Unduh
0 / 0
1573010/09/2011

Apakah Terdapat Riwayat Bahwa Orang Mati Akan Diuji Di Kuburnya Selama Tiga Hari Sehingga Disunahkan Memberi Makan Orang Lain (Sedekah) Selama Hari-Hari Itu?

Pertanyaan: 172254

Saya seorang santri di Republik Anggosia. Mohon beri fatwa kepada saya. Kaum sufi di negeri kami berdalil dengan sebuah atsar dalam masalah memberi makan atas nama orang mati. Sejauhmana kebenaran atsar tersebut; Al-Hafiz Abu Nu’aim berkata dalam kitab Al-Hilyah, “Telah meriwayatkan kepada kita Abu Bakar bin Malik, telah meriwayatkan kepada kami Abdullah bin Ahmad bin Hambal, telah meriwayatkan kepada kami bapakku, telah meriwayatkan kepada kami Hasyim bin Qasim, telah meriwayatkan kepada kami Al-Asyja’i, dari Sufyan dia berkata, ‘Thawus berkata, ‘Sesungguhnya orang mati diuji di dalam kuburnya selama tujuh hari, maka mereka menganjurkan untuk memberi makanan atas nama mereka sebanyak hari itu.”

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama:

Atsar yang berbicara tentang adanya
ujian bagi orang mati di kuburnya selama tujuh hari, setelah kami teliti ada
tiga riwayat; 

Pertama; Dari Thawus Al-Yamani
rahimahullah (wafat tahun 101H) dia berkata,

إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا ، فَكَانُوا
يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الْأَيَّامِ

“Sesungguhnya orang mati diuji di kuburnya selama tujuh hari.
Mereka menyatakan sunah memberi makanan atas nama orang mati itu selama 
hari-hari tersebut.”

Imam Ahmad bin Hambal meriwayatkan dalam kitab “Az-Zuhd”,
sebagaimana dikutip oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam kitab ‘Al-Mathalib Al-Aliyah
(5/330) juga oleh As-Suyuthi dalam kitab “Al-Hawi Lil Fatawa (2/216)

Akan tetapi saya tidak dapatkan dalam teks cetakannya. Dia
meriwayatkan dari jalur Imam Ahmad Al-Hafiz Abu Nu’aim dalam kitab Hilyatul
Aulia, 4/11, yaitu dari jalur Hasyim bin Qasim, telah meriwayatkan kepada
kami Al-Asyja’i, dari Sufyan, dia bekata, Thawus berkata, lalu dia
menyebutkan hadits tersebut.

Hadits ini sanadnya shahih hingga Thawus, Al-Asyja’i adalah
Ubaidullah bin Ubaidurrahman, dikenal tsiqah dan terpercaya, sebagaimana
tercantum dalam Tahzib At-Tahzib (7/35), dan Sufyan Ats-Tsauri, seorang Imam
Al-Hafiz yang terkenal.

Imam Suyuthy rahimahullah berkata, “Para perawi dalam sanad
ini adalah shahih, Thawus termasuk tokoh tabiin, Abu Nu’aim berkata dalam
kitab Al-Hilyah, ‘Dia termasuk lapisan pertama dari penduduk Yaman, Abu
Nu’aim meriwayatkan darinya bahwa dia berkata, ‘Aku menemui limapuluh orang
shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.”

Sedang Sufyan adalah Ats-Tsaury, dia bertemu dengan Thawus,
karena Thawus wafat pada seratus sebelasan menurut salah satu pendapat,
sedang Sufyan lahir pada tahun 97, akan tetapi riwayat beliau darinya
kebanyakan melalui perantara. (Al-Hawi, 2/216)

Atsar kedua: Dari Ubaid bin Umair bin Qatadah Al-Laitsy
rahimahullah (wafat tahun 68 H) dia berkata,

يفتن
رجلان مؤمن ومنافق ، فأما المؤمن فيفتن سبعا ، وأما المنافق فيفتن أربعين صباحا

“Dua orang akan diuji, mukmin dan munafik, adapun orang
mukmin akan diuji selama tujuh hari, sedangkan munafik akan diuji selama
empat puluh hari.”

(Riwayat Ibnu Juraij dalam Al-Mushannaf dari Harits bin Abil
Harits, dari Ubaid bin Umair, demikian As-Suyuthi berkata dalam kitab Al-Hawi,
2/2160

Al-Harits bin Abil Harits tidak kami kenal siapakah dia dalam
sanad ini, jika yang dimaksud adalah Al-Harits bin Abdurrahman bin Abi
Dziyab Ad-Dausy, sebagaiman dikatakan oleh As-Suyuthy dalam Al-Hawy (2/216),
maka dalam hal ini patut dikritisi, karena Abu Hatim berkata tentang dia,
‘Dia tidak kuat’ tapi Ibnu Hibban menganggapnya tsiqah, sedangkan Abu Zur’ah
berkata, ‘Tidak ada apa-apa padanya.’

Adapun Ubaid bin Umair kebanyakan para ulama hadits
menganggap bahwa beliau adalah tabi’in, bukan shahabat, karena tidak ada
bukti bahwa dia melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Lihat
terjemahnya dalam Tahzib At-Tahzib (7/71). Al-Ajaly rahimahullah berkata,
“Tokoh tabi’in.” (Kitab Ats-Tsiqat, 321)

Ibnu Abdul-Bar rahimahullah berkata bahwa dia (Ubaid)
berjumpa dengan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Sedangakan Muslim bin
Hajjaj menyebutkan bahwa dia terlahir pada masa Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam dan dia terhitung sebagai tokoh kalangan tabi’in.”
(Al-Isti’ab, 3/1018, lihat Al-Ishabah, 5/47)

Kesimpulannya bahwa atsar ini termasuk marasil (kumpulan
hadits mursal sanadnya hanya sampai shahabat saja) Ubaid bin Umari, dan
dalam sanadnya terdapat kritikan.
Atsar ketiga: Dari Mujahid bin Jabr rahimahullah (wafat tahun 101H-104H) dia
berkata,

إن
الموتى كانوا يفتنون في قبورهم سبعاً ، فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم تلك الأيام

“Sesungguhnya orang yang wafat diuji di kuburnya selama tujuh
hari. Mereka menganjurkan untuk memberi makan atas nama mayat.”

Ibnu Rajab dalam kitabnya Ahwal Al-Kubur (hal. 16) mengaitkan
riwayat ini kepada Mujahid tanpa menyebut sumbernya dan tidak kami dapatkan
sanadnya. Demikian pula As-Suyuthi rahimallah berkata demikian, “Tidak kami
dapatkan sanadnya.” (Ad-Dibaj Syarhul Muslim, Shahih Muslim, 2/491)

Kedua:

Sebagian ulama berdalil dengan atsar ini bahwa masa ujian
bagi orang-orang beriman di kubur mereka yaitu selama tujuh hari, sehingga
Asy-Suyuthi mengarang kitab kecil dengan judul “Ats-Tsurayya Fi Izhar Maa
Kaanat Khafiyya” menyimpulkan bahwa riwayat ini dapat digunakan sebagai
dalil berdasarkan dua alasan;

Pertama: Bahwa riwayat ini terdiri dari beberapa riwayat
mursal yang saling menguatkan jika dikumpulkan.

Kedua: Ini adalah perkara akhirat dan gaib yang tidak ada
peluang bagi akal untuk menyimpulkan, maka riwayat ini dianggap sebagai
marfu (tidak mungkin mereka mengatakannya kecuali dari Raulullah shallallahu
alaihi wa sallam).

As-Suyuthi rahimahullah berkata, “Salah satu kesimpulan dalam
ilmu hadits dan Ushul adalah bahwa riwayat terkait dengan perkara yang tidak
mungkin disimpulkan akal di dalamnya seperti perkara alam barzakh dan
akhirat, maka dia dihukumi sebagai marfu (bersambung hingga Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam) tidak dihukumi mauquf (hanya sampai para
sahabat Nabi), meskipun tidak disebutkan secara jelas disandarkan kepada
Nabi shallallahu alaihi wa sallam.” (Al-Hawi, 2/217)

Kemudian beliau secara panjang lebar mengutip
dari para ahli hadits tentang kesimpulan dari kaidah ini, kemudian dia
berkata, “Ini jika riwayat tersebut bersumber dari para sahabat, maka dia
dianggap sebagai riwayat marfu yang bersambung. Jika ternyata bersumber dari
tabi’in, maka dia dianggap sebagai marfu mursal, sebagaimana disebutkan oleh
Ibnu Shalah dalam masalah yang sama. Baihaqi menjelaskan lagi masalah ini
secara khusus, dia bahkan meriwayatkan dalam kitab Syu’abul Iman dengan
sanadnya dari Abu Qilabah, dia berkata, “Di surga terdapat istana bagi
mereka yang berpuasa Rajab.”

Ini pendapat dari Abu Qilabah dan dia dari
kalangan tabi’in, orang seperti dia tidak mengucapkan perkara seperti itu
kecuali dia mendapatkan dari orang di tasnya yang bersumber dari wahyu.

Imam Malik berkata dalam kitab Al-Muwatha
dari Yahya bin Said dia berkata, “Orang yang shalat akan shalat selama belum
habis waktunya. Jika telah habis waktunya, maka dia lebih besar dan lebih
utama dari keluarganya dan hartanya.”

Ibnu Abdulbar berkata, “Riwayat ini memiliki
hukum marfu, karena mustahil pembicaraan dalam masalah ini hanya sekedar
berdasarkan ra’yu (akal), dan Yahya bin Said merupakan tabi’in yunior.

Atsar yang kita kaji ini berbicara tentang
alam barzakh yang tidak ada peluang bagi akal dan ijtihad untuk
menyimpulkannya, tidak ada jalan untuk sampai pada kesimpulan tersebut
kecuali berdasarkan wahyu dan berita yang bersumber dari wahyu. Kesimpulan
ini telah dikatakan oleh Ubaid bin Umair dan Thawus, keduanya merupakan
tokoh tabi’in, maka hukum riwayat ini dapat dianggap sebagai marfu mursal,
dan jika ternyata terbukti bahwa Ubaid adalah sahabat, maka hukumnya adalah
hukum marfu muttashil (bersambung hingga Nabi shallallahu alaihi wa sallam)…
kesimpulannya, menghukumi riwayat seperti ini sebagai riwayat marfu
merupakan perkara yang disepakati oleh Ahli Hadits.

Jika telah disimpulkan bahwa atsar Thawus
hukumnya adalah riwayat marfu mursal dan sanadnya hingga tabi’in adalah
shahih, maka dia menjadi dalil bagi ketiga imam; Abu Hanifah, Malik dan
Ahmad secara mutlak tanpa syarat. Adapun menurut Imam Syafii radhiallahu
anhu, maka dia berpendapat bahwa berdalil dengan mursal jika dikuatkan oleh
salah satu perkara yang telah disepakati dalam bidangnya, di antaranya
adalah adanya orang lain atau sahahat yang menyetujuinya sedangkan penguat
di sini ada, karena riwayat serupa diriwayatkan dari Mujahid dan dari Ubaid
bin Umair, keduanya merupakan tabi’in, jika Ubaid bukan merupakan shahabat,
maka kedua riwayat mursal tersebut menguatkan riwayat mursal pertama.

Jika ada yang berkata, “Tidak terdapat dalam
seluruh hadits pernyatakan tegas tentang tujuh hari. Maka kami katakan,
‘Juga tidak ada pernyataan tegas yang meniadakannya, tidak bertentangan
bahwa ujian tersebut sekali atau lebih, jika ternyata telah disebutkan
jumlah tujuh dari jalur yang dipercaya, maka harus diterima. Menurut ahli
hadits hal ini termasuk tambahan riwayat dari perawi tsiqah yang diterima,
sedangkan menurut Ahli Ushul (Fikih) hal ini termasuk dalam bab mutlak
dibawa kepada yang terikat.

Jika ada yang bertanya, apa hikmah jumlah
bilangan itu secara khusus? Maka jawabnya bahwa tujuh dan tiga memiliki
kedudukan dalam syariat, karena ujian tersebut merupakan ujian terberat bagi
seorang mukmin, maka dijadikan pengulangannya sebanyak tujuh kali, sehingga
dia merupakan pengulangan yang lebih kuat. (Dikutip dengan ringkas dari
Al-Hawi, 2/220-222)

Demikian pula Imam As-Safarini rahimahullah
berkata seraya menyatakan shahihnya sanad dalam atsar Thawus, “Sanadnya
shahih, kecuali dia riwayat mursal, diriwayatkan pula dari jalur bersambung,
hukumnya adalah marfu, karena dalam masalah ini tidak ada peluang
berijtihad.” (Lawami Al-Anwar Al-Bahiyah, 2/9)

Ketiga: Kami katakan bahwa kesimpulan Imam
As-Suyuthi adalah lemah karena tiga alasan;

Pertama:  Bahwa hanya atsar Thawus Al-Yamani
rahimahullah saja yang sanadnya selamat. Adapun yang diriwayatkan dari Ubaid
bin Umair, dalam sanadnya terdapat kelemahan, sedangkan atsar Mujahid tidak
adalah asalnya. Karena itu yang tersisa hanya atsar Thawus, maka dengan
demikian kekuatan atsar ini kehilangan kekuatannya secara keseluruhan.

Kedua: Jika sebuah atsar bertentangan dengan
hadits-hadits nabi shahih, maka yang lebih kuat adalah kita menjadikan
hadits-hadits tersebut sebagai penentu. Maka kita tidak dapat memberikan
hukum marfu terhadap atsar tersebut dan sebagai dalil. Karena banyak hadits
yang berbicara tentang fitnah kubur dan pertanyaan malaikat menunjukkan
dalil yang jelas bahwa hal tersebut hanya terjadi sekali saja, tidak
berlangsung selama tujuh hari, atau tidak berulang selama tujuh kali. Yang
paling terkenal adalah hadits Barra bin Azib radhiallahu anhu dari Nabi
shallallahu alaihi wa sallam tentang ciri ujian terhadap orang mukmin di
alam kubur, yaitu;

يَأْتِيهِ مَلَكَانِ فَيُجْلِسَانِهِ فَيَقُولَانِ لَهُ : مَنْ رَبُّكَ ؟
فَيَقُولُ : رَبِّيَ اللَّهُ ، فَيَقُولَانِ لَهُ : مَا دِينُكَ ؟ فَيَقُولُ :
دِينِيَ الْإِسْلَامُ ، فَيَقُولَانِ لَهُ : مَا هَذَا الرَّجُلُ الَّذِي
بُعِثَ فِيكُمْ ؟ قَالَ : فَيَقُولُ : هُوَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ . فَيَقُولَانِ : وَمَا يُدْرِيكَ ؟ فَيَقُولُ : قَرَأْتُ
كِتَابَ اللَّهِ فَآمَنْتُ بِهِ وَصَدَّقْتُ
)رواه
أبو داود، رقم 4753 وصححه الألباني في ” صحيح أبي داود)

“Dua malaikat mendatanginya dan mendudukkannya lalu berkata
kepadanya, ‘Siapa Tuhanmu?’ Dia berkata, ‘Tuhanku Allah’ Keduanya bertanya
kepadanya, ‘Apa agamamu?” Dia berkata, ‘Agamaku Islam,’ Keduanya bertanya
kepadanya, ‘Siapakah orang yang diutus kepada kalian?’ Dia berkata, ‘Dia
adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,’ Keduanya berkata, ‘Darimana
engkau tahu?’ Dia berkata, ‘Aku membaca Kitabullah, maka saya beriman
kepadanya dan membenarkannya.” (HR. Abu Daud, no. 4753, dishahihkan oleh
Al-Albany dalam Shahih Abu Daud)

Demikian pula halnya, banyak hadits yang berbicara tentang
fitnah kubur, tidak ada satupun di dalamnya yang menunjukkan bahwa hal
tersebut berlangsung selama tujuh hari penuh terhadap orang beriman dan
empatpuluh hari terhadap orang munafik. Karena itu memberlakukan kaidah
‘Hukum marfu terhadap atsar shahabat dan tabi’in’ tidak memiliki alasan kuat
dalam kasus ini, bahkan yang lebih utama dan lebih benar adalah tidak
memberikan komentar sebagaimana sunah tidak berkomentar dalam masalah ini,
kita beriman cukup dengan yang terucap dan pernyataan jelas.

Alasan ketiga: Kita tidak mendapatkan pernyataan dalam
kitab-kitab fiqih yang terpercaya adanya nash yang menganjurkan memberi
makan atas nama mayat selama tujuh hari berturut-turut, sebagaimana tidak
kita dapatkan seorang dari kalangan ulama yang berpendapat sebagaimana
pendapat Imam Suyuthi, sehingga kesimpulannya itu mengundang keraguan yang
sangat.

Keempat: Kemudian, jika kesimpulan Imam Suyuthi tersebut
diambil, maka sesungguhnya dia tidak menyimpulkannya dalam bentuk tekad dan
keyakinan sampai pada derajat pengingkaran terhadap orang yang menentangnya
atau menghukummi dosa dan lalai terhadap orang yang tidak memberi makan atas
nama mayat selama tujuh hari penuh. Akan tetapi dia menguatkan anjuran
tersebut bagi orang yang memiliki kecukupan dan kemampuan melakukannya.
Adapun jika memberi makan tersebut menyulitkan ahli mayat dan menyebabkan
mereka menjadi celaan masyarakat apabila tidak melakukannya, maka tidak kami
dapatkan ada seorang ulama pun yang menerima sikap ini.

Wallahua’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android