Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Pertama.
Ahlus Sunah wal Jamaah tidak mentakwilkan kaifiyah, akan teapi menyerahkan pengetahuan tentang hal itu kepada Allah. Mereka mengimani sifat Tuhan, mengimani maknanya dan menyerahkan kaifiyahnya kepada-Nya.
Ibnu Majisyun, Ahmad bin Hambal, dan ulama salaf lainnya mengatakan, “Sesungguhnya kami tidak mengetahui kaifiyah apa yang diberitahukan oleh Allah tentang diri-Nya sendiri, meskipun kita mengetahui tafsirnya.” (Dar’u Ta’arudhil Aqli wan Naqli, 1/115).
Abu At-Thayyib, ayah dari Abu Hafsh bin Syahin Rahimahullah mengatakan, “Saya hadir di majelis Abu Ja’far At-Tirmidzi, kemudian seseorang bertanya kepadanya tentang hadits mengenai turunnya Tuhan. Bagaimanakah turunnya Tuhan itu? Apakah di atasnya tetap ada ketinggian? Kemudian beliau menjawab, ‘Nuzul (turunnya Tuhan) itu Ma’qul (dapat dicapai dengan akal), caranya (kaifiyahnya) Majhul (tidak diketahui). Beriman padanya hukumnya wajib. Dan bertanya tentang hal itu adalah perbuatan bid’ah.’”
Ad-Dzahabi mengatakan, “Benarlah ahli fikih dan alimnya Baghdad pada masanya karena pertanyaan tentang turun (Nuzul) adalah pertanyaan yang tidak dapat menunjukkan maksudnya, sebab sebuah pertanyaan itu mestinya tentang suatu kata yang asing (tidak diketahui maknanya) dalam bahasa. Padahal turun, berbicara, mendengar, melihat, mengetahui, dan bersemayam adalah ungkapan-ungkapan yang jelas bagi pendengar. Apabila dzat yang tidak ada sesuatu pun yang serupa dengannya disifati dengan suatu sifat, maka sifat itu akan mengikuti yang disifati. Sedangkan kaifiyahnya Majhul (tidak diketahui).” (Al-Uluwu lil Aliyyil Ghaffar, hal. 213-214).
Abu Bakar Al-Ismaili mengatakan, “Bersemayam (Istiwa’) di atas Arsy itu tidak memiliki Kaifiyah. Selesai sudah bahwa Dia (Allah) itu istiwa’ (bersemayam) di atas Arsy dan tidak disebutkan bagaiana cara Istiwa’nya.” (Ma’arijul Qabul, 1/198).
Akidah Ahlus Sunah wal Jamaah mengenai sifat-sifat Tuhan adalah mereka menetapkannya, menetapkan makna yang ditunjukkan oleh hakikatnya dan peletakan bahasanya. Mereka menyerahkan pengetahuan tentang cara (kaifiyah) dan substansi (mahiyah) disertai keyakinan bahwasanya hal itu tidak dipahami sebagai menyerupakan Tuhan atau suatu sifatnya dengan makhluk; sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, baik serupa dengan dzat-Nya atau serupa dengan sifat-Nya.
Kedua.
Pertanyaan saudara penanya jika kita mengatakan seperti ini (seperti ucapan Imam Malik) pada semua sifat, bisa jadi kita akan ditanya, “Apakah makna Dhahkullah (tertawa Allah), atau Wajhullah (wajah Allah)?
Maka kami jawab, “Makna Dhahkullah (tertawa Allah) adalah menetapkan sifat tertawa kepada Allah Ta’ala secara Hakikat, dan bukanlah Majaz (kiasan) sesuai dengan segi yang layak dengan-Nya, tanpa melakukan Tamtsil (menyerupakan) atau Takyif (membagaimanakan). Kami menetapkan sifat dan menetapkan maknanya serta menyerahkan kaifiyahnya sebagaimana disebutkan sebelumnya. Begitu pula adanya pada masing-masing sifat.”
Syaikh Ibnu Jibrin Rahimahullah mengatakan, “Kami menetapkan sifat dan menafikan Tasybih (menyerupakan) dari sifat itu. Tasybih hanya khusus disematkan pada para makhluk. Kami berkata, “Sesungguhnya Allah Ta’ala menetapkannya untuk diri-Nya sendiri dan kami menetapkannya tanpa berlebihan dalam melakukan Tamtsil.” Atau kami mengatakan sesuatu yang tidak benar tentangnya. Seperti diketahui bahwa sifatnya makhluk sesuai dengan dirinya. Tertawanya makhluk adalah terbahak-bahak dan suara yang terjadi karena ada sesuatu yang mengherankannya, menggembirakannya atau menyenangkannya. Akan tetapi, Tuhan tertawa sebagaimana yang dikehendaki-Nya dengan sifat yang tidak kita ketahui kaifiyahnya.” (Fatawa Syaikh Ibnu Jibrin, 63/96).
Ketiga.
Perkataan penanya Apakah kita harus mengetahui maknanya yang layak untuk Allah sehingga kita tidak menjadi manusia yang pasrah?
Telah disebutkan dalam jawaban dari pertanyaan no. 138920 makna dari Tafwidh (menyerahkan diri) pada nama dan sifat Allah. Ringkasnya, Tafwidh memiliki dua makna. Pertama, menetapkan lafaz dan makna yang ditunjukkannya, kemudian menyerahkan pengetahuan tentang kaifiyahnya kepada Allah. Inilah makna yang benar. Inilah pendapat Ahlus Sunah wal Jamaah. Kedua, menetapkan lafaz tanpa mengetahui maknanya. Inilah makna yang batil (salah).
Ada perbedaan antara mengetahui makna dan menetapkan hakikat suatu sifat dan mengetahui kaifiyahnya.
Para ulama yang duduk di Komisi Tetap mengatakan, “Yang wajib adalah menetapkan apa yang ditetapkan oleh Allah untuk diri-Nya sendiri seperti kedua tangan, kedua kaki, jari-jemari dan sifat-sifat lainnya yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits sesuai dengan segi yang layak untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa melakukan Tahrif (menyelewengkan), Takyif (membagaimanakan), Tamtsil (menyerupakan) dan Ta’thil (meniadakan). Ia adalah Hakikat dan bukannya Majaz (kiasan).” (Fatawa Lajnah Ad-Daimah, 2/376).
Kita harus membedakan antara makna yang harus kita imani dan kita tetapkan dan kaifiyah yang tidak mungkin kita ketahui. Karena Tuhan kita tidaklah ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.
Syaikhul Islam Rahimahullah mengatakan, “Tidak hanya satu orang yang meriwayatkan Ijma’ yang dilakukan ulama salaf, yang menyatakan pendapat ulama salaf, di antaranya adalah Al-Khathabi, bahwasanya sifat-sifat Allah dipahami secara zhahirnya (tekstual) dan menafikan Kaifiyah dan Tasybih dari sifat-sifat itu. Sebab berbicara tentang sifat-sifat Allah merupakan cabang dari berbicara tentang dzat-Nya yang harus diikuti jejaknya. Jika menetapkan dzat Allah adalah menetapkan wujudnya, bukan menetapkan kaifiyahnya, maka seperti itu juga menetapkan sifat (sama bukan menetapkan kaifiyah). Maka kami katakan bahwasanya ia memiliki tangan dan pendengaran. Dan kami tidak mengatakan bahwasanya makna tangan adalah kekuasaan (Qudrah) dan makna pendengaran adalah pengetahuan. Sifat-sifat ini tak lain adalah sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana yang layak untuk keagungan-Nya yang dinisbatkan pada dzat-Nya yang suci, seperti penisbatan sifat-sifat segala sesuatu pada dzatnya. Bisa diketahui bahwa ilmu (pengetahuan) adalah salah satu sifat Dzatiyah bagi Maushuf (yang disifati). Ia memiliki karakteristik khusus. Begitu pula wajah dan perbuatan. Kita mengetahui bahwa penciptaan adalah mengadakan eksistensi (keadaan) dari ketidakadaan, meskipun kami tidak mempertanyakan kaifiyah (cara) perbuatan tersebut dan juga tidak menyerupakannya dengan perbuatan-perbuatan kami. Kita tidak melakukan perbuatan kecuali karena kita membutuhkan perbuatan itu. Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji. Begitu pula dzat. Dzat tersebut diketahui dari sisi globalnya, meskipun tidak sama dengan dzat-dzat yang diciptakan. Dzat itu tidak diketahui, kecuali oleh Allah sendiri dan tidak diketahui kaifiyahnya. Inilah yang tampak dari penyebutan sifat-sifat yang harus dipahami apa adanya. Seorang Mukmin mengetahui hukum dari sifat-sifat ini dan pengaruh-pengaruhnya. Inilah yang diinginkan dari sifat itu. Ia mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu. Bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari Kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Orang-orang beriman akan melihat wajah Penciptanya di surga dan menikmati kenikmatan yang melimpah di sisinya, semua kenikmatan dan semisalnya. Ia juga mengetahui bahwa ia memiliki Tuhan, Pencipta, yang disembah. Ia tidak mengetahui esensi sesuatu itu, akan tetapi beginilah ujung dari pengetahuan makhluk; ia mengetahui sesuatu dari sebagian sisi dan tidak mengetahui esensinya, dan pengetahuan mereka terhadap jiwa mereka sendiri termasuk dalam jenis yang ini.” (Majmu’ Fatawa, 6/355-358).
Keempat.
Ucapan penanya, “Masalahnya adalah orang Arab jika menafsirkan maknanya, tak lain mereka menafsirkannya sesuai dengan apa yang mereka lihat pada makhluk,” maka kami jawab bahwa apabila mereka menafsirkan makna sifat-sifat makhluk, mereka menafsirkan sesuai dengan apa yang mereka lihat dan yang mereka ketahui tentang sifat-sifat itu. Bagaimana mungkin mereka dapat menunjukkan kaifiyah dari sifat-sifat Tuhan, padahal tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dia tidak diketahui oleh penglihatan dan pengetahuan mereka tidak dapat meliputi pengetahuan-Nya. Tidak ada yang selamat dari syubhat-syubhat ahli bid’ah ini, kecuali orang yang mengikuti jalan dan jejak ulama salaf.
Untuk menambah wawasan, lihatlah jawaban dari pertanyaan no. 145804 .
Wallahu A’lam.