Unduh
0 / 0

Hakikat Khawarij, Apakah Seorang Muslim Menjadi Khawarij Hanya Karena Dia Menyebutkan Suatu Perbuatan Sebagai Syirik?

Pertanyaan: 224823

Ada kelompok tasawuf di tempat tinggal saya, mereka sangat jauh dari syariat Islam. Kadang mereka shalat menghadap kubur dan meminta syafaat kepada ahli kubur. Apabila disampaikan kepada mereka dalil-dalil dari Al-Quran dan Sunah atas batilnya perbuatan mereka dan bahwa hal itu merupakan kesyirikan dan bahwa hal tersebut merupakan kebiasaan bangsa Arab jahiliah, mereka segera menyebutkan hadits dalam shahih Bukhari dari Ibnu Umar radiallahu anhuma bahwa dia berkata tentang orang-orang khawarij bahwa mereka adalah seburuk-buruk makhluk Allah dan bahwa mereka mengambil ayat-ayat Allah yang berlaku terhadap orang kafir lalu mereka timpakan kepada orang-orang beriman. Dari sini orang-orang tasawuf menjadi terbiasa menuduh orang yang bertentangan dengan mereka sebagai khawarij. Apakah mungkin menjelaskan sedikit masalah ini dan latar belakang hadits tersebut?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama:

Ucapan Abdullah bin Umar radhiallahu anhu
tentang orang-orang khawarij sebagaimana disebutkan oleh Bukhari tanpa sanad
adalah sebagai berikut:

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَرَاهُمْ شِرَارَ خَلْقِ اللَّهِ ،
وَقَالَ : إِنَّهُمُ انْطَلَقُوا إِلَى آيَاتٍ نَزَلَتْ فِي الكُفَّارِ ،
فَجَعَلُوهَا عَلَى المُؤْمِنِينَ

“Ibnu Umar menilai mereka sebagai seburuk-buruk makhluk
Allah. Dia berkata, ‘Mereka mencari-cari ayat-ayat yang turun terhadap
orang-orang kafir lalu mereka timpakan kepada orang-orang beriman.”

(Fathul Bari, 12/282)

Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata,

Ath-Thabary menyambungnya sanadnya dalam musnad Ali min
Tahzib Al-Atsar dari jalur Bakir bin Abdillah bin Al-Asyaj, bahwa dia
bertanya kepada Nafi, tentang bagaimana pandangan Ibnu Umar terhadap
kelompok Haruriyah (nama lain untuk kelompok Khawarij)? Dia berkata, “Beliau
berpendapat bahwa mereka adalah seburuk-buruk makhluk Allah, mereka
mencari-mencari ayat tentang orang-orang kafir lalu mereka timpakan kepada
orang-orang beriman.” Saya katakan, ‘Sanadnya shahih’” (Fathul Bari, 12/286)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah berkata, “Maksudnya
adalah bahwa sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata, ‘Aku
tinggalkan untuk kalian dua perkara berharga; Kitabullah, beliau mendorong
berpegang teguh terhadap Kitabullah. Lalu beliau bersabda, ‘Dan keluargaku,
ahli baitku. Aku ingatkan kalian terhadap ahli baitku. Diucapkan sebanyak
tiga kali.”

Maka beliau berwasiat kepada kaum muslimin untuk
memperhatikan mereka. Beliau tidak menjadikan mereka sebagai imam yang harus
menjadi rujukan kaum muslimin. Maka kaum khawarij mengambil Kitabullah,
sedangkan kaum syiah mengambil Ahlul Bait, tapi keduanya tidak komitmen
terhadap apa yang mereka ambil.

Karena kaum khawarij menyelisihi sunah yang telah
diperintahkan Al-Quran untuk diikuti. Mereka mengkafirkan orang-orang
beriman yang Allah perintahkan untuk disayangi. Karena itu, Saad bin Abi
Waqash menafsirkan ayat berikut ditujukan untuk mereka;

وما يضل به إلا الفاسقين * الذين ينقضون عهد الله من بعد ميثاقه
ويقطعون ما أمر الله به أن يوصل ويفسدون في الأرض  (سورة البقرة: 26-27)

“Dan tidak ada yang
disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik. (yaitu) orang-orang yang
melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa
yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat
kerusakan di muka bumi.” QS. Al-Baqarah: 26-27.

Mereka mencari-cari ayat yang samar untuk mereka tafsirkan
tidak sebagaimana mestinya dan tanpa memahami maknanya serta tidak
berdasarkan kemapanan ilmu juga tidak mengikuti sunah dan merujuk kepada
jamaah kaum muslimin yang memahami Al-Quran. (Majmu Fatawa, 7/481-482)

Kedua:

Sesungguhnya kaum khawarij memiliki ciri jiwa yang kuat,
berani dan militan sehingga orang yang melihatnya menjadi tertarik dan
terpesona, sehingga Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلاَتَهُ مَعَ صَلاَتِهِمْ ، وَصِيَامَهُ
مَعَ صِيَامِهِ )

رواه البخاري، رقم  3610 ، ومسلم، رقم 1064

)

“Seseorang akan menghina shalatnya dibanding shalat mereka,
menghina puasanya dibanding puasa mereka.” (HR. Bukhari, no. 3610 dan
Muslim, no. 1064)

Hanya saja, kekuatan jiwa mereka digunakan untuk berbuat
zalim dan aniaya terhadap darah kaum muslimin, kehormatan dan harta mereka
berdasarkan kaidah mereka yang batil berupa mengkafirkan kaum muslimin
sekedar mereka berbuat dosa. Mereka menghalalkan apa yang terdapat pada kaum
mukminin apa yang tidak halal dilakukan terhadap orang kafir. Inilah
ciri-ciri khawarij di semua tempat dan zaman .

Ibnu Katsir rahimahullah ta’ala berkata, “Mereka (kaum
khawarij) menuju negeri Irak dan Khurasan. Lalu mereka berpecah belah secara
fisik, agama, mazhab dan tindakan mereka yang beraneka ragam dan tersebar
luas tidak terhitung, karena merupakan cabang dari kebodohan yang bergabung
dengan tingkat percaya diri yang tinggi dan keyakinan yang rusak.” (Al-Bidayah
wan Nihayah, 11/668-667)

Ketiga:

Perkataan Ibnu Umar ini dan hadits-hadits yang mengecam kaum
khawarij  tidak dipahami oleh seorang pun ulama bahwa tidak boleh
mengkafirkan orang yang layak dikafirkan dan tidak setiap orang yang
mengkafirkan lalu dia pantas disebut kaum khawarij.

Takfir (mengkafirkan) merupakan salah satu hukum Allah Taala.
Al-Quran dan Sunah telah menghukumi sebagian ucapan dan perbuatan bahwa itu
kufur dan syirik. Mengkafirkan siapa yang berhak dikafirkan merupakan jalan
kaum muslimin. Perhatikanlah di kitab-kitab fiqih dalam semua mazhab,
disebutkan bahwa hukuman bagi orang yang murtad adalah dibunuh, lalu
disebutkan dalam bab ‘Orang-orang murtad’ tentang sebagian dari ucapan dan
perbuatan  yang apabila dilakukan seorang muslim maka dia kafir dan keluar
dari agama.

Akan tetapi, perbedaan antara ahli sunah dan khwarij dalam
masalah ini terletak dalam beberapa perkara penting;

1-Kaum khawarij
mengkafirkan muslim semata mereka melakukan dosa, atau dosa yang tidak
menyebabkan kekufuran. Bahkan terhadapa sesuatu yang asalnya bukanlah dosa.
Adapun ahlussunnah tidaklah mengkafirkan seseorang semata karena dia berbuat
dosa. Bahkan aqidah mereka bahwa orang yang berbuat dosa besar tidaklah
kafir, hanya saja imannya berkurang sesuai derajat kemaksiatannya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah berkata, “Di antara
pokok-pokok Ahlusunah adalah bahwa agama dan iman merupakan ucapan dan amal;
ucapan hati dan ucapan lisan. Amal hati, lisan dan anggota badan. Dan bahwa
iman bertambah dengan taat dan berkurang karena maksiat.

Meskipun demikian, mereka tidak mengkafirkan ahli kiblat
hanya karena semata bermaksiat dan melakukan dosa besar, sebagaimana yang
dilakukan orang-orang khawarij. Bahkan ukhuwa iman tetap berlaku terhadap
ahli maksiat sebagaimana firman Allah Taala dalam ayat qishash

فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ
بِالْمَعْرُوفِ  (سورة البقرة: 178)

“Maka barangsiapa
yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan)
mengikuti dengan cara yang baik.” QS: Al-Baqarah: 178.

Dia juga berfirman,

وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا
فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى
فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِن
فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ، إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا
بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (سورة
الحجرات: 9-10)

“Dan kalau ada dua
golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan
antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang
lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut
kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara
keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Orang-orang beriman itu
sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara
kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”
QS. Al-Hujurat: 9-10.

(Majmu Fatawa, 3/151)

2. Ahlussunah tidak menghukumi perbuatan atau perkataan bahwa
dia kufur kecuali dengan dalil yang jelas dan terang dari Kitab dan Sunah.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah taala berkata, “Sebelum
menghukumi kafir, wajib melihat dua perkara;

Pertama, Petunjuk Kitab dan Sunah bahwa suatu perbuatan
dianggap menyebabkan kafir, agar jangan sampai ada dusta atas nama Allah.

Kedua, hukum tersebut dapat berlaku pada orang tertentu,
dalam arti bahwa semua syarat mengkafirkannya terpenuhi dan tidak adalah
halangan-halangan tertentu.’ (Majmu Fatawa, Syekh Ibnu Utsaimin, 2/134)

1.Ahlussunah
membedakan antara hukum terhadap perbuatan kufur dan ucapan kufur dengan
pelaku dan pengucapnya. Boleh jadi seseorang melakukan amal kufur, akan
tetapi dia tidak kafir, karena adanya penghalang yang mencegahnya dari
kekufuran. Karena seorang muslim yang mengucapkan atau melakukan suatu
perbuatan yang oleh syariat dapat dihukumi kufur; sebab boleh jadi dia
memiliki uzur karena ketidaktahuannya, atau terpaksa atau tidak sengaja atau
memiliki penafsiran lain. Maka kekufuran tidak dapat disematkan kepada
seseorang secara definitive kecuali jika syarat-syaratnya terpenuhi dan
tidak ada faktor yang menghalanginya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata, “Ucapan yang didalamnya
mengandung kekufuran berdasarkan Kitab dan Sunah serta ijmak, maka dikatakan
dia kufur sebagaimana petunjuk syariat tentang hal tersebut. Karena iman
merupakan hukum yang diterima dari Allah dan RasulNya, bukan keputusan yang
dibuat berdasarkan perkiraan dan hawa nafsu mereka. Hal itu tidak harus kita
mengkafirkan setiap orang yang mengucapkan hal itu, bahwa dia kafir, sebelum
terpenuhi syarat-syarat untuk mengkafirkannya dan tidak ada faktor-faktor
yang mencegahnya. Seperti orang yang mengatakan, bahwa khamar dan riba
adalah halal karena dia baru masuk Islam atau karena dia tumbuh di dusun
jauh, atau dia mendengar ucapan yang dia ingkar dan dia tidak yakin bahwa
hal itu berasal dari Al-Quran juga bukan dari salah satu hadits Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam, sebagaimana sebagian salaf mengingkari
beberapa perkara sebelum dia yakin bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam mengucapkannya, juga sebagaimana shahabat meragukan beberapa perkara,
seperti melihat Allah atau selainnya, sampai akhirnya mereka bertanya kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Atau seperti orang yang berkata,
‘Jika aku mati, seretlah aku dan buanglah aku ke laut, agar aku selamat dari
Allah, dan ucapan semacamnya. Sesungguhnya mereka tidak kufur sebelum hujjah
terhadap ajaran ini disampaikan kepada mereka, sebagaimana firman Allah
Taala,

لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ
الرُّسُلِ

“Agar supaya tidak
ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.
QS: An-Nisaa’: 165

Allah telah memaafkan kesalahan dan lupa bagi umat ini.” (Majmu
Fatawa, 35/165-166)

Sebagai tambahan, perhatikan fatwa no.


85102
  seputar ketentuan takfir.

Keempat:

Kebiasaan ini telah dikenal para ulama dari para sahabat dan
generasi sesudahnya bahwa mereka mengambil dalil dari nash-nash dan atsar
yang yang asalnya diberlakukan kepada kaum musyrikin, terhadap mereka yang
berbuat seperti perbuatan mereka di kalangan kaum muslimin.

Di antara dalil yang paling tampak adalah; Hadits Abu Waqid
Al-Laitsi, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, ketika
berangkat ke Hunain, beliau melewati sebuah pohon miliki kaum musyrikin yang
disebut sebagai pohon Dzatu Anwath (pohon berduri), di pohon tersebut mereka
(kaum musyrikin) menggantungkan senjata-senjata mereka (untuk mendapatkan
berkah). Maka mereka (para sahabat) berkata, ‘Wahai Rasulullah, jadikan
untuk kami dzatu anwath, sebagaimana mereka punya dzatu anwath.” Maka
berkatalah Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

سُبْحَانَ اللهِ ؛ هَذَا كَمَا قَالَ قَوْمُ مُوسَى :
اجْعَلْ
لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ  ؛ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ
لَتَرْكَبُنَّ سُنَّةَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ

 (رواه أحمد ، رقم 21900 ، والترمذي، رقم 2180 ، وقال : هَذَا
حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ ، وصححه الألباني

)

“Maha suci Allah, ini seperti yang diucapkan kaumnnya Musa,
“Jadikan untuk kami tuhan sebagaimana mereka memiliki tuhan” Demi yang
jiwaku ada di TanganNya, kalian akan mengikuti ajaran orang sebelum kalian.”
(HR. Ahmad, no. 21900, Tirmizi, no. 2180, dia berkata, ‘Haditsnya hasan
shahih, dinyatakan shahih oleh Al-Albany)

Karena itu, terdapat peringatan untuk tidak menyerupai kaum
musyrikin serta mengikuti jalan orang-orang sebelum kita dari kalangan
Yahudi, Nashrani, Persia dan Romawi. Bahkan Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam telah nyatakan bahwa masalah ini pasti an terjadi di kalangan
umatnya.

Imam Ath-Thabary rahimahullah, “Yang dimaksud oleh Huzaifah
dengan ucapannya, ‘Kalian akan megikuti ajaran orang-orang sebelum kalian
satu demi satu’ yaitu bahwa umat Nabi Muhamad shallallahu alaihi wa sallam
akan mengikuti ajaran kaum sebelumnya satu ‘quzah’ demi ‘satu quzah’. Quzah
adalah bulu pada pangkal panah yang sudah diratakan sehingga ukurannya sama,
bersandingan rata, tidak ada yang berbeda dan bengkok. Begitu pula dengan
kalian wahai umat ini, kalian akan menyerupai mereka umat sebelum kalian
terhadap perbuatan yang mereka lakukan dalam agama mereka serta dalam
perkara-perkara baru yang mereka buat, mereka mengarang-ngarang bid’ah dan
kesesatan, kalian menempuh jalan mereka dan mengamalkan ajaran-ajaran
mereka.” (Tahzibul Atsar, 7/97, Maktabah Syamilah)

Dalam shahih Bukhari (no. 4425) dari Abu Bakrah, dia berkata,
“Sungguh Allah telah memberi kepadaku manfaat dengan kalimat yang aku dengar
dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada saat peristiwa perang
Jamal, setelah nyaris saja aku bergabung bersama para sahabat dan berperang
bersama mereka. Tatkala sampai berita kepada Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam bahwa penduduk Persia mengangkat puteri Kisra sebagai pemimpin
mereka, maka beliau bersabdan, “Tidak akan beruntung kaum yang menyerahkan
kepemimpinannya kepada wanita.”

Perhatikanlah bagaimana Abu Bakrah radhiallahu anhu berdalil
dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam saat dia tidak ikut para
sahabat dalam perang onta (karena perang Jamal dipimpin oleh seorang wanita,
yaitu Aisyah radhiallahu anha), padahal Nabi shallallahu alaihi alaihi wa
sallam mengemukakan hal tersebut asalnya sebagai komentar atas sikap warga
Persia dan mereka adalah kaum kafir.

 Al-Marwazi berkata dalam kitab As-Sunah (65) dari Hamam bin
Al-Harits, dia berkata, “Kami berada di sisi Huzaifah, lalu mereka menyebut
(firman Allah Taala),

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْكَافِرُونَ ) [المائدة: 44]

“Siapa yang tidak berhukum kepada apa yang Allah turunkan,
maka mereka adalah orang-orang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44)

Maka ada seseorang di antara mereka yang berkata, ‘Ayat itu
berlaku untuk Bani Israil.’ Lalu berkatalah Huzaifah, ‘Sebaik-baik saudara
kalian adalah Bani Israil, jika bagi kalian manis, bagi mereka pahit. Sekali-kali
tidak, demi yang jiwaku ada di tanganNya, ajaran kalian akan mengikuti
ajaran mereka, satu demi satu!!”

Diriwayatkan juga oleh Ath-Thabary dalam tafsirnya (12027)
dan Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak (3218)

Kesimpulannya: Bahwa siapa yang komitmen dengan
ketentuan-ketentuan syariat, maka dia jauh dari pemikiran dan mazhab
khawarij sejauh jalan yang ditempuh sahabat Nabi shallallahu alaihi wa
sallam dibanding jalan ahli bid’ah dan kesesatan.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

answer

Tema-tema Terkait

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android