Saya mendengar pada salah satu cenel agama tentang hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu yang maknanya, bahwa beliau mengajarkan Al-Qur’an kepada seseorang. Dimana orang tersebut tidak dapat mengucapkan kata ‘Al-Atsim’ dalam firman Allah Ta’ala:
(إن شجرة الزقوم طعام الأثيم) kemudian Abdullah bin Mas’ud menggantikan dengan kata ‘Al-Fajir’ perlu diketahui bahwa para syekh dalam canel tersebut menetapan bahwa hadits tersebut shoheh. Pertanyaannya adalah, bagaimana (hal itu) terjadi padahal telah ada sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam “Katakan, Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri.”?
APAKAH IBNU MAS’UD MEMPERBOLEHKAN BACAAN AL-QUR’AN DENGAN MAKNA?
Pertanyaan: 141849
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Pertama,
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad sallallahu’alaihi wa salla, tidak seorangpun boleh menggantikannya. Baik Nabi sallallahu’alaihi wa sallam apalagi orang lain (tidak diperbolehkannya). Dalam hal itu Allah berfirman:
(وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُنَا بَيِّنَاتٍ قَالَ الَّذِينَ لا يَرْجُونَ لِقَاءَنَا ائْتِ بِقُرْآنٍ غَيْرِ هَذَا أَوْ بَدِّلْهُ قُلْ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أُبَدِّلَهُ مِنْ تِلْقَاءِ نَفْسِي إِنْ أَتَّبِعُ إِلا مَا يُوحَى إِلَيَّ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ) يونس/15
“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: “Datangkanlah Al Quran yang lain dari ini atau gantilah dia.” Katakanlah: “Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat).” SQ. Yunus: 15.
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ini bukan dariku, sesungguhnya saya hanya seorang hamba yang diperintahkan dan seorang utusan yang menyampaikan dari Allah.” Tafsir Ibnu Katsir, 4/253.
Az-Zarqoni rahimahullah mengatakan, “Tidak ada lagi perkataan setelah perkataan Allah dan Rasul-Nya. Begitu juga umat telah bersepakat (Ijma’) bahwa tidak ada campur tangan seorang manusia dalam pengaturan AL-Qur’an ini, baik dari sisi metode, lafadznya bahkan dari sisi hukum pelaksanaannya. Barangsiapa yang keluar dari ijma’ ini, dan mengikuti selain jalan orang-orang mukmin. Maka Allah yang akan mengambil alih untuknya dan akan dimasukkan ke neraka Jahanam. Dan itu adalah tempat yang terjelek.
Dan kita telah melihat AL-Qur’an pada ayat tersebut melarang Rasulullah sallallahu’alaih wa sallam mencoba untuk hal itu dengan pelarangan ketat, disertai dengan ancaman keras dan hukuman yang menyakitkan. Maka tidak layak bagi Ibnu Mas’ud dan yang lebih besar dari Ibnu Mas’ud setelah ini untuk menggantikan lafad diantara lafadz-lafadz Al-Qur’an dengan lafadz lain dari dirinya. ‘Manahilul Irfan Fi Ulumil Qur’an, 1/188.
Kedua,
Sementara atsar dari Ibnu Mas’ud telah dikeluarkan oleh Abu Ubaid, Ibnu Anbari dan Ibnu Mundzir –sebagaimana yang dikatakan oleh Suyuthi- dari Aun bin Abdullah sesungguhnay Ibnu Mas’ud membacakan kepada seseorang ayat (إن شجرة الزقوم طعام الأثيم) dan orang itu membaca “طعام اليتيم” dengan diulang-ulang. Lisannya tidak sempurna. Maka beliau mengatkaan, “Apakah kamu dapat mengucapkan طعام الفاجر dia menjawab, “Ya, maka dia lakukan.
Telah diriwayatkan semisal itu dari Abu Darda’ radhiallahu’anhu dikeluarkan oleh Said bin Mansur dan Abdun bin Humaid, Ibnu Jarir, Ibnu Al-Mundzir serta Hakim dan dishohehkannya. Silahkan melihat, ‘Ad-Dur Al-Mantsur karangan Suyuti, 7/418.
Para ulama’ telah menjawab hal ini dengan jawaban kuat yang dapat menghilangkan permasalahan yang ada dalam pertanyaan. Diantara jawaban itu adalah,
1.Sesungguhnya hal ini dari Ibnu Mas’ud untuk mendekatkan kepada orang yang belajar, agar memahami artinya sehingga setelah itu dapat memudahkan untuk mengucapkannya dengan cara yang benar.
Al-Qurtubi rahimahullah mengatakan setelah menyebutkan dua atsar dari Ibnu Mas’ud dan Abu Darda’, “Hal ini tidak ada lagi hujjah bagi orang-orang bodoh dari kalangan orang yang menyeleweng yang memperbolehkan mengganti huruf Al-Qur’an dengan lainnya. Karena hal itu dari Abdullah untuk mendekatkan (pemahaman) kepada murid. Sebagai permulaan darinya untuk kembali kepada yang benar. Dan mempergunakan kebenaran dan berbicara dengan huruf sesuai apa yang diturunkan Allah dan apa yang diceritakan oleh Rasulullah sallallahu’al’aihi wa sallam.” Tafsir Al-Qurtubi, 16/149.
2.Bisa jadi perkataan Ibnu Mas’ud ada kemungkinan telah ada bacaan kata ini pada dua sisi. Dan Ibn Mas’ud telah mendengarkan dua cara tersebut dari Rasulullah sallallahu’alahi wa sallam. Yang menguatkan pendapat ini, adanya ketetapan dari Abu Darda’ juga. Az-Zarqoni rahimahullah mengatakan, “Sementara periwayatan yang disandarkan kepada Ibnu Mas’ud dimana beliau membacakan kepada seseorang kata “الفاجر” pengganti dari kata (الأثيم) dari firman Allah ta’ala (إن شجرت الزقوم طعام الأثيم) hal itu menunjukkan bahwa Ibnu Mas’ud telah mendengar dua riwayat dari Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam. Ketika melihat seseorang kesulitan untuk mengucapkannya yang pertama. Maka beliau mengisyaratkan untuk membacanya yang kedua. Dan keduanya diturunkan dari sisi Allah. ‘Manahilul Irfan, 1/133.
3.Ada kemungkinan prilaku dua orang shahabat ini, sebagai penafsiran ayat bukan menggantikan lafadznya. Keduanya ingin menafsirkan kepada pembaca arti ‘Al-Atsim’ itu artinya ‘Al-Fajir (orang yang berdosa). Abu Bakar Al-Jassos rahimahullah mengatakan, “Diperbolehkan kalau maksudnya adalah penafsiran bukan nash bacaan. Sebagaimana perkataan Ibnu Mas’ud kepada orang non Arab yang ditalqinkan kepadanya ayat (إن شجرة الزقوم طعام الأثيم) dia membaca “طعام اليتيم” ketika tidak mampu, maka beliau mengatakan “طعام الفاجر” sesungguhnya beliau ingin memahamkan artinya. ‘Ahkamul Qur’an, 5/337.
Dan jawaban terakhir ini yang dikenal di kalangan para ulama’. Sampai Abu Hayyan pakar tafsir memberi kemungkinan semua apa yang ada dari para shahabat dari bacaan yang berbeda dengan tulisan mushaf yang telah disepekati, bahwa hal itu sebagai penafsiran ayat bukan dari Al-Qur’an.
Tidak mungkin persangkaan kepada Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu mengucapkan suatu perkataan dari dirinya sendiri. Kemudian disandarkan kepada Tuhannya bahwa hal itu dari Al-Qur’an AL-Karim. Para ulama’ sangat mengingkari bagi orang yang berkeyakinan bahwa hal itu merupakan tindakan salah seorang shahabat yang mulia atau setelahnya dari kalangan para ulama’. Tidak ada dalalm agama Allah apa yang dinamakan bacaan dengan makna. Dan intrik yang dilakukan oleh sekelompok orientalis kafir dan sekelompok orang Rofidhoh zindiq merusak keautentikan yang kuat dan pasti lafadz Al-Qur’an dan telah terjaga dari penggantian dan penyimpangan. Adalah intrik yang gagal. Tidak kuat hanya sekedar mendengar dan tidak benar setelah diadakan kajian secara ilmiyah. Al-Qurtuby rahimahullah mengatakan, “Ibnu AL-Anbari mengatakan, sebagian orang sesat berpendapat bahwa orang yang mengatakan barangsiapa yang membaca huruf sesuai dengan arti huruf Al-Qur’an, maka dia benar kalau tidak menyalahi artinya. Dia tidak mendatangkan selaian apa yang diinginkan oleh Allah dan tidak bermaksud hal itu. Mereka juga berdalil dengan perkataan Anas tentang hal ini. Pendapat ini tidak perlu dirujuk serta tidak perlu dilihat siapa yang mengatakan. Karena kalau sekiranya lafadz AL-Qur’an dibaca yang hampir mirip artinya dan mengandung maksudnya, maka seseorang diperbolehkan membaca pada ayat (الحمد للَّهِ رَبِّ العالمين) (Segala pujian hanya milik Tuhan seluruh alam) dengan mengganti “الشكر للباري ملك المخلوقين” (Puji syukur untuk Tuhan raja seluruh makhluk). Maka diperbolahkan melakukan hal ini. Sehingga akan membatalkan semua lafadz Al-Qur’an. Selanjutnya berbohong kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya sallallahu’alaihi wa sallam. Dan tidak ada dalil dari perkataan Ibnu Mas’ud “Diturunkan AL-Qur’an dengan tujuh huruf.” Sesungguhnya hal ini seperti perkataan salah seorang diantara kamu dengan mengatakan, ‘هلم ، وتعال ، وأقبل” (sinonim kata). Karena hadits ini mengharuskan bahwa bacaan yang dinukilkan harus dengan sanad yang shoheh dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam. Ketika berbeda lafadznya dan artinya sama. Hal itu seperti perbedaan dalam kata “هَلُمَّ” ، و “تعال” ، و “أقبل” (kemari). Sementara apa yang tidak dibacakan oleh Nabi sallallahu’alaihi wa sallam, para shahabat dan para tabiin. Maka barangsiapa yang mengadakan satu huruf dari Al-Qur’an, maka tertolak, menyimpang dan keluar dari madzhab yang benar. Sementara hadits mereka yang dijadikan sandaran mereka itu sesat dan tidak dibenarkan oleh ahli ilmu. ‘Tafsir Al-Qurtubi, 19/41, 42.
Perkataan Anas yang ditunjukkan tadi pada pembahasan pertama adalah apa yang diriwayatkan oleh AL-A’masy berkata, Anas bin Malim membaca ayat “إن ناشئة الليل هي أشد وطئا وأصوب قيلاً” dikatakan kepadanya ( وَأَقْوَمُ قِيلاً ) maka beliau mengatakan, ‘أقوم ، وأصوب ، وأهيأ : سواء (yang lebih bagus, lebih tepat dan lebih siap adalah sama).’ Selesai. Atsar dari Anas ini adalah hadits yang dikatakan oleh Qurtuby di akhir pembahasan barusan, tidak dishohehkan oleh ahli ilmu. Sehingga atsar ini tidak benar dari Anas radhiallahu’anhu.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Sementara orang yang mengatakan dari Ibnu Mas’ud bahwa beliau memperbolehkan bacaan dengan makna, maka dia telah berbohong kepadanya. Akan tetapi beliau hanya mengatakan, “Sungguh saya telah melihat kepada para pembaca, dan saya tahu bahwa bacaan mereka itu berdekatan. Sesungguhnya perkataan mereka itu seperti perkataan salah seorang diantara kamu, أقبل ، وهلم ، وتعال , maka bacalah seperti apa yang kamu ketahui.’ Atau seperti apa yang dikatakan. ‘Majmu’ Al-Fatawa, 13/397.
Wallahu’alam .
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam