Unduh
0 / 0
1109206/08/2013

Kisah Pengasingan Nashir Bin Hajjaj Oleh Umar Bin Khaththab Dari Madinah

Pertanyaan: 201633

Disebutkan bahwasannya Umar bin Khathab pernah mengasingkan Nashir bin Al Hajjaj karena ketampanannya yang sangat memikat? Apakah ini benar? Dan apa penyebab dari itu semua?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

..

Yang pertama : Terdapat dalam riwayat dari
jalur yang berbeda baik dengan redaksi yang singkat atau redaksi yang
panjang; bahwasannya Umar Bin Khathab Radliyallahu Anhu pernah mengasingkan
Nashir bin Al Hajjaj ke Bashrah agar tidak menimbulkan fitnah kepada para
wanita Madinah  baik yang dikemas secara singkat atau secara panjang lebar :

Riwayat Ibnu Syubbah dalam “Tarikhul Madinah”
(2/762 ) Dari Qatadah, dan Al Kharaaithi dalam kitab “ I’tilalul Qulub ” (
2/392 ), Ibnul Jauzi dalam kitab “ Dzammu Al Hawa”( Halaman 123 ) Dari
Muhammad bin Al Jahm bin Utsman bin Abi Al Jahm dari bapaknya dari kakeknya
dengan redaksi yang amat panjang.

Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab
“Hilyatul Auliya” ( 4/322 ), Ibnu ‘Asakir dalam kitab “Tarikh Dimasyq”
(62/21) dari As Sya’bi dan Ibnu Sa’ad dalam kitab “Ath-Thabaqaat” (3/216)
Dari Abdullah bin Buraidah dan Ibnu Asakir dalam kitab “Taarikh Dimasyk”
(62/23) dari Muhammad Bin Sirin.

Ringkasannya adalah; Sesungguhnya Umar bin Al
Khaththab Radliyallahu Anhu pernah berjalan mengelilingi lorong Madinah dan
mendengar seorang wanita bersenandung Sya’ir seraya berdesah :

هل
من سبيل إلى خمر فأشربها ** هل من سبيل إلى نصر بن حجاج

“Duhai adakah jalan yang menyampaikanku
kepada khamr lalu aku meneguknya ** Duhai apakah ada sarana untuk sampai dan
mendapatkan Nashr bin Hajjaj ”.

Lalu Umar memanggil dan minta didatangkan
pemuda yang bernama Nashr bin Al Hajjaj dan dia adalah seorang pemuda yang
teramat tampan, maka Umar pun mencukur rambutnya akan tetapi pemuda ini
semakin tampan dan Umar-pun mengasingkannya ke Bashrah agar tidak
menimbulkan fitnah di kalangan para wanita Madinah saat itu.

Kemudian di utuslah utusan ke Bashrah yang
meminta agar Nasher bin Al Hajjaj kembali ke tanah kelahirannya dan
dikatakan padanya bahwasannya tidak ada dosa apapun yang dia lakukan, namun
Nasher menolak dan enggan kembali ke Madinah seraya berkata: Selagi masih
hidup, saya enggan kembali (ke Madinah).”

Kisah semacam ini diriwayatkan oleh tidak
sedikit dari kalangan para ulama’ di antaranya As Sam’aani dalam kitab “Al
Ansaab” (3/156 ), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam salah satu judul pada
kitab “Majmu’ Alfatawa”, (11/552), (15/313), (28/109), (28/ 371), Dan
riwayat Ibnu Al Qayyim dalam kitab “I’laam Al Muwaqqi’in ” (4/284), dan al
Hafidz Ibnu Hajar dalam kitabnya “ Al Ishobah ” ( 6/382 ). Dan Ibnu Muflih
dalam kitab “ Al Aadab As Syar’iyyah (3/132) demikian juga riwayat dari
ulama’-ulama’ yang lain.

Dan Imam Ad Daaruquthni Rahimahullah dalam
kitabnya “ Al Mu’talaf wa Al Mukhtalaf ” (4/2205 ) mengatakan : “Disebutkan
bahwasannya Nasher bin Al Hajjaj adalah Ibnul Hajjaj bin ‘Alath As Sulamy
yang pada zaman kehalifahan Umar bin Al Khaththab termasuk salah seorang
pemuda yang sangat tampan, yang karena ketampanannyalah seorang wanita
Madinah bersenandung :

هل من سبيل إلى خمر فأشربها ** أم هل سبيل إلى نَصْر بن حَجَّاج

“ Duhai adakah jalan yang menyampaikanku
kepada khamr lalu aku meneguknya ** Duhai  adakah sarana untuk sampai dan
mendapatkan Nashr bin Hajjaj ”.

Para ulama yang lain meriwayatkan pula dengan
ungkapan yang hampir sama, mereka adalah :Ibnu Abdil Barr dalam kitab “Al
Isti’aab” (1/326), Ibnu Makula dalam kitab “Al Ikmaal” ( 1/560 ), dan Ibnu
Al Atsier dalam kitab “Usudi Ghoobah” (1/ 456 ).

Al Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah berkata :
“Aku mendapati dalam kitab “Al Mughribin” karangan Abu Al Hasan Al Madaaini
dari jalur Al Walid Bin Said dia berkata: Umar Radliyallahu anhu mendengar
penduduk Madinah membicarakan Nasher bin Al Hajjaj, mereka berkata: Abu
Dzuaib adalah pemuda tertampan di Madinah. Lalu Umar memerintahkan untuk
memanggilnya. Tatkala dia telah datang, Umar berkata kepadanya : Sungguh
engkaulah yang mengganggu pikiranku, maka pergilah engkau dari Madinah, lalu
dia berkata: Jika anda hendak mengeluarkanku dari Madinah maka bawalah aku
ke Bashrah Wahai Umar. Dan disebutkanlah kisah Nasher bin Al Hajjaj yang
amat masyhur”.

“Fathul Bari” ( 12/159-160 ). 

Kisah ini sangatlah terkenal dan banyak
diulas di kitab-kitab para Ulama’, yang diriwayatkan dari jalur yang
bermacam-macam dan amat banyak, akan tetapi banyak riwayat-riwayat dari
jalur-jalur tertentu yang tidak terlepas dari perdebatan akan kesahihannya,
dan jalur yang paling sahih adalah jalur riwayat Abdullah bin Buraidah yang
diriwayatkan secara Mursal, meski begitu penyebutan dan penyebarannya pada
kitab-kitab para imam-imam dan cendekiawan muslim disertai dengan ulasan
sejarah dan biografi dan dengan penyebarannya yang meluas dari berbagai
jalur riwayat menunjukkan dan sebagai bukti akan keorisinilan kisah
tersebut. 

Yang Kedua: Kalau kita menilik dari
perspektif Fiqih, maka hal tersebut masuk pada masalah mendahulukan
kemaslahatan umum dari kemaslahatan pribadi. Maka secara umum, menimpakan
kerugian atau bahaya atas kemaslahatan pribadi demi kemaslahatan umum itu
lebih diutamakan dan sangat dianjurkan.

Badruddin Az Zarkasyi Rahimahullah
menyebutkan dalam kitab : “Al Mantsuur Fiel Qowaid Al Fiqhiyyah”
(1/348-349): “Ibnu Abdis Salaam berkata: Para Ulama bersepakat untuk menolak
keburukan yang lebih besar dalam perkara dunia, dan Ibnu Ad Daqiq Al Id
berkata: Di antara kaidah besar dan mencakup hajat manusia secara umum
adalah mencegah dan menghalangi dua kerusakan besar dengan memilih yang
lebih ringan di antara keduanya jika memang salah satu dari keduanya pasti
akan terjadi. Hendakya
menghasilkan kemaslahatan yang lebih besar dengan meninggalkan yang lebih
ringan dari keduanya.”

Dia berkata:
Hal itu
bersifat umum,
bukan berarti keumuman yang mutlak sekiranya kalau memang terjadi maka
kaidah yang diatas tadi yang diterapkan.

As Syaikh Izzuddin Abdus Salaam berkata:
Apabila terjadi pertentangan antara dua kemaslahatan, maka diambillah yang
paling banyak kemaslahatannya atau kebaikannya di antara keduanya dengan
mengenyampingkan yang paling rendah”.

Dan As Sarakhsi Rahimahullah berkata dalam
kitab “Al Mabsuth”( 9/45 ) : “Jika
telah diputuskan untuk mengasingkan
seseorang; maka yang demikian itu atas dasar kemaslahatan dan kebaikan
bersama bukan atas dasar pemberian dan penegakan  sangsi belaka.
Sebagaimana dahulu
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasllam telah mengasingkan orang yang di
sebut-sebut sebagai seorang waria dari Madinah, dan juga Umar Bin Khaththab
Radliyallahu Anhu telah mengasingkan Nasher Bin Al Hajjaj dari Madinah
ketika dia mendengar seorang wanita yang bersenandung:

هَلْ
مِنْ سَبِيلٍ إلَى خَمْرٍ فَأَشْرَبُهَا ** أَوْ هَلْ سَبِيلٌ إلَى نَصْرِ بْنِ
حَجَّاجِ

“Duhai adakah jalan yang menyampaikanku
kepada khamr lalu aku meneguknya ** Duhai  adakah sarana untuk sampai dan
mendapatkan Nashr bin Hajjaj”

Maka Umar-pun
mengasingkan pemuda tampan tersebut bukan karena ketampanannya semata yang
menyebabkan dia diasingkan, akan tetapi keputusan yang demikian itu diambil
demi kebaikan dan kemaslahatan bersama”.

Al Aluusi Rahimahullah berkata : “Seorang
pemimpin  boleh mengambil keputusan berupa pengasingan demi kemaslahatan
yang ia pandang lebih baik, sebagaimana Umar bin Al Khaththab Radliyallahu
Ta’ala Anhu telah mengambil keputusan yang benar dengan mengasingkan Nasher
bin Al Hajjaj ke kota Bashrah karena ketampanannya yang menimbulkan fitnah
disebagaian kalangan wanita di Madinah.” Tafsir Al Aluusi ( 9/280 ).

Meski ada yang mengatakan: sesungguhnya para
wanita penduduk Bashrah-pun akan terkena fitnah  dengan ketampanannya
setelah dia diasingkan ke kota Bashrah, maka apa yang harus kita perbuat?
Kita telah mengalihkan fitnah dari satu tempat ke tempat yang lain, dan sama
sekali kita tidak mengatasi
akar permasalahannya!!

Maka jawaban akan hal demikian adalah :

Yang pertama: Pengasingannya dari negaranya
dan kepindahannya dari tanah kelahirannya itu menyerupai hukuman, yang akan
melemahkan dorongan fitnah dalam dirinya maupun yang lainnya, dan
mengajarkan kepada para manusia bagaimana memerangi hawa nafsu dan mencela
segala bentuk kekejian maka jika seseorang yang hidup di zaman Umar Bin
Khaththab -yang syetan saja takut kepadanya dan memilih menghindar dengan
kehadirannya- mengerti bahwasannya tidaklah pemuda ini diasingkan melainkan
karena ditakutkan meluasnya fitnah. Seakan-akan dia (Umar) menyeru kepada
penduduk Bashrah: Takutlah dan hindarkanlah oleh kalian fitnah, sungguh aku
telah mengasingkan pemuda ini ke negara kalian agar aku tidak terganggu
dengan fitnah yang akan timbul dari ketampanannya, maka berhati-hatilah
kalian dari fitnah yang akan terjadi.

Yang kedua: Sesungguhnya perasaan orang yang
diasingkan itu sama sekali berbeda dengan orang yang tinggal di tanah
kelahirannya, karena dia di negeri pengasingan akan disibukkan dengan
kondisi kejiwaannya, upaya mencari penghasilan dan pekerjaan hal ini jelas
akan mengurangi kemakmuran dan kesejahtraannya sebagaimana yang ia rasakan
dan dapatkan di negaranya. Karena di negeri asalnya  di mana ia bisa
berkumpul dan bersenda gurau dengan keluarga dan handai tolannya, dan tentu
saja sedikit banyak hal semacam ini akan mengurangi ketampanannya dan
menyibukkan dirinya dari sekedar memberikan perhatian kepada dirinya dan
ketampanannya.

Syikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah
berkata :

“Pengasingan Nasher bin Al Hajjaj dari
Madinah dan dari tanah kelahirannya menuju ke Bashrah oleh Umar bin Al
Khaththab, yaitu tatkala Umar mendengar senandung kegelisahan seorang wanita
akan ketampanan Nasher bin Hajjaj, dan mula-mula yang dilakukan adalah
perintah untuk menggunduli rambutnya agar ketampanannya menjadi pudar karena
ketampanannya inilah yang menggoda dan menjadikan fitnah sebagian wanita.
Ketika Umar melihat setelah digunduli rambutnya dan hal itu tidak mengurangi
ketampanannya karena memang dia adalah pemuda yang paling tampan, maka Umar
mengasingkannya ke Kota Bashrah; dan pengasingan ini bukan karena dosa yang
telah ia perbuat juga bukan karena kekejian yang layak mendapatkan hukuman,
akan tetapi karena menimbulkan fitnah di kalangan para wanita. Lalu
diperintahkanlah untuk menghilangkan ketampanannya yang disitulah letak
penyebab timbulnya fitnah, dan sesungguhnya pengasingannya dari tanah
kelahirannya akan melemahkan cita-cita, angan-angan dan juga badannya, dan
dia akan diketahui oleh banyak orang bahwa ia sedang dihukum. Masalahnya
adalah adanya kekhawatiran akan timbulnya kekejian sebelum terjadinya
peruatan mesum, bukan sekedar pemberian sangsi belaka” dari kitab.” (Majmu
Al Fatawa, 15/313 ).

Yang ketiga: Sesungguhnya pengasingannya akan
memberikan dan mendatangkan pemahaman kepada masyarakat serta mendidik
jiwa-jiwa generasi muda guna memerangi fitnah yang akan timbul. Juga
mengajarkan kepada para pemimpin satu masalah penting dalam perpolitikan
yang dilandaskan kepada Syari’ah dan bagaimana mengedepankan kemaslahatan
umum atas kemaslahatan pribadi dan individu. Juga
menjelaskan sesungguhnya fitnah yang paling besar adalah fitnah wanita.

Yang keempat: Diantara indikasi dari
Kemuliaan dan keagungan kota Madinah adalah disingkirkannya penyebab yang
menimbulkan fitnah terhadap wanita, maka dia dijauhkan ke negara lain sebagi
wujud penjagaan bagi kemuliaan dan keagungan Madinah.

Untuk mendapatkan
faedah yang lebih luas, silakan
lihat jawaban soal nomor
151671.

Wallahu A’lam bis Showaab…

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android
at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android