menghilangkan dan membatalkan
keyakinana ini. Ada yang mengatakan demikian. 

Adapula yang mengatakan,
bukan meniadakan keberadaan hantu, akan tetapi membantah keyakkinan
masyarakat Arab ketika itu bahwa hantu tersebut dapat berubah-ubah wujud dan
menyusup masuk dalam diri manusia.  Sehingga maksud ‘Tidak ada hantu’ adalah
bahwa setan tidak dapat menyesatkan seorangpun. Hal itu diperkuat dengan
hadits yang terakhir riwayat Muslim dan lainnya, ‘Tidak ada hantu (ghoul)
akan tetapi ‘Sa’ala (tukang sihir jin).’ Kata ‘Sa’ala adalah tukang sihir
jin. Jadi  tukang sihir itulah yang sejatinya mengganggu dengan menyebabkan
orang hilang konsentrasi dan berhalusinasi. Diriwayatkan oleh Kholal dari
Thowus bahwa ada seseorang yang menemaninya, lalu ada suara burung gagak.
Dia mengatakan, “Baik, baik.” Thowus berkata kepadanya, “Kebaikan apa dalam
hal ini dan kejelekan apa? Engkau jangan menemaniku.”

(Al-Adab As-Syar’iyyah,
3/369, 370).

Ibnu Qoyyim mengatakan,
“Sebagian berpendapat bahwa sabda nabi ‘Orang sakit tidak boleh mendatangai
orang sehat.’ Terhapus oleh sabdanya ‘Tidak ada (penyakit) menular’. Ini
tidak benar. Hal tersebut, karena yang dilarang adalah jenis yang tidak
diizinkan. Yang ditiadakan oleh Nabi sallallahu alaihi wa sallam dalam
sabdanya adalah ‘Tidak ada penyakit menular dan tidak ada Shafar’ yaitu
keyakinan yang mengandung kesyirikan. Karena mereka mengaitkan hal itu dan
membandingkannya dengan keyakinan kesyirikan dan kekufuran mereka.

Adapun yang dilarang Nabi
sallallahu alaihi wa sallam bahwa orang sakit tidak boleh mendatangi orang
sehat. Hal ini ada dua penafsiran:

Pertama, khawatir akan
menyebabkan terjadinya penularan penyakit sesuai kadar yang telah Allah
tetapkan. Di sisi lain, hal ini akan membuat orang yang didatangi menjadi
khawatir dan membuatnya menyakini adanya penyakit menular (berdasarkan
keyakinan syirik). Maka sesungguhnya di antara kedua hadits ini tidak ada
kontradiksi sama sekali.

Penafsiran kedua adalah,
bahwa orang sakit yang mendatangi orang sehat dan menjadi sebab Allah
menciptakan penyakit di dalamnya. Maka hal itu dianggap sebagai sebab.
Kadang Allah mencegah pengaruhnya dengan sebab yang bertolak belakang atau
menghalangi dengan kekuatan sebab yang ada. Hal ini murni ketauhidan,
berbeda dengan apa yang diyakini  pelaku kesyirikan.

Hal ini seperti peniadaan
Allah Subhanahu atas syafaat pada hari kiamat, dengan firman-Nya “Pada
hari itu tidak ada lagi jual beli, tidak ada kekasih dan tidak ada lagi
syafa’at.” Hal itu tidak bertentangan dengan hadits mutawatir yang jelas
menetapkan (syafaat). Allah Subahanahu sesungguhnya meniadakan syafaat yang
diyakini  pelaku syirik. Yaitu syafaat yang diberikan pemberi syafaat kepada
orang yang akan diberi syafaat di sisinya meskipun belum diberi izin (oleh
Allah). Adapun syafaat yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya yaitu
syafaat yang telah mendapatkan izin-Nya. Seperti firman-Nya.

من ذا
الذي يشفع عنده إلا بإذنه

“Tiada
yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya?” (QS: Al-Baqarah:
255)

Firman Allah Ta’ala:

ولا يشفعون إلا لمن ارتضى

“Dan
mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah.”
(QS. Al-Anbya’: 28)

Firman Allah Ta’ala

ولا تنفع الشفاعة عنده إلا لمن أذن له

 “Dan tiadalah berguna
syafa’at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya
memperoleh syafa’at itu.” (QS. Saba: 23)

Hasyiah Tahzib Sunan Abi
Dawud, (10/289-291).

Wallahul Muwafiq Lissowab.

Refrensi

Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android