Saya telah hidup pada hari-hari yang sulit dengan mazhab syiah, akan tetapi pikiranku mengetahui setelah itu. Saya berharap Allah memberikan petunjuk kepadaku ke jalan yang benar. Saya punya pertanyaan, apakah Nabi sallallahu alaiahi wa sallam bersabda:
ستخرج الردة أو الكفر من بيتي وأشار إلى بيت عائشة رضي الله عنها
“Akan keluar riddah atau kekufuran dari rumahku dan menunjuk ke rumah Aisyah radhiallahu anha.”
Bantahan Terhadap Penyelewengan Syiah Terhadap Hadits Shahih Yang Mereka Inginkan Mencela Kepada Ummul Mukminin Aisyah
Pertanyaan: 184529
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Di antara problem yang sering membelenggu sebagian umat Islam adalah terbelenggu oleh peristiwa sehingga mempengaruhi keyakinan dan pemikiran, lalu hal itu secara sempurna menjadi pusat pikirannya seakan-akan dia merupakanperistiwa kontemporer yang terlihat jelas dengan mata telanjang. Padahal telah berlalu dan selesai, berganti dengan peristiwa kontemporer yang lebih kuat dan tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan peristiwa itu. Sehingga akal yang lemah tersebut tetap tersandera pada (peristiwa) yang lalu dan lupa pada (peristiwa) sekarang dana pa yang terkandung di dalamya berupa kepedihan dan harapan. Lalu dia hidup dengan kehidupan yang kurang, sementara keyakinannya tercemar sesuai kadar pencemaran sejarah dari berbagai macam pencemaran khayalan.
Ini yang mungkin dapat kami simpulkan yang harus kami tegaskan kepada anda agar menjadi perhatian. Agar jangan menjadikan sejarah –meskipun itu benar adanya- sebagai sebab tak pedulikan maksud Islam yang lurus yang dibawa oleh Nabi sallallahu alaiahi wa sallam. Agama Islam teratur, tujuannya dibanguan di atas pilar yang agung nan mulia, mencakup seputar mengesakan Pencipta jalla wa ala dengan beribadah yang mengandung rukun Iman enam yang agung, dan pilar pengamalan lima yang menjadi pondasi agama bagi bangunan di atasnya. Begitu juga seputar tujuan akhlak nan mulia yang mana Nabi sallallahu alaihi wa sallam diutus untuk menyempurnakannya pada seluruh manusia. Kesemuanya itulah seputar ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi sallallahu alaihi wa sallam. Karenanya Nabi sallallahu alaihi wa sallam diutus.
Hal ini telah disimpulkan oleh Ja’far bin Abu Thalib radhiallahu anhu dalam ungkapan yang terkenal di depan Najasyi dimana beliau mengatakan,
“Wahai Raja, kami dahulu adalah kaum jahiliyah yang menyembah patung, makan bangkai, melakukan kejelekan, memutus hubungan persaudaraan, berbuat jelek kepada tetangga, yang kuat memakan yang lemah. Begitulah kondisi kami, sampai Allah mengutus kepada kami seorang utusan dari kalangan kami, kami tahu kejujuran, amanah, iffahnya. Dan mengajak kami untuk beribadah kepada Allah dan mengesakan-Nya. Berlepas diri dari apa yang pernah kami dan nenek moyang kami sembah selain-Nya berupa batu dan patung. Beliau memerintahkan kepada kami berkata jujur, menunaikan amanah, menyambung persaudaraan, bertetangga dengan baik, menahan diri dari perbuatan haram, dan menumpahkan darah. Melarang berbuat kejelekan, perkataan bohong, memakan harta anak yatim, menuduh wanita baik-baik. Beliau memerintahkan kepada kamu beribadah kepada Allah saja tidak menyekutukan dengan apapun. Memerintahkan kepada kami shalat, zakat, puasa. Berkata, dengan menyebutkan perkara Islam. Sehingga kami percayai dan kami berikan kepadanya, dan mengikuti apa yang dia bawa. Sehingga kami hanya beribdah kepada Allah saja tanpa menyekutukan-Nya sediktpun, dan mengharamkan apa yang diharamkan kepada kami dan menghalalkan apa yang dihalalkan kepada kami.” (HR. Ahmad dalam Musnad, 3/266 dengan sanad hasan)
Bukankah murupakan kehinaan, menjadikan peristiwa yang menjadi sumber pertentangan dan perpecahan di antara kita sekarang, padahal Allah telah selamatkan kita dari fitnah pada hari itu. Dan kita telah selamat dari fitnah besar yang terjadi diantara pada shahabat nan mulia radhiallahu anhum. Meskipun ahlus Sunnah meyakini bahwa kebenaran bersama pasukan Ali bin Abu Thalib radhiallahu anhum. Meskipun begitu, kita tidak memilih mencela dan merendakan kehormatan atau mencela agama dan keyakinan. Karena sesungguhnya mereka menjaga kebenaran dengan perkataan yang baik. Mereka memohon kepada Allah maaf dan ampunan kesalahan dari kalanagan para shahabat yang mulia. Serta berbaik sangka kepada semuanya. Dimana Nabi sallallahu alaiahi wa sallam ketika wafat beliau dalam kondisi rela kepada semuanya. Bahkan Allah ta’ala berfirman:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (سورة التوبة: 100)
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100)
Anda dapat melihat sekarang, banyak peristiwa besar terjadi, tapi kita tidak mungkin mengetahui hakekat dan perincian apa yang terjadi di dalamnya. Padahal sarana komunikasi telah modern sekali, sarana pembuktian juga sudah maju, banyak penyidik spesialisasi yang mempelajari secara detaik dalam peristiwa tersebut. Meskipun begitu, kita tidak mungkin mengetahui hakekat peristiwa yang terjadi di dalamnya. Bagaimana lagi dengan kondisi ketika mempelajari sejarah lama dalam peristiwa fitnah dan perinciannya yang terjadi di antara para shahabat nan mulia radhiallahu anhum. Sementara pencatatan dan tulisan pada waktu itu masih jarang, sedangkan syubhat dan penyelewangan banyak dilakukan para perawi dan para penulis setelah itu yang saling bertentangan. Apakah masuk akal dan bijak menjadikan hari-hari itu sebagai penghalang kita siang malam, dan sebagai rujukan untuk mengklarifikasi manusia serta menghalalkan kehormatan bahkan darahnya dari satu sisi ini atau lainnya.
Kedua:
Meskipun begitu, kami katakan jawaban terkait dengan peristiwa yang disebutkan dalam pertanyaan dengan sangat jelas. Bahwa tidak ada dari Nabi sallallahu alaiahi wa sallam beliau bersabda:
ستخرج الردة أو الكفر من بيتي وأشار إلى بيت عائشة رضي الله عنها
“Akan keluar riddah (keluar dari agama) atau kekufuran dari rumahku dan menunjuk ke arah rumah Aisyah radhiallahu anha.”
Bahkan tidak ada seorang pun dari ahli hadits yang meriwayatkan hal itu. Tidak diketahui sanadnya. Bagaimana hal itu sebagai dalil untuk membatalkan apa yang ada, kecuali yang terjadi pada sebagian orang yang hatinya telah penuh dengan kebencian kepada ummul mukminin Aisyah radhiallahunha. Mereka melakukan penyelewengan arti pada sebagian riwayat hadits, pemahamannya tercemar yang tidak terpikirkan sama sekali.
Yang melakukan kebohongan besar seperti ini adalah sekelompokk buku-buku syiah. Seperti Biharul Anwar karangan Majlisi (31/639 sesuai penomoran maktabah syamilah). Dhomin Al-Madani dalam kitabnya ‘Waq’atul Jamal, (hal. 46). Abdul Husain dalam kitabnya ‘Al-Murajaat, (hal. 424). Tijani As-Samawi dalam kitabnya, ‘Fas’alu ahaldz Dzikri, (Hal. 105-106). Dan kitabnya ‘Tsumma Ihtadaitu’ dan yang lainnya.
Penjelasan hal itu adalah bahwa kitab-kitab Sunnah begitu banyak riwayat hadits Ibnu Umar radhiallahu anhuma bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي شَأْمِنَا وفِي يَمَنِنَا . قَالُوا : وَفِي نَجْدِنَا ؟ قَالَ : اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي شَأْمِنَا وفِي يَمَنِنَا ، قَالُوا : وَفِي نَجْدِنَا ؟ قَالَ : هُنَاكَ الزَّلاَزِلُ وَالْفِتَنُ ، وَبِهَا يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ (رواه البخاري، 1037 و مسلم، رقم 2905 واللفظ للبخاري)
“Ya Allah berkahilah kepada kami negara Syam dan Yaman kami. Mereka mengatakan, di Najd kami? Nabi Mangatakan, “Ya Allah berkahi kepada kami negara Syam dan Yaman kami. Mereka mengatakan, “Di negara Najd kami? Beliau mengatakan, “Disana ada gempa dan fitnah. Dari sana akan keluar tanduk setan.” (HR. Bukhari, 1037 dan Muslim, 2905. Redaksi dari Bukhari)
Terdapat riwayat lain yang Shahih dan jelas bahwa maksud arah tmur yaitu Najd atau Iraq. Semuanya adalah arab timur kalau dari Madinah Munawaroh.
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma berkata,
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُشِيرُ إِلَى المَشْرِقِ فَقَالَ: هاَ إِنَّ الفِتْنَةَ هَا هُنَا ، إِنَّ الفِتْنَةَ هَا هُنَا ، مِنْ حَيْثُ يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ (رواه البخاري، رقم 3279 ومسلم 2905)
“Saya melihat Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam menunjuk ke arah timur dan mengatakan, sesungguhnya fitnah dari arah sini, sesungguhnya fitnah dari sini. Yaitu saat muncul tanduk setan.” (HR. Bukhari, 3279 dan Muslim, 2905)
Para ulama dan pensyarakh hadits memperluas makna dan maksudnya. Bagaimana Najd Jazirah atau Najd Iraq menjadi tempat keburukan dan fitnah? Sebagian mentafsirkan bahwa maksudnya adalah keluarnya Musailimah Al-Kadzab di Bahrain. Sebagian lagi menafsirkan maksud fitnah yang terjadi di Iraq dan peristiwa agung adalah kematian Husain bin Ali dan shahabat lainnya.
Kalau Nabi sallallahu alaiahi wa sallam berdiri di mimbar menghadap para shahabat nan mulia, dan menunjuk kea rah timur. Maka rumah Aisyah radhiallahu anha ada di sebelah kiri beliau sallahua alaihi wa sallam. Sehingga ada disebelah timur juga. Dan sebagian orang yang dendam dan benci menjadikan hal itu untuk menyelengkan semua riwayat yang jelas tadi. Mereka mengatakan bahwa maksudnya adalah pribadi Aisyah radhiallahu anha. Bahwa beliau ada sebab adanya fitnah dan kejelekan yang menimpa manusia. Setan menghiasi kesesatan mereka dengan riwayat yang tidak tahu maksudnya.
Hadits yang terkenal dari riwayat Nafi’ dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma. Sementara Nafi’ mengambilnya dari sekelompok teman-temannya mereka adalah Abdurrahman bin ‘Atho’, Abdullah bin Aun, Ubaidullah bin Umar, Laits bin Sa’d. semuanya meriwayatkan dengan teks yang jelas dan terang bahwa maksud arah timur dimana setan muncul. Untuk mengetahui semua sanadnya silakan lihat Al-Musnad Al-Jami, (10/789).
Terdapat riwayat lainnya diriwayatkan sendirian oleh Juwairiyah dari Nafi dengan redaksi:
قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطِيبًا ، فَأَشَارَ نَحْوَ مَسْكَنِ عَائِشَةَ ، فَقَالَ:هُنَا الفِتْنَةُ – ثَلاَثًا – مِنْ حَيْثُ يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ (رواه البخاري، رقم 3104).
“Nabi sallallahu alaihi wa sallam berdiri khutbah, dan menunjukkan ke arah rumah Aisyah dan mengatakan, “Di sanalah tempat munculnya fitnah –diucapkan sebanyak tiga kali- yaitu tempat keluarnya tanduk setan.” (HR. Bukhari, no. 3104).
Kalau peneliti yang objektif pemahamannya akan mengetahui bahwa maksudnya adalah arah timur. Akan tetapi ketika rumah Aisyah radhiallahu anha berada di arah timur beliau, maka perawi mengungkapkan dengan ucapan (Maka beliau menunjuk ke arah rumah Aisyah) maksdunya adalah arah timur, bukan pribadi Aisyah radhiallahu anha secara khusus.
Hal ini dikuatkan dengan kata ‘arah’ dan tidak mengatakan ‘Ke Aisyah’ dalam riwayat Ubaidillah bin Umar dari Nafi’:
أنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَامَ عِنْدَ بَابِ حَفْصَةَ ، فَقَالَ : بِيَدِهِ نَحْوَ الْمَشْرِقِ ، وفي لفظ ، عند باب عائشة فقال بيده نحو المشرق ( كما في ” صحيح مسلم، رقم 2905).
“Bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam berdiri di sisi pintu Hafsah, lalu memberi isyarat dengan tangannya ke arah timur.” Dalam redaksi lain, “Ketika di sisi pintu Aisyah, beliu memberi isyarat dengan tangannya ke arah timur.” (Sebagaimana terdapat dalam Shahih Muslim, no. 2905)
Maka yang tampak bahwa yang dimaksud adalah arah, adapun rumah bukan yang dimaksud secara langsung. Apakah masuk akal kalau Nabi sallallahu alaiahi wa sallam mendoakan keberkahan untuk Syam dan Yaman, kemudian para shahabat radhiallahu anhum meminta untuk mendoakan Najd, lalu beliau menjawab bahwa rumah Aisyah adalah tempat sumber fitnah dan tanduk setan. Akal mana yang bisa menerima pemahaman keliru. Dan apa korelasi antara awal dan akhir hadits searah dengan penyelewengan yang asing ini.
Terdapat riwayat hadits juga -selain Nafi’- sekelompok murid Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma, seperti Abdullah bin Dinar, Salim bin Abdullah bin Umar, Basr bin Harb dan selain dari mereka, semuanya meriwayatkan dengan redaksi (Menunjuk ke arah timur) HR. Bukhari, (3279, 3511) dan Muslim, (7400), musnah Ahad, dan selain dari keduanya. Silahkan melihat Al-Musnad Al-Jami’, (10/833-834) dan As-Silsilah As-Shahihah, (no. 2494).
Apakah orang yang salah memahami ini tidka bertanya, bagaimana tidak ada salah seorang shahabat pun atau semuanya yang memahaminya ataukah semuanya memiliki pemahaman yang keliru ini. Padahal Nabi sallallahu alaiahi wa sallam berkhutbah di atas mimbar yang mulia. Jika Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu anha yang dimaksud oleh Nabi sallallahu alaiahi wa sallam dari hadits ini, bagaimana beliau tetap tinggal dan wafat di rumahnya radhiallahu anha sementara beliau adalah sumber fitnah dan tanduk setan nauzubillah min dzalik.
Tidakkah Nabi sallallahu alaihi wa sallam adalah orang yang paling lemah lembut kepada umatnya, paling kuat menjaga dari kejelekan dan fitnah. Bagaimana beliau diam terhadap apa yang beliau ketahui yang akan terjadi kepada istrinya Ummul mukminin radhiallahu anha!
Bahkan bagaimana para shahabat yang mulia mendiamkan akan hal itu – padahal di antara mereka ada Ali bib Abu Thalib radhiallahu anhu dan keluarga Nabi sallallahu alaihi wa sallam lainnya. Mengapa mereka tidak minta klarifikasi kepada beliau sallallahu alaihi wa sallam tentang masalahnya atau meminta izin untuk menyelamatkan umat Islam dari fitnah yang keluar dari rumahnya.
Apakah dinukil salah seorang dari ahli sejarah atau ahli hadits bahwa salah seorang di antara mereka yang hadir khutbah itu memahami bahwa maksudnya adalah pribadi Aisyah radhiallahuanha !!
Apakah ada seorang muslim yang berakal rela disandarkan kepada manusia termulia, penghulu manusia Muhammad sallallahu alaihi wa sallam bahwa di rumahnya dan wanita yang paling dicintainya dan beliau berada di rumahnya sebagai tempat tanduk setan, ketimbang sebagai sumber cahaya yang menerangi seluruh manusia sampai hari kiamat, sebagaimana demikian halnya yang menjadi realitanya. Apakah disana ada penghinaan dari kedudukan Nabi yang mulia Muhammad sallallahu alaihi wa sallam yang lebih besar dibandingkan dengan penyelewengan, pengkaburan dan penghinaan di rumah dan kehormatannya sallallahu alaiahi wa sallam.
Dahulu wahyu turun di rumah Aisyah yang mulia radhiallahu anha, sementara Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersamanya dalam satu selimut. Apakah masuk akal, dari kamar tersebut muncul setan dengan pemahaman orang yang menyelewengkan sejarah!!
Bukankah beliau sallallahu alaihi wa sallam dikuburkan di rumah itu dan jasadnya yang mulia akan senantiasa tetap sampai hari kiamat, karena para nabi akan senantiasa hidup di dalam kuburnya. Meskipun begitu, beliau mensifati tempat akhir waktu hidup dan mati bahwa ia adalah tempat fitnah dan munculnya tanduk setan !!
Bagaimana Ammar bin Yasir radhiallahuanhu memberitahukan –sementara beliau adalah orang terdepan yang berperang bersama Ali bin Abu Tholib radhiallahunahu – bahwa Ummul Mukmin Aisyah radhiallahunha akan menjadi istri Nabi kita shallahu alaihi wa sallam di surga. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari, no. 3772 dari Hakam berkata:
سَمِعْتُ أَبَا وَائِلٍ ، قَالَ : لَمَّا بَعَثَ عَلِيٌّ عَمَّارًا وَالحَسَنَ إِلَى الكُوفَةِ لِيَسْتَنْفِرَهُمْ ، خَطَبَ عَمَّارٌ فَقَالَ : إِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّهَا زَوْجَتُهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ ، وَلَكِنَّ اللَّهَ ابْتَلاَكُمْ لِتَتَّبِعُوهُ أَوْ إِيَّاهَا
“Saya mendengar Abu Wail berkata, ketika Ali mengutus Ammar dan Hasan ke Kufah untuk mengajak berperang, Ammar berkhutbah sambil mengatakan, “Sungguh saya telah mengetahui bahwa beliau (Aisyah) adalah istrinya di dunia dan di akhirat. Akan tetapi Allah menguji anda sekalian, apakah kamu semua mengikuti (Ali) atau beliauu (Aisyah).”
Jika rumahnya Ummul Mukminin sumber fitnah, bagaimana Ammar bin Yasir memberitahukan bahwa beliau adalah istri Nabi sallallahu alaihi wa sallam di surga.
Bahkan periwat hadits dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhum memahami hadits dengan cara yang benar. Dan memahami bahwa maksudnya adalah Najd Iraq. Sebagaimana yang diriwyatkan oleh Muslim di Shahihnya, no. 2905 dari Salim bin Abdullah bin Umar berkata:
يَا أَهْلَ الْعِرَاقِ ! مَا أَسْأَلَكُمْ عَنِ الصَّغِيرَةِ ، وَأَرْكَبَكُمْ لِلْكَبِيرَةِ ! سَمِعْتُ أَبِي عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ يَقُولُ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إن الْفِتْنَةَ تَجِيءُ مِنْ هَاهُنَا – وَأَوْمَأَ بِيَدِهِ نَحْوَ الْمَشْرِقِ – مِنْ حَيْثُ يَطْلُعُ قَرْنَا الشَّيْطَانِ وَأَنْتُمْ يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ.
“Wahai penduduk Iraq! kenapa anda bertanya tentang sesuatu yang remeh, sementara anda terjerumus sesuatu yang besar! Saya mendengar Abu Abdullah bin Umar berkata, saya mendengar Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya fitnah akan datang dari sini –tangannya menunjuk ke arah timur- dimana tanduk setan muncul. Sementara kalian saling menyerang satu sama lain.”
Dari mana orang yang memanipulasi makna hadits yang aneh itu menyandarkan untuk hadits ini?? Sementara tidak ada seorang pun dari kalangan keluarga Nabi sallallahu alaihi wa sallam, tidak juga dari orang yang berperang bersama Ali bin Abu Tholib radhiallahunahu melawan Aisyah, Talhah dan Zubair radhiallahu anhum.
Syekh Al Albany rahimahullah mengatakan, “Berbagai riwayat hadits begitu banyak bahwa arah yang ditunjuk Nabi sallallahu alaihi wa sallam adalah timur, lebih tepatnya adalah Iraq, sebagaimana pada sebagan riwayat yang jelas. Hadits ini termasuk salah satu tanda kenabiannya sallallahu alaihi wa sallam, bahwa fitnah pertama datang dari arah timur, hal itu sebagai sebab terjadinya perpecahan diantara umat Islam. Begitu juga bid’ah tumbuh dari arah itu seperti bid’ah syiah, khawarij dan semisal itu.
Telah diriwayatkan oleh Bukhari, 7/77 dan Ahmad, 2/85, 153 dari Ibnu Abi Nu’aim berkata:
شهدت ابن عمر وسأله رجل من أهل العراق عن مُحرم قتل ذبابا فقال : يا أهل العراق ! تسألوني عن محرم قتل ذبابا ، وقد قتلتم ابن بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم ، وقد قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: هما ريحانتي في الدنيا
“Saya menyaksikan Ibnu Umar dan ada seseorang bertanya dari penduduk Iraq tentang seorang yang sedang ihram jika membunuh lalat. Maka beliau menjawab, “Wahai penduduk Iraq! anda bertanya kepadaku tentang orang ihram yang membunuh lalat, sementara kalian telah membunuh cucu anak perempuan Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam. Sungguh Rasulullah sallallahu alaiahi wa sallam bersabda: “Keduanya adalah hiasanku di dunia.”
Di antara fitnah itu adalah penghinaan syiah kepada para shahabat besar radhiallahu anhum seperti sayyidah Aisyah As-Siddiqah binti Shiddiq dimana Allah telah menurunkan ayat kebebasan beliau dari langit.
Abdul Husain, penganut syiah yang fanatik telah membuat bab khusus dalam kitabnya ‘Al-Muroja’at, (hal. 237) beberapa pasal penghinaan terhadap Aisyah di dalamnya. Dengan berani dan tak tahu malu dia mendustakan haditsnya, melontarkan tuduhan dalam semua kejadian dengan dan tidak. Hal itu bersandarkan dengan hadits-hadits lemah dan palsu.
Hal itu telah saya jelaskan sebagian diantaranya dalam kitab Ad-Dhoifah, (4963-4970). Disertai penyelewengan pada hadits Shahih dan mengartikan maknanya tidak sesuai. Seperti hadits Shahih ini. Maka dia memaknai –dengan seenak mulutnya dan lumpuh kedua tangannya- terhadap Aisyah radhiallahuanha, dengan mengira bahwa beliau adalah fitnah yang disebutkan dalam hadits (Sungguh suatu kebohongan besar yang keluar dari mulut-mulut mereka yang selalu berdusta) dengan menyandarkan hal itu kepada dua riwayat tadi.
Pertama riwayat Bukhari (Maka menunjukkan ke arah rumah Aisyah). Yang lainnya riwayat Muslim (Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam keluar dari rumah Aisyah dan mengatakan, “Kepala kekufuran dari sini”). Sehingga orang keji ini memalingkan para pembaca yang mulia bahwa telunjuk beliau yang mulia sesungguhnya menunjuk ke rumah Aisyah itu sendiri. Dan maksud fitnah adalah Aisyah itu sendiri!.
Jawabannya, inilah prilaku Yahudi yang biasa memalingkan kata-kata dari tempatnya. Bahwa ungkapan pada riwayat pertama فأشار نحو مسكن عائشة (Maka beliau menunjukkan “ke arah” rumah Aisyah). Orang syiah memahaminyaseperti kalau teks haditsnya adalah فاشار إلى نحو مسكن عائشة(menunjukkan “ke” rumah Aisyah). Ungkapan ‘Nahwa (ke arah) berbeda dengan kata ‘Ila’. Teks ini jelas membatalkan maksudnya yang batil. Apalagi kebanyakan riwayat tegas menulis ke arah timur. Sebagian teksnya lagi menyebut ‘Iraq’. Kenyataan sejarah menunjukkan hal itu.
Sementara riwayat Ikrimah itu syaz (menyalahi riwayat yang lebih kuat dan terkenal) seperti tadi. Jika itu Shahih, maka ia termasuk sangat ringkas sekali dan kemudian dieksploitir oleh orang syiah dengan sangat menyaitkan. Sebagaimana yang ditujukan oleh kumpulan riwayat hadits, maka maknanya adalah Rasulullah sallallahu alihi wa sallam keluar dari rumah Aisyah radhiallahunha, kemudian shalat fajar. Kemudian beliau khutbah di samping mimbar (dalam sebagian riwayat, di samping pintu Aisyah). Kemudian beliau menghadap tempat keluarnya matahari dan menunjukkan dengan tangannya ke arah timur. (dalam riwayat Bukhari, ke arah rumah Aisyah). Redaksi lain riwayat Ahmad (menunjukkan dengan tangannya ke arah Iraq). Kalau orang yang objektif, lepas dari hawa nafsu, maka dengan kumpulan (riwayat ini) dapat membatalkan apa yang dituduhkan orang syiah dengan menghina sayyidah Aisyah radhiallahu anha. Semoga Allah memberikan balasan setimpal untuk mereka.” (Silsilah Shahihah, no. 2494, 5/655).
Syekh Abdul Qadir Sufi mengatakan tentang penyelewangan ini bahwa ia adalah cara berdalil yang batil. Hal itu dapat dibantah bahwa beliau sallallahu alaihi wa sallam berdiri di atas mimbarnya yang berada di barat rumah-rumah istrinya radhiallahu anhunna dan sebelah barat rumah putri beliau Fatimah radhiallahu anha. Dimana waktu itu semua rumahnya berada di kanan mimbar arah timur. Hal itu tidak perlu diperdebatkan. Sebagaimana Syiah menafsirkan pada dirinya arah timur adalah Rumah Aisyah radhiallahunaha, bagitu juga nawasib menafsirkan arah rumah Fatimah radhiallahunaha, dan ini kebodohan dua kelompok. (Kitab ‘Ash-Shaiqah, hal. 151).
Doktor Ibrohim Ar-Ruhaily hafizahullah mengatakan, “Dalam sebagian riwayat Terdapat sebagian yang jeli telah menyebutkan negara dari kabilah itu dan mensifati kondisi penduduknya.
“Dari Abu Mas’ud mengatakan,
أشار رسول الله صلى الله عليه وسلم بيده نحو اليمن فقال ألا إن الإيمان ههنا ، وإن القسوة وغلظ القلوب في الفدادين ، عند أصول أذناب الإبل ، حيث يطلع قرنا الشيطان في ربيعة ومضر
“Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam menunjuk dengan tangannya ke arah Yaman seraya berkata, “Sesunguhnya keimanan di sini.” Sedangkan keras dan kakunya hati ada di fadadain, pada pangkal ekor unta tempat munculnya setan di (kabilah) Rabi’ dan Mudhor.”
Riwayat ini menunjukkan dengan jelas penjelasan maksud Nabi sallallahu alaihi wa sallam dari perkataan (Fitnah ada disini). Maksud hal itu adalah negara timur. Karena terdapat riwayat yang menegaskan akan hal itu. Seperti terdapat pada sebagian riwayat yang mensifati negara itu dan menyebut sebagian kabilahnya. Hal itu menunjukkan gugurnya tuduhan kaum rafidhah yang menganggap penunjukkan ke rumah Aisyah. Pendapat ini batil dan gugur. Tidak ada seorang pun memahami seperti itu. Tidak ada seorang pun yang mengatakannya kecuali orang syiah rafidah yang dengki ini.” (Kitab Al-Intisor Lis sohbi Wal Al Min Iftiroat As-Samawi Ad-Dhol, hal. 323).
Syekh Syahtah Muhamad Soqr mengatakan, “Perkataan syiah tidak dimaksudkan kecuali salah satu dari dua hal. Kemungkinan mereka mengatakan bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam bermaksud menunjuk Aisyah itu sendiri. Atau mengatakan bahwa beliau sallallahu alaihi wasallam bermaksud menunjuk rumahnya itu sendiri.
Kalau mereka mengatakan yang pertama, jelas batil dari susunan hadits. Karena menunjuk tidak digunakan kecuali untuk tempat tertentu bukan pada seseorang. Seperti ungkapan (dari sini) dan ungkapan (Dari sini ada fitnah). Menunjukkan suatu tempat fitnah itu berada.
Kalau dia mengatakan yang kedua, yatu Nabi sallallahu alaiahi wa sallam menginginkan tempat tinggalnya itu sendiri. Maka hal itu tidak mungkin, seumur hidup beliau sallallahu alaihi wa sallam tinggal didalam rumah dan bergantian setiap hari waktu gilirannya Aisyah radhiallahu anha. Bahkan seringkali dibandingkan dengan rumah-rumah istri lainnya, kunjungannya lebih banyak sekitar dua kali lipat. Karena Aisyah radhiallahu anha mendapatkan jatah dua hari. Hari untuknya dan satu hari bagian Saudah binti Zam’ah radhiallahu anha yang beliau hibahkan kepadanya karena beliau mengetahui kecintaan Nabi sallallahu alaiahi wa sallam kepadanya. Bahkan lebih banyak lagi ketika beliau dalam kondisi sakaratul maut beliau senang tinggal di rumah Aisyah radhiallahu anha, tidak di rumah-rumah istri lainnya. Beliau tinggal sampai meninggal dunia di rumah Aisyah radhiallahu anha dan dikebumikan di dalam rumahnya meskipun kaum syiah Rafidhah membencinya.
Tidak ada lagi sisa pendapat kecuali mereka mengatakan maksudnya adalah rumahnya Aisyah radhiallahu anha sepeninggal Rasulullah sallallahu alaiahi wa sallam. Hal ini meskipun mereka mengatakan, maka sesungguhnya mereka mendoakan kepada dirinya kebinasaan dan kecelakaan. Dimana rumahna Aisyah radhiallahu anha berubah sepeninggal Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam menjadi kuburannya yang mulia. Dan bukan menjadi rumahnya lagi sehingga dapat disandarkan kepadanya. Bagaimana (mingkin) orang yang berakal rela untuk kekasihnya dan hamba Muhammad sallallahu alaihi wa sallam dikuburkan di tempat munculnya fitnah sesuai dengan persangkaan orang syiah!!
Siapapun akan heran dari ayat Allah yang menjadikan rumah Aisyah radhiallahu anha tempat hamba dan kekasihnya Muhammad sallallahu alaihi wa sallam dirawat, kemudian dijadikan tempat kuburannya. Kemudian setelah itu dikuburkan di sampingnya kedua sahabat dan pembantunya; Abu Bakar dan Umar radhiallahu anhuma. Ini perkataan dusta dari syiah, Jika ada kemungkinan, pasti kita ketahui ada seorang yang mengatakan atau menyebutkan atau dibuat dalil bagi orang yang menyelisihi ummul mukminin rahdilallahu anha. Dari generasi tabiin atau sesudahnya. Kalau para shahabat jelas tidak akan ada seorang pun dikalangan mereka yang menyakini seperti. Ketika kita tidak mendapatkan seorangpun yang mengatakannya, kita dapat mengetahui bahwa itu hanya sekedar tuduhan kepada Ummul Mukminin radhiallahu anha dari Syiah seperti yang dilakukan pendahulunya dalam peristiwa berita bohong.” (Ummuna Aisyah, 91-94).
Wallahu a’lam.
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam