Saya mendapatkan kesulitan dalam memahami dua hadits berikut ini:
Hadits pertama: Shahih al Bukhori / Kitab al Fadha’il Diriwayatkan oleh Abdullah bin Abdurrahman ad Darimi, dari Abu Ali al Hanafi, dari Malik bin Anas, dari Abu Zubair al Makky, bahwa Abu Thufail Amir bin Watsilah telah meriwayatkan, bahwa Mu’adz bin Jabal berkata:
“Kami keluar bersama Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pada tahun di mana perang Tabuk terjadi, beliau menjamak shalat dzuhur dan ashar, maghrib dan isya’, sampai pada hari yang lain beliau mengakhirkan shalat, kemudian beliau keluar dan mendirikan shalat dzuhur dan ashar, kemudian beliau masuk dan keluar setelah itu. Lalu beliau shalat maghrib dan isya’, kemudian beliau bersabda:
"إنكم ستأتون غدا، إن شاء الله، عين تبوك. وإنكم لن تأتوها حتى يضحى النهار. فمن جاءها منكم فلا يمس من مائها شيئا حتى آتي" فجئناها وقد سبقنا إليها رجلان. والعين مثل الشراك تبض بشيء من ماء. قال فسألهما رسول الله صلى الله عليه وسلم "هل مسستما من مائها شيئا؟" قالا: نعم. فسبهما النبي صلى الله عليه وسلم، وقال لهما ما شاء الله أن يقول. قال ثم غرفوا بأيديهم من العين قليلا قليلا. حتى اجتمع في شيء. قال وغسل رسول الله صلى الله عليه وسلم فيه يده ووجهه. ثم أعاده فيها. فجرت العين بماء منهمر. أو قال غزير – شك أبو علي أيهما قال – حتى استقى الناس. ثم قال "يوشك يا معاذ! إن طالت بك حياة، أن ترى ما ههنا قد ملئ جنانا".
“Kalian besok akan menemui –insya Alloh- peperangan Tabuk, kalian tidak akan menuju ke sana kecuali setelah masuk waktu Dhuha. Barang siapa di antara kalian yang mendatanginya janganlah menyentuh airnya sampai saya mendatanginya, pada saat kami mendatanginya ada dua orang yang telah mendahuluinya. Mata airnya seperti bekas telapak kaki yang dipenuhi air. Maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bertanya kepada keduanya: “Apakah anda berdua telah menyentuh airnya ?”, keduanya menjawab: “Ya”, maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mencela keduanya, beliau berkata kepada mereka berdua sesuai dengan kehendak Alloh (dengan kasar), kemudian mereka mengambil mata air tersebut dengan kedua telapak tangan mereka sedikt demi sedikit, sampai bisa dikumpulkan pada sebuah wadah. Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mencuci muka dan kedua tangan beliau dari wadah tersebut, kemudian beliau mengembalikannya, mata airnya pun mengalir dengan deras sampai semua orang memanfaatkannya, kemudian beliau bersabda: “Hampir saja wahai Mu’adz, jika engkau diberi panjang umur, kamu akan melihat di sini akan dipenuhi oleh kebun-kebun”.
Hadits kedua: Shahih Bukhori Kitab al Birr wa Shilah wa Aadab.
Diriwayatkan dari Zuhair bin Harb, dari Jarir dari al A’masy, dari Abu Dhuha dari Masruq, dari Aisyah berkata: “Ada dua orang laki-laki yang menemui Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- seraya beliau berbicara kepada keduanya yang saya tidak tahu apa yang dibicarakan, beliau memarahi keduanya, melaknat dan mencelanya, setelah keduanya keluar saya berkata: “Wahai Rasulullah, barang siapa yang diberi kemudahan untuk berbuat baik, maka tidak akan dilakukan oleh kedua orang ini. Beliau berkata: “Ada apa ?”, saya menjawab: “Anda telah melaknat dan mencelanya”. Beliau bersabda: “Tidakkah kamu tahu apa yang telah disyaratkan oleh Alloh ?, Ya Alloh, saya adalah manusia biasa, seorang muslim mana pun yang aku telah melaknat dan mencelanya, maka jadikanlah hal itu sebagai zakat dan pahala baginya”.
Pertanyaan saya adalah:
Sungguh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- lah yang mengajarkan kepada kami tentang menjaga lisan, di dalam Al Qur’an juga terdapat banyak ayat yang menyuruh kita untuk berkata baik, demikian juga sirah nabawiyah penuh dengan sikap Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang berkata dengan lembut, hingga kepada orang-orang Yahudi hingga menjadikan Ummul mukminin Aisyah –radhiyallahu ‘anha- marah.
Bagaimana mungkin kedua hadits di atas bisa diamalkan di hadapan nash-nash yang lain dan shahih, padahal kedua hadits tersebut adalah sama-sama shahih, jazakumullah khoiran dan semoga jawaban anda dijadikan pemberat timbangan kebaikan anda.
Apakah Ada Orang Yang Mencela Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- ?
Pertanyaan: 147389
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Sikap yang santun, tidak tergesa-gesa, menjaga lisan adalah termasuk sifat-sifat yang paling agung dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahkan pujian kepada beliau dengan sifat-sifat tersebut telah disebutkan dalam kitab-kitab para Nabi sebelum beliau yang tertera di dalam al Qur’an juga. Alloh –‘azza wa jalla- berfirman:
( فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ) آل عمران/159
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu”. (QS. Ali Imran: 159)
Dari Abdullah bin Amr bin Ash –radhiyallahu ‘anhu- berkata:
( وَاللَّهِ إِنَّهُ لَمَوْصُوفٌ فِي التَّوْرَاةِ بِبَعْضِ صِفَتِهِ فِي الْقُرْآنِ…لَيْسَ بِفَظٍّ ، وَلَا غَلِيظٍ ، وَلَا سَخَّابٍ فِي الْأَسْوَاقِ ، وَلَا يَدْفَعُ بِالسَّيِّئَةِ السَّيِّئَةَ ، وَلَكِنْ يَعْفُو وَيَغْفِرُ ) رواه البخاري (2125)
“Demi Alloh, beliau (Nabi Muhammad) telah disebutkan sifat-sifatnya dalam kitab Taurat sama dengan sebagian sifat-sifat beliau dalam al Qur’an, beliau tidak keras dan tidak berhati kasar, tidak bersikap sangar di pasar, beliau tidak membalas keburukan dengan keburukan, akan tetapi beliau memaafkan dan mengampuni”. (HR. Bukhori: 2125)
Dan dengan sifat itulah beliau dikenal di kalangan para sahabat, biografinya pun tersebar di dunia:
Dari Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu- berkata:
( لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبَّابًا ، وَلَا فَحَّاشًا ، وَلَا لَعَّانًا ، كَانَ يَقُولُ لِأَحَدِنَا عِنْدَ الْمَعْتِبَةِ – أي عند العتاب – : مَا لَهُ ! تَرِبَ جَبِينُهُ ) رواه البخاري (6031)
“Tidaklah Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- suka mencela, tidaklah suka berkata kotor, juga tidak suka melaknat, beliau pernah berkata ketika mau mencela seseorang: “Kenapa dahinya berdebu ?!”. (HR. Bukhori: 6031)
Kasih sayang Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidaklah terbatas hanya kepada umat Islam, bahkan orang-orang musyrik dan munafik pun mendapatkan kasih sayang beliau.
Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- berkata:
( قِيلَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ! ادْعُ عَلَى الْمُشْرِكِينَ ؟ قَالَ : إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا ، وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً ) رواه مسلم (2599)
“Wahai Rasulullah, do’akanlah celaka kepada orang-orang musyrik ?, beliau menjawab: “Sungguh saya tidak diutus untuk melaknat, akan tetapi saya diutus sebagai pembawa rahmat”. (HR. Muslim: 2599)
Kalau kita kumpulkan semua perilaku beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang sesuai dengan sabda beliau:
( إِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً )
“Sungguh saya diutus sebagai pembawa rahmat”.
akan membutuhkan berlembar-lembar kertas untuk bisa membukukan sunnah beliau yang shahih.
Pada saat yang sama kami juga berkata:
Tidak menutup kemungkinan dari seluruh bentuk kasih sayang Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- ada sedikit pada kondisi tertentu kemarahan yang sesuai dengan tabi’at manusiawinya, dalam hal ini tentu mengandung beberapa hikmah di antaranya adalah:
1.Bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- merupakan pemimpin umat Islam, seorang pemimpin terkadang membutuhkan sikap yang keras pada kondisi tertentu, agar semua urusan manusia bisa berjalan sebagaimana mestinya, agar mereka tidak menyalahgunakan kesabaran dan sifat pemaaf dari seorang pemimpin, tidakkah anda melihat bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menyuruh untuk merajam seorang pezina yang disertai dengan sikap yang keras lagi kasar pada hukuman tersebut, akan tetapi memperbaiki tatanan masyarakat tidak mungkin dilakukan kecuali dengan menegakkan keadilan, dan menerapkan syari’at, kalau tidak maka kesabaran seorang pemimpin (yang tidak pada tempatnya) akan merusak kehidupan masyarakat sehingga mereka akan kembali kepada kebatilan.
Demikianlah yang disimpulkan oleh al Qodhi ‘Iyadh –rahimahullah- dari hadits Mu’adz yang tertera pada pertanyaan di atas, beliau berkata: “Dalam hadits tersebut merupakan bentuk pengajaran seorang hakim dengan ucapan, dan celaan yang tidak melampaui batas”. (Ikmal Mu’allim: 7/242)
2.Di antara hikmah yang terbesar adalah perwujudan kekuatan yang sempurna yang telah Alloh berikan kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana dalam firman-Nya:
( لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا ) الأحزاب/21
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS. Al Ahzab: 21)
Kekerasan dan perkataan yang kasar jika diterapkan pada tempatnya yang benar, termasuk hal yang penting untuk dilakukan bagi para pemimpin dan bagi para penentu kebijakan umat, qudwah mereka adalah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Perbaikan itu tidak bisa dilakukan kecuali dengan menjaga keseimbangan antara memberi peringatan dan memberi harapan (targhib dan tarhib).
Oleh karenanya dapat kita temui dalam sunnah nabawiyah beberapa gambaran kekerasan yang dilakukan oleh Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pada beberapa kondisi tertentu.
Dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- bahwa ia berkata:
( مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا ، فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ ، وَمَا انْتَقَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ إِلَّا أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ بِهَا ) رواه البخاري (3560) ومسلم (2327)
“Tidaklah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- diberikan dua pilihan kecuali beliau memilih yang paling mudah selama tidak mengandung dosa, namun jika mengandung dosa beliau orang pertama yang paling menjauhinya, dan tidaklah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- balas dendam untuk pribadi beliau, kecuali jika larangan Alloh dinodai maka beliau membalas dendam karenanya untuk Alloh”. (HR. Bukhori: 3560 dan Muslim: 2327)
Yang menjadi inti dalil di atas adalah perkataan Aisyah –radhiyallahu ‘anha- : ( إِلَّا أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ بِهَا )“kecuali jika larangan Alloh dinodai maka beliau membalas dendam karenanya untuk Alloh”. Termasuk dalam hal ini adalah dua hadits yang disebutkan dalam pertanyaan di atas. Yang menjadikan beliau –shalallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata kasar sebagaimana yang dinukil oleh para ahli tafsir dan para pensyarah bahwa kedua orang laki-laki yang telah merusak mata air di Tabuk adalah termasuk orang-orang munafik, keduanya memang sengaja melakukannya untuk menyakiti umat Islam dan memutus sumber air bagi mereka, maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- memberikan sangsi kepada mereka dengan seringan-ringannya hukuman dari seorang hakim dengan ta’zir, yaitu; dengan perkataan yang kasar.
Al Waqidi –rahimahullah- berkata:
“Apa yang telah disebutkan kepada saya bahwa ada empat orang munafik yang telah mendahului hadir di sumur tersebut: Ma’tab bin Qusyair, al Harits bin Yazid ath Tha’I, Wadi’ah bin Tsabit, Zaid bin Lushaid”. (Dinukil dari Ar Rasudh al Anf: 7/384, baca juga: Maghazi bin Ishak: 605-606)
Ibnu Hazm –rahimahullah- berkata:
“Kedua orang tersebut memang layak mendapatkan celaan dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- karena telah melanggar larangan beliau dengan menyentuh air”. (Al Ihkam fii Ushulil Ahkam: 3/282)
3.Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak terjaga dari kesalahan dalam ucapannya, bisa jadi diperkirakan bahwa seseorang berhak untuk mendapatkan laknat atau celaan, maka beliau mencelanya sesuai dengan hukum secara dzahir, namun jika pada dasarnya dia tidak berhak mendapatkan celaan atau laknat dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka Alloh Yang Maha Pengasih dan Penyayang telah memberikan syarat agar menjadikan yang seperti itu pemberat timbangan kebaikan orang yang mencelanya, atau menjadi zakatnya dan menjadi penebus dosanya:
Imam Muslim (4706) telah meriwayatkan dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- berkata: Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
( اللَّهُمَّ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ ؛ فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ سَبَبْتُهُ أَوْ لَعَنْتُهُ أَوْ جَلَدْتُهُ : فَاجْعَلْهَا لَهُ زَكَاةً وَرَحْمَةً ) .
“Ya Alloh, sungguh saya adalah manusia biasa, maka seorang muslim manapun yang saya telah mencelanya, melaknatnya atau mencambuknya, maka jadikanlah semua itu zakat dan rahmat baginya”.
Dalam riwayat yang lain (4708):
( اللَّهُمَّ إِنَّمَا مُحَمَّدٌ بَشَرٌ ؛ يَغْضَبُ كَمَا يَغْضَبُ الْبَشَرُ ، وَإِنِّي قَدْ اتَّخَذْتُ عِنْدَكَ عَهْدًا لَنْ تُخْلِفَنِيهِ ؛ فَأَيُّمَا مُؤْمِنٍ آذَيْتُهُ أَوْ سَبَبْتُهُ أَوْ جَلَدْتُهُ فَاجْعَلْهَا لَهُ كَفَّارَةً وَقُرْبَةً تُقَرِّبُهُ بِهَا إِلَيْكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ) .
“Ya Alloh, sungguh Muhammad adalah manusia biasa, pernah marah seperti marahnya manusia, dan sungguh saya telah mengambil janji kepada-Mu yang tidak akan diingkari, siapapun dari seorang mukmin yang telah saya sakiti, saya telah mencelanya, atau mencambuknya, maka jadikanlah semua itu sebagai penebus dan upaya mendekatkan diri kepada-Mu pada hari kiamat”.
Imam Nawawi –rahimahullah- berkata:
“Beberapa hadits di atas menjelaskan akan kasih sayang Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada umatnya, memperhatikan kemaslahatan mereka, menjaga mereka, menyukai semua yang bermanfaat bagi mereka, riwayat yang terakhir disebutkan tadi menjelaskan maksud dari beberapa riwayat yang bersifat muthlak, bahwa doa buruk beliau kepada mereka menjadi rahmat, denda atau zakat atau yang semacamnya, jika mereka memang tidak berhak didoakan buruk, dicela, dilaknat atau yang lain, dia juga seorang muslim, kalau tidak –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mendoakan celaka kepada orang-orang kafir dan munafik dan tidak menaruh rasa sayang kepada mereka.
Kalau dikatakan bahwa bagaimana mungkin beliau mendoakan buruk kepada orang yang tidak berhak mendapatkannya, mencela atau melaknatnya atau yang semacamnya ?
Maka jawabannya adalah sebagaimana jawaban para ulama, secara ringkas ada dua hal:
Pertama:
Bahwa maksudnya adalah orang yang didoakan buruk tersebut bukan termasuk yang berhak menerimanya menurut Alloh dan dilihat secara batin, namun secara dzahir dia berhak didoakan buruk, bahwa secara dzahir bagi Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dia berhak menerimanya dengan tanda-tanda sesuai dengan syari’at, akan tetapi pada hakekatnya dia tidak berhak menerimanya. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- diperintah untuk menghukumi yang dzahir, sedangkan Alloh yang menguasai seluruh yang tersembunyi.
Kedua:
Bahwa apa yang telah terjadi dari mulai celaan, mendoakan buruk atau yang serupa bukanlah hal itu yang dimaksud, akan tetapi hal itu sebagaimana yang sudah menjadi kebiasaan orang-orang Arab untuk menyambung pembicaraannya tanpa dipikir terlebih dahulu, contoh: تربت يمينك kurang ilmumu, عقرى حلقى (Allah menimpakan sakit di tenggorokannya) (kata-kata doa tapi bukan diniatkan mendoakan kejelekan kepada orangnya pent) dan kata-kata lain yang semisalnya.
Pada dasarnya mereka tidak bertujuan untuk mendoakan, maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- hawatir pernah terucap jawaban-jawaban seperti itu, maka beliau meminta kepada Alloh –subhanahu wa ta’ala- dan mengharap kepadanya agar menjadikannya kaffarat dan sebagai rahmat, bentuk taqarrub, kesucian, dan pahala. Hal ini sangat jarang sekali terjadi kepada beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan tidaklah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sosok yang berkata kotor, berlaku keji, tidak juga melaknat, dan juga tidak membalas dendam untuk dirinya.
Telah disebutkan sebelumnya pada hadits ini bahwa mereka berkata:
“Doakan buruk kepada Daus, maka beliau bersabda:
" اللَّهُمَّ اِهْدِ دَوْسًا "
“Ya Alloh, berilah petunjuk kepada Daus”.
وَقَالَ : " اللَّهُمَّ اِغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ "
“Ya Alloh, ampunilah kaumku karena mereka sesungguhnya belum mengetahui”.
(Syarah Shahih Muslim / An Nawawi)
Wallahu a’lam.
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam