Saya membaca sebuah hadits, di dalamnya Umar bin Khattab berkata, “Dulu aku membaca (فامضوا إلى ذكر الله) sebagai pengganti dari (فاسعوا) dalam surat Al-Jumuah.” (Ad-Dur Al-Mantsur, juz 6, hal. 219).
Saya juga membaca beberapa hadits yang menjelaskan bahwa Alquran tidak sempurna. Misalnya hadits Umar dalam masalah Saqifah, dia berkata, “Alquran asalnya terdiri dari 102700 huruf.” (Al-Itqan oleh As-Suyuthi, hal. 88). Juga terdapat ucapannya, “Jangan sampai ada seorang pun yang mengaku bahwa Alquran itu sempurna, karena sebagian besarnya telah hilang.” (Tafsir Ad-Dur Al-Mantsur, As-Suyuthi, Juz 1, hal. 104) Juga perkataan Ubay bin Kaab bahwa dia memiliki mushaf yang di dalamnya terdapat dua surat tambahan, yaitu ‘surat Al-Khal’ dan surat Al-Hafd. (Al-Itqan, As-Suyuthi, jilid 2, hal. 66)
Adapun Sayid Anwar Syah Kasymiiri berkata, “Hasil penelitian saya berdasarkan apa yang terdapat dalam shahih Bukhari, bahwa Alquran telah dirubah sebagian kata-katanya, baik disengaja atau tidak disengaja. Hal ini berdasarkan persaksian Utsman radhiallahu anhu.” (Faidhul Bari, juz 3, hal. 395, bab Asy-Syahadat) Adapun Utsman, As-Suyuthi telah mengutip dalam kitabnya ‘Al-Itqon’, juz 1, hal. 174, dia berkata, “Ada sejumlah kekeliruan yang terdapat dalam mushaf yang ada pada kita sekarang ini.”
Adapun Hisyam bin Urwah, dia berkata, “Aku bertanya Aisyah radhiallahu anha tentang kesalahan dalam membaca Alquran,
إن الذين آمنوا والذين هادوا والصابئون
والمقيمين الصلاة والمؤتون الزكاة
إنَّ هذان لساحران
Maka Aisyah berkata, “Wahai saudariku, itu merupakan pekerjaan para penulis, mereka keliru dalam menulisnya.” (Al-Itqan, juz 1, hal. 183-184) Jalaluddin As-Suyuthi berkata bahwa riwayat ini shahih berdasarkan syarat Asy-Syaikhani (Bukhari dan Muslim)
Juga terdapat dalam Ad-Dur Al-Mantsur, juz 5, hal. 180 dan Al-Itqan, juz 2, hal. 25, bahwa dalam surat Al-Ahzab pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam terdapat 200 ayat, kemudian berkurang setelah Utsman mengumpulkannya dalam satu mushaf. Hadits Aisyah, “Asalnya dalam ayat yang diturunkan Alquran adalah sepuluh susuan yang menyebabkan haram (pernikahan), kemudian dihapus menjadi lima susuan yang diketahui. Rasulullah wafat dan mereka ketetapannya sebagaimana yang dibaca dari Alquran.” (HR. Muslim, bab Ar-Radha (susuan))
Bagaimana kita mengatakan bahwa Alquran itu terpelihara?
Jawaban Bagi Yang Mengira Bahwa Alquran Tidak Terpelihara (Dari Perubahan)
Pertanyaan: 178209
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Pertama:
Bacaan Umar radhiallahu anhu terhadap ayat dalam surat Aljumuah,
فَامْضُوا إِلَى ذِكْرِ الله
Diriwayatkan oleh Bukhari darinya dalam Kitab Shahihnya dalam bentuk ta’liq (tidak disebutkan rangkaian sanadnya dari awal) tapi dengan redaksi yang pasti. Sedangkan Ibnu Jarir Ath-Thobari meriwayatkannya dengan menyebutkan sanadnya dengan sanad yang shahih. Bacaan ini tidak sesuai dengan tulisan dalam mushaf Utsmani dan bukan termasuk bacaan yang tujuh. Sebagian ulama berpendapat menjadikan bacaan ini sebagai salah satu bacaan yang dianggap sebagai bacaan ayat. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa ini merupakan bacaan penafsiran, yaitu yang beliau maksud adalah penafsiran “السعي” dalam ayat tersebut, dan bahwa yang dimaksud bukan “berjalan dengan cepat”. Pada mushaf sebagian shahabat telah didapatkan hal seperti itu. Mereka menafsirkan sebagian ayat dengan menjelaskan penafsirannya, lalu sebagian muridnya meriwayatkannya dan menganggapnya sebagai bacaan ayat.
Meskipun yang lebih kuat dalam masalah ini adalah bahwa ini merupakan bacaan Umar radhiallahu anhu, yaitu bahwa beliau membaca ayat tersebut demikian adanya dan sanadnya shahih sampai ke beliau. Akan tetapi, hal itu bukan berarti bahwa beliau telah mengganti ayat yang telah disepakati oleh para shahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam mushaf Utsman dan telah diriwayatkan secara mutawatir di antara kaum muslimin secara mutlak. Akan tetapi dia merupakan salah satu bentuk bacaan yang dibaca oleh Umar dan dia tidak mengingkari bentuk bacaan selainnya. Adapun yang tertera dalam mushaf adalah bentuk kalimat lainnya dalam ayat. Semuanya sudah jelas, akan tetapi yang jadi pedoman adalah yang terdapat dalam mushaf karena telah disepakati dan dikuatkan periwayatannya.
Kedua:
Adapun perkataan anda tentang hadits Umar dalam As-Saqifah, ketika dia berkata, “Alquran asalnya terdiri dari 102700 huruf.” (Al-Itqan, As-Suyuthi, hal. 88). Di dalamnya terdapat kekeliruan dan manipulasi. Adapun kekeliruan terdapat pada jumlah huruf, yang tertulis dalam kitab adalah “Sejuta dua puluh tujuh ribu huruf”. Adapun manipulasi dengan dengan anda menyebutkan kata “كان” yang artinya “konon” untuk mengesankan adanya pengurangan dalam Alquran. Anda juga menyebutkan hadits tersebut dengan redaksi seakan-akan As-Suyuthi mengutip hadits ini dan mendukung serta menshahihkannya. Ini berbeda dari kenyataan. Justeru riwayat dari Umar adalah dusta, hal ini dinyatakan oleh As-Suyuthi sendiri terkait dengan sanadnya sebagaimana dia mengutip kritikan Az-Zahaby tentang riwayat tersebut. Az-Zahaby berkata dalam Mizanul I’tidal (3/639) tentang hadits tersebut, “Ini adalah khabar batil”. Pendapatnya ini disetujui oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Lisanul Mizan, 5/276. Karena itu, tidak ada kebutuhan untuk menafsirkan hadits ini. Itu dari satu sisi. Adapun dari matannya, redaksinya sangat asing, karena menghitung huruf Alquran tidak ada satu haditspun yang membicarakan hal tersebut, juga hal seperti itu bukan perbuatan shahabat radhiallahu anhum.
As-Suyuthi rahimahullah berkata, “Ath-Thabrani meriwayatkan dari Umar bin Khatab secara marfu, “Alquran terdiri dari sejuta dua puluh tujuh ribu huruf, siapa yang membacanya dengan sabar dan berharap pahala, maka dari setiap hurufnya akan dibalas dengan seorang bidadari.” Para perawinya tsiqah, kecuali guru Ath-Thabrani Muhammad bin Ubaid bin Adam bin Abi Iyas, Az-Zahaby berkata tentangnya terkait dengan hadits ini.” (Al-Itqan Fi Ulumil Quran, 1/242-243)
Syekh Al-Abany rahimahullah berkata, “Tanda-tanda kepalsuan pada hadits ini jelas. Hadits seperti ini tidak membutuhkan pembicaraan yang mengutip lebih banyak dari kritik terhadap perawinya selain dari apa yang telah diisyaratkan oleh Al-Hafiz Az-Zahaby dan kemudian Al-Asqolany.” (Silsilah Al-Ahadits Adh-Dhaifah wal Maudhu’ah, 9/71)
Pokok permasalahan tentang menghitung jumlah huruf Alquran, As-Suyuthi rahimahullah berkata, “As-Sakhawy berkata, ‘Aku tidak mengetahui apa manfaat mengetahui jumlah kata dan huruf (Alquran). Karena, kalau hal tersebut ada manfaatnya, hal tersebut berlaku pada kitab yang ada kemungkinan ada penambahan dan pengurangan. Sedangkan pada Alquran, hal tersebut tidak mungkin.” (Al-Itqan Fi Ulumil Quran, 1/242)
Ketiga:
Adapun pendapat anda, “Adapun perkataannya, maksudnya perkataan Umar, “Jangan ada seorang pun yang mengira bahwa Alquran telah sempurna, karena sebagian besarnya telah hilang.” (Tafsir Ad-Dur Al-Mantsur, As-Suyuthi, juz 1, hal. 104) jawabannya adalah; “Ungkapan dengan redaksi seperti ini tidak terdapat dalam kitab As-Suyuthi “Al-Itqon” dan tidak juga dalam kitab-kitab kaum muslimin. Redaksi tersebut asalnya dari riwayat Said bin Manshur dalam ‘Tafsir’nya, dia berkata, “Telah mengabarkan kepada kami Ismail bin Ibrahim, dari Ayub dari Nafi dari Ibnu Umar, dia berkata, “Janganlah salah seorang di antara kalian berkata, ‘Aku telah menghafal Alquran seluruhnya’, sungguh telah banyak bagian dari Alquran yang telah tiada.’ Akan tetapi katakan, “Aku telah mendapatkan apa yang ada dalam Alquran.”
Yang dimaksud dengan ucapan Ibnu Umar radhiallahu anhuma, ‘Tidak ada seorang pun yang dapat memastikan bahwa dia dapat menghafal seluruh yang diturunkan dalam Alquran, karena ada beberapa ayat yang diturunkan kemudian dihapus, ini yang disebut sebagai ‘naskh tilawah’ (dihapus bacaannya). Ibnu Umar sendiri berkata dengan jelas dalam masalah ini, “Dia tidak menyukai ada seseorang yang berkata, saya telah baca Alquran seluruhnya, karena ada bagian dari Alquran yang diangkat (dihapus)’ Sebagaimana disebutkan dalam riwayat ‘Ibnu Dhirris’ darinya.
Karena itu riwayat ini dikutip oleh Ubaid Alqasim bin Salam dan meletakkannya dalam bab ‘Bagian Alquran yang telah dihapus setelah diturunkan dan tidak terdapat dalam mushaf.” As-Suyuthi menyebutkannya dalam kitab Al-Itqan dalam bab “Naskh Tilawah (penghapusan bacaan)”
Keempat:
Adapun ucapan anda, “Perkataan Ubay bahwa di memiliki mushaf yang di dalamnya terdapat dua surat tambahan, yatu ‘Al-Khulu’ dan ‘Al-Khafd’ (Al-Itqan, As-Suyuthi, juz 2, hal. 66.
Yang dimaksud dengan surat Al-Khulu adalah bacaan,
بسم الله الرحمن الرحيم . اللهم إنا نستعينك ونستغفرك . ونثني عليك ولا نكفرك . ونخلع ونترك من يفجُرك ” ، وأما ما يسمَّى سورة ” الحفد ” فهي ” بسم الله الرحمن الرحيم . اللهم إياك نعبد . ولك نصلي ونسجد . وإليك نسعى ونحفِد . نرجو رحمتك ونخشى عذابك . إن عذابك الجِدَّ بالكفار مُلحِق ” .
“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon pertolongan dan memohon ampunan kepada-Mu. Kami menyanjung kepada-Mu dan kami tidak mengkufuri-Mu. Kami lepas dan meninggalkan orang yang berbuat fujur kapada-Mu.
Sementara surat yan dinamakan sura ‘Al-Hafd adalah, “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ya Allah hanya kepada-Mu kami beribadah, hanya Kepada-Mu kami shalat dan bersujud. Kepada-Mu kami bersegera. Kami mengharap rahmat-Mu dan kami takut siksa-Mu. Sesungguhnya siksa-Mu yang sangat keras pasti menimpa kepada orang kafir.
Adapun jawaban tentang ‘dua surat’ dalam mushaf Ubay bin Ka’ab, “Ya, itu boleh jadi demikian! Akan tetapi tidak berlandaskan bahwa keduanya merupakan Alquran yang sudah disepakati pada pengumpulan terakhir. Karena mushaf para shahabat radhiallahu anhum, di dalamnya terdapat penafsiran dan fiqih, di dalamnya terdapat ayat yang dihapus bacaannya. Dan kedua ayat ini termasuk yang diturunkan dalam Alquran, kemudian bacaannya dihapus. Namun sebagian shahabat tetap membacanya dalam qunutnya, karena mengandung doa dan pujian terhadap Allah.
Siapa yang ingin mengetahui mana bagian Alquran yang sudah disepakati, adalah Alquran yang dikumpulkan pada zaman (Abu Bakar) Ash-Shiddiq kemudian pada zaman Utsman radhiallahu anhuma, itulah yang tetap dan yang berlaku. Dan di dalamnya tidak terdapa kedua surat tersebut, karena itu, tidak ada seorang pun yang membacanya dalam shalat, tidak juga disebutkan tafsir bagi keduanya dan tidak diriwayatkan ada bacaannya terhadap huruf-hurufnya. Bahwa keduanya merupakan surat dan kemudian dihapus, adalah ucapan As-Suyuthi itu sendiri!
As-Suyuthi rahimahullah berkata, “Al-Husain bin Munadi berkata dalam kitabnya ‘An-Nasikh Wal Mansukh’, “Termasuk yang dihapus tulisannya dari Alquran, namun tidak dihapus hafalannya dalam hati adalah kedua surat qunut dalam witir yang dikenal sebagai surat ‘Al-Khal’ dan Al-Hafd’(Al-Itqan Fi Ulumil Quran, 2/68)
Syekh Muhammad Amin As-Syinqithy rahimahullah berkata, “Contoh penghapusan Alquran dengan sunah adalah dihapusnya ayat tentang sepuluh kali susuan secara bacaan dan hukum dengan sunah mutawatir, dan dihapusnya surat ‘Al-Khal dan surat Alhafd, dari segi bacaan dan hukum dengan sunah mutawatir. Yang dimaksud surat Al-Khal’ dan surat Al-Hafd adalah bacaan qunut pada shalat Shubuh sebagaimana mazhab Maliki.
Pengarang Ad-Dur Al-Manstur, yaitu As-Suyuthi, dan lainnya telah menjelaskan hasil penelitian bahwa keduanya adalah surat dalam Alquran dalam Kitabullah, kemudian keduanya dihapus.” (Adhwa’ul Bayan, 2/451)
Telah diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab qiraat (bacaannya) yang diriwayatkan oleh Nafi dan Ibnu Katsir serta Abu Amr dan selainnya, tidak terdapat padanya kedua surat ‘Al-Hafdn Al-Khala’’ padahal mushafnya sesuai dengan mushafa induk. Abu Hasan Al-Asy’ari berkata, “Aku telah melihat mushaf Anas di Bashrah pada sebuah kaum dari keturunannya, aku dapatkan sama dengan mushaf induk. Anak Anas mengatakan bahwa mushaf itu tulisan Anas yang didiktekan oleh Ubay bin Ka’ab.”
Itu semua dengan asumsi bahwa riwayat ini shahih dari Ubay bin Ka’ab, yaitu bahwa dia menganggap kedua doa tersebut sebagai kedua surat. Kenyataannya, kebenaran riwayat inipun sangat dikritisi karena tidak diriwayatkan dengan sanad yang shahih.
Kesimpulan jawabannya adalah; Kemungkinan riwayat ini tidak shahih dari Ubay bin Ka’ab. Siapa yang menganggap shahih, hendaknya dia menyebutkan sanadnya yang shahih. Atau, jika berdasarkan kesimpulan sanadnya shahih, maka dia termasuk bagian dari Alquran yang dihapus bacaannya dan masih tetap kalimatnya, karena di dalamnya mengandung pujian dan doa, maka boleh digunakan untuk qunut.
Muhammad bin Abdul Azim Az-Zarqani rahimahullah berkata, “Pengarang kitab Al-Intishar berkata, ‘Pembicaraan tentanga qunut yang diriwayatkan bahwa hal itu dikuatkan oleh Ubay bin Ka’b dalam mushafnya, tidak ada bukti bahwa dia merupakan Alquran yang diturunkan. Justeru dia hanya sebatas doa. Seandainya benar di Alquran, niscaya sudah diriwayatkan kepada kita sebagaimana periwatan Alquran dan ada kesimpulan ilmu yang shahih.”
Kemudian dia berkata, “Mungkin juga dikatakan bahwa dia asalnya adalah Alquran yang diturunkan, kemudian dia dihapus, dibolehkan berdoa dengannya dan mencampurnya dengan sesuatu yang bukan berasal dari Alquran. Dan riwayat tersebut tidak benar darinya. Yang benar diriwayatkan darinya adalah bahwa dia menetapkan kedua surat tersebut dalam mushafnya, sementara dalam mushafnya dia mencantumnya apa yang bukan berasal dari Alquran, baik doa ataupun penafsiran.”
Doa tersebut adalah qunut yang digunakan oleh para tokoh ulama dari kalangan mazhab Hanafi. Sebagian mereka menyebutkan bahwa Ali radhiallahu anhu menulisnya dalam mushafnya dan menyebut keduanya sebagai surat Al-Khul’ dan Al-Hifd, karena kedua kalimat tersebut terdapat di dalamnya. Maka alasannya telah diketahui.
Kesimpulan;
Sebagian shahabat yang menulis Alquran dalam mushaf pribadi mereka, kemungkinan mereka menulis juga apa yang sebenarnya bukan Alquran, misalnya adalah penafsiran atas sebagian kalimat yang tidak jelas maknanya bagi mereka dalam Alquran, atau juga mengandung Alquran yang sama seperti doa-doa dalam Alquran yang boleh dibaca dalam shalat ketika qunut atau semacamnya. Dan mereka mengetahui bahwa itu bukan bagian dari Alquran, akan tetapi karena minimnya alat tulis dan karena mereka menulis Alquran untuk diri mereka sendiri, bukan untuk selain mereka, maka mereka menganggap ringan masalah tersebut. Karena mereka merasa aman terhadap diri mereka dari terjadinya kerancuan Alquran dengan lainnya. Namun sebagian orang yang pendek ilmunya menganggap bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam mushaf tersebut adalah Alquran. Padahal sesungguhnya tidak demikian, akan tetapi sebagaimana yang telah anda ketahui.”
(Manahil Irfan Fi Ulumil Quran, 1/271)
Silakan lihat makalah dengan judul ‘Faidhurrabbi firraddi ala manidda’a anna hunaaka Suratain zaaidatain Fi Mushaf Ubay bin Ka’ab’ (Karunia tuhan dalam membantah tuduhan bahwa ada surat tambahan dalam mushaf Ubay bin Ka’ab)
Kelima:
Adapun ucapan anda ‘Sayiid Anwar Syah berkata, ‘Penelitian saya yang bersumber dari Shahih Bukhari menunjukkan bahwa Alquran telah dirubah sebagian kalimatnya, baik disengaja atau tidak disengaja. Hal ini berdasarkan persaksian Utsman radhiallahu anhu.” (Faidhul Bari, juz 3, hal. 395, pasal ‘Syahadah’. Dengan prihatin kami katakan bahwa semua itu dusta, tidak diucapkan oleh sayid Anwar, tidak juga diucapkan oleh selainnya dari para ulama kaum muslimin!
Keenam:
Adapun ucapan anda, ‘Adapun Utsman, As-Suyuthi meriwayatkan dalam kitabnya Al-Itqan, juz 1, hal. 174, bahwa Utsman berkata, ‘Ada sejumlah kekeliruan dalam mushaf yang ada pada kita sekarang ini.” Tidak demikian teks ucapannya dan juga tidak ada riwayat yang benar yang menunjukkan makna seperti itu, baik dari Utsman radhillahu anhu tidak juga dari shahabat selainnya. Seandainya ada riwayat yang benar, maka dia memiliki makna yang benar. Hal ini telah kami jelaskan dengan terperinci dalam jawaban soal no. 135752 harap dibaca, karena penting.
Ketujuh:
Adapun ucapan anda, “Hisyam bin Urwah berkata, ‘Aku bertanya kepada Aisyah radhiallahu anha tentang kesalahan dalam Alquran,
إن الذين آمنوا والذين هادوا والصابئون
والمقيمين الصلاة والمؤتون الزكاة
إنَّ هذان لساحران
Maka Aisyah berkata, “Wahai keponakanku! Itu adalah perbuatan para penulis, mereka keliru dalam penulisan.” (Al-Itqon, juz 1, hal. 183, 184. As-Suyuthi berkata bahwa riwayat ini shahih berdasarkan syarat Syaikhani /Bukhari dan Muslim)
Riwayat ini tidak benar. Penjelasannya terdapat dalam jawaban soal no. 135752
Kedelapan:
Adapun perkataan anda “Juga terdapat riwayat dalam ‘Ad-Dur Al-Mantsur’ juz 5, hal. 180, dan ‘Al-Itqon’ juz 2 hal. 25, “Bahwa surat Al-Ahzab awalnya pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam terdiri dari 200 ayat, kemudian berkurang setelah Utsman mengumpulkan Alquran dalam sebuah mushaf.” Redaksi ini memberi kesan seolah-olah terjadi perubahan! Redaksi yang benar adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam shahihnya, 10/273, dan Al-Hakim dalam Al-Mustadraknya, 2/450, dari Zirr, dari Ubay bin Ka’ab, dia berkata, “Awalnya surat Al-Ahzab sebanding dengan surat Al-Baqarah, awalnya di dalamnya terdapat ayat,
الشَّيْخُ والشيخة إذا زنيا فارجموهما البتة
“Orang tua laki-laki dan wanita (yang sudah menikah), jika keduanya berzina, maka rajamlah keduanya.”
An-Nasai juga meriwayatkan dengan makna serupa. Dan ini termasuk dalil adanya naskh (penghapusan) bacaan. Telah kita sebutkan sebelumnya perkara dalam masalah ini yang menguatkan bahwa penghapusan macam ini memang pernah terjadi.
Kesembilan:
Adapun ucapan anda “Hadits Aisyah, Awalnya yang diturunkan dalam Alquran (dalam masalah susuan yang mengharamkan perkawinan) adalah sepuluh kali susuan yang dikenal menyebabkan haramnya perkawinan, kemudian dihapus menjadi lima kali susuan. Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dan ayat tersebut yang berlaku dalam Alquran.” (HR. Muslim, bab Radha/susuan) Ini adalah riwayat shahih.
Riwayat ini mengandung kedua bentuk naskh (penghapusan ayat); Pertama, penghapusan tilawah (bacaan) dan hukum. Yaitu bahwa dalam ayat yang dihapus di dalamnya terkandung ketetapan hukum sepuluh kali susuan. Kedua; Penghapuan tilawah tanpa hukum. Yaitu pada ayat yang terhapus dan di dalamnya terkandung ketetapan 5 kali susuan. Meskipun ayatnya telah dihapus dan dia tidak terdapat dalam teks Alquran, akan tetapi dia mengandung ketentuan hukum yang benar yang ditunjukkan berdasarkan sunah yang mulia.
Kesimpulan dari perkataan Aisyah radhiallahu anha, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam wafat ayat-ayat tersebut termasuk yang dibaca dari Alquran.” Akan tetapi, karena penghapusan ayat tersebut terjadi di waktu akhir, sehingga ada sebagian yang tidak mengetahui adanya naskh tersebut. Akan tetapi, tidak terdapatnya ayat tersebut dalam satupun naskah mushaf Utsman radhiallahu anhu menunjukkan bahwa redaksi tersebut bukan termasuk Alquran pada penulisan terakhir. Karena itu tidak dikenal sebagai lafaz Alquran, apalagi sebagai bacaan dan tafsir.
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Ucapannya, ‘Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam wafat sementara ayat-ayat tersebut masih dibaca.” Maknanya adalah bahwa penghapusan terhadap ayat lima susuan terjadi di akhir sekali, sehingga ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam wafat, sebagian orang masih membaca ayat lima susuan dan menganggapnya sebagai Alquran yang dibaca, karena mereka belum mendapatkan informasi penghapusannya karena baru saja terjadi. Ketika telah sampai info tersebut kepada mereka, maka mereka tidak membacanya lagi dan sepakat bahwa itu bukan termasuk ayat yang dibaca.
Nasakh terdiri dari tiga macam; Pertama, penghapusan hukum dan bacaan, seperti ayat sepuluh susuan. Kedua; Penghapusan bacaan, tapi hukumnya tidak, seperti lima susuan, dan seperti ayat tentang orang tua yang berzina hendaknya dirajam. Ketiga; Penghapuan hukum, tapi bacaannya tetap ada. Inilah yang paling banyak. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,
والذين يتوفون منكم ويذرون أزواجا وصية لأزواجهم
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya.” (SQ. Al-Baqarah: 240)
(Syarah Muslim, 10/29)
Kesepuluh: Adapun ucapan anda “Bagaimana mungkin kita mengatakan setelah bukti ini semua bahwa Alquran terjaga?” Jawabnya adalah; Ya, dengan tenang dan yakin kami mengatakan bahwa sesungguhnya Alquran terpelihara dengan pemeliharaan Allah Ta’ala. Siapa yang meragukannya maka dia termasuk orang-orang kafir, tidak ada di hatinya keimanan walau sebiji zarah.
Wallahua’lam .
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam