Pertama:
Arti keimanan terhadap yang goib
Tidak diragukan lagi bahwa beriman kepada yang goib termasuk ujian bagi seorang hamba.
Allah ta’ala berfirman:
الم، ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ ، الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ.
البقرة/1 – 3
“Alif laam miin. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib.” QS. Al-Baqarah: 1-3.
Dan goib mencakup semua urusan yang tidak nampak pada panca indra seorang hamba, mencukup juga disini semua apa yang dikabarkan oleh wahyu. Dari apa yang telah terjadi, dan apa yang terjadi dan hal itu goib bagi kita. Seperti alam Malaikat, barzah serta apa yang akan terjadi pada masa mendatang seperti hari kiamat dan yang ada didalamnya dari hisab (perhitungan), siksaan dan kenikmatan.
Maka yang goib itu mencakup dasar pokok dalam keimanan.
Al-Wakhidi rahimahullah mengatakan,”Firman Allah ta’ala بِالْغَيْبِ, goib itu adalah masdar dari kata kerja ‘goba wagibu goiban’. Semua yang goib dari anda dan tidak pernah menyaksikannya maka itu termasuk goib. Allah ta’ala berfirman:
عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ
“Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata.” QS. Al-Hasyr: 22
Orang arab mengatakan yang tenang dari bumi itu dikatakan goib karena ia goib dari penglihatan.
Abul al-Aliyah mengatakan terkait dengan firman Allah ta’ala يُؤمِنوُنَ بِالغيَب (mereka yang beriman kepada yang ghaib) berkata,”Mereka beriman kepada Allah, para MalaikatNya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan hari akhir serta surga dan neraka-Nya, dan perjumpaan dengan-Nya dan kebangkitan setelah kematian.
Seakan hal ini adalah sisi global dari apa yang telah diperinci dalam firman-Nya:
كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
“Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat." (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali." QS. Al-Baqarah: 285
Abu Ishaq mengatakan,”Semua apa yang tidak nampak pada mereka dari apa yang diberitahukan oleh Nabi sallallahu’alaihi wa sallam maka itu termasuk goib. Dan ini adalah metode ulama’ ahli tafsir dalam menafsirkan arti (goib). Selesai dari kitab ‘Al-Basith, (2/68-71).
Al-Qurtuby rahimahullah mengatakan,”Ini adalah keimanan yang seseuai syariat yang diisyaratkan dalam hadits Jibril alaihis saam ketika mengatakan kepada Nabi sallallahu’alaihi wa sallam (Maka beritahukan kepadaku tentang keimanan, maka beliau bersabda,”Engkau berimana kepada Allah dan para Malaikat-Nya dan kitab-kitab-Nya dan para Rasul-Nya serta pada hari kiamat dan beriman kepada takdir yang baik maupun yang jelek. (Jibril) mengatakan,”Engkau benar. Dan disebutkan sisa haditsnya. Selesai dari ‘Tafsir Al-Qurtuby, (1/252).
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,”Asal dari keimanan itu adalah beriman kepada yang goib sebagaimana firman Allah ta’ala:
الم، ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ ، الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ
البقرة/1 – 3
“Alif laam miin. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib.” QS. Al-Baqarah: 1-3.
Dan goib yang diimani adalah apa yang dikabarkan oleh para Rasul dari urusan umum. Termasuk didalamnya beriman kepada Allah, nama dan sifat-Nya dan para Malaikat-Nya, surga dan neraka. Maka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan hari akhir mengandung keimanan kepada yang goib. Karena sifat risalah itu termasuk dari yang goib. Perincian akan ha itu adalah beriman kepada Allah dan para Malaikat-Nya dan kitab-kitab-Nya dan para Rasul-Nya serta para hari akhir. Sebagaimana hal itu sebebutkan oleh Allah ta’ala akan hal itu dalam firman-Nya:
وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ
“akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi.” QS. Al-Baqarah: 177
Dan firman-Nya:
وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” QS. An-Nsa’: 136
Selesai dari ‘Majmu’ Al-Fatawa, (13/232-233).
Kepercayaan terhadap hal gaib merupakan kebenaran yang membedakan orang jujur dan skeptis. Syekh Abdurrahman As-Sa’dy rahimahullah mengatakan,” الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ (mereka yang beriman kepada yang ghaib) Hakekat keimanan adalah membenarkan secara sempurna dengan apa yang diberitahukan oleh para Rasul, yang mengandung merealisasikan dengan anggota tubuh. Dan bukan termasuk urusan beriman dengan sesuatu yang nampak dengan panca indra. Karena hal itu tidak dapat membedakan antara orang Islam dengan orang kafr. Sesungguhnya urusan beriman dengan yang goib adalah sesuatu yang belum pernah kita lihat dan belum pernah kita saksikan. Akan tetapi kita mengimaninya. Berdasakan kabar dari Allah dan kabar dari Rasul-Nya. Dan keimanan semacam ini yang dapat membedakan antara orang Islam dengan orang kafir. Karena ia adalah membenarkan hanya untuk Allah dan Rasul-Nya. Maka seorang mukmin itu mengimani semua apa yang dikabarkan oleh Allah atau apa yang dikabarkan oleh Rasul-Nya. Baik dia menyaksikannya atau tidak menyaksikannya. Baik dia memahaminya dan sesuai logikanya atau tidak sampai pada akal dan pemahamannya.
Berbeda dengan orang zindiq dan orang yang mendustakan urusan-urusan goib. Karena akal mereka pendek. Dan sesuatu yang pendek tidak akan mendapatkan petunjuk kesana. Maka mereka mendustakan apa yang tidak terjangkau oleh ilmunya sehingga akal mereka rusak dan bercampur bawur mimpinya. sementara akalnya orang-orang beriman dan membenarkan itu dibersihkan serta mendapatkan petunjuk dengan petunjuk Allah.
Termasuk beriman terhadap yang goib itu adalah beriman dengan semua apa yang diberitahukan oleh Allah dari sesuatu goib yang lalu dan yang akan datang dan kondisi akhirat dan hakekat sifat-sifat Allah dan bagaimananya. Dan apa yang diberitahukan oleh para Rasul akan hal itu. Maka mereka mengimani dengan sifat-sifat Allah dan keberadaan-Nya dan meyakininya. Meskipun mereka belum memahami metode caranya. Selesai dari ‘Tafsir As-Sa’dy, hal. 40-41.
Seorang mukmin dengan apa yang diberitahukan oleh para Rasul tentang masalah-masalah yang belum pernah disaksikannya adalah orang yang jujur dan tetap dalam keimanannya. Allah ta’ala berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
الحجرات/15
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” QS. Al-Hujurat: 15
Sementara orang kafir, kebanyakan diantara mereka meyakini bahwa tidak akan berbohong apa yang datang dari para Rasul. Akan tetapi dia mengingkari yang goib sehingga hal itu dijadikan sebagai alasan-alasan. Maka ketika mereka melihat nyata Malaikat maut dan melihat nyata akhirat kelak, maka keimanan mereka tidak bermanfaat pada kondisi seperti ini. Karena keimanan mereka itu dengan keterpaksaan bukan dengan membenarkan. Oleh karena itu kalau sekiranya mereka dikembalikan ke dunia, mereka akan kembali pada kebohongannya.
Allah ta’ala berfirman:
وَلَوْ تَرَى إِذْ وُقِفُوا عَلَى النَّارِ فَقَالُوا يَالَيْتَنَا نُرَدُّ وَلَا نُكَذِّبَ بِآيَاتِ رَبِّنَا وَنَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ ، بَلْ بَدَا لَهُمْ مَا كَانُوا يُخْفُونَ مِنْ قَبْلُ وَلَوْ رُدُّوا لَعَادُوا لِمَا نُهُوا عَنْهُ وَإِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ ، وَقَالُوا إِنْ هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا وَمَا نَحْنُ بِمَبْعُوثِينَ
الأنعام/27–29.
“Dan jika kamu (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, lalu mereka berkata: "Kiranya kami dikembalikan (ke dunia) dan tidak mendustakan ayat-ayat Tuhan kami, serta menjadi orang-orang yang beriman", (tentulah kamu melihat suatu peristiwa yang mengharukan). Tetapi (sebenarnya) telah nyata bagi mereka kejahatan yang mereka dahulu selalu menyembunyikannya. Sekiranya mereka dikembalikan ke dunia, tentulah mereka kembali kepada apa yang mereka telah dilarang mengerjakannya. Dan sesungguhnya mereka itu adalah pendusta belaka. Dan tentu mereka akan mengatakan (pula): "Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia ini saja, dan kita sekali-sekali tidak akan dibangkitkan.” QS. Al-An’am: 27-29.
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,”Arti dari contoh yang ada dalam firman-Nya بَلْ بَدَا لَهُمْ مَا كَانُوا يُخْفُونَ مِنْ قَبْلُ (Tetapi (sebenarnya) telah nyata bagi mereka kejahatan yang mereka dahulu selalu menyembunyikannya), maka mereka tidak meminta kembali ke dunia dalam rangka berkeinginan dan cinta pada keimanan, akan tetapi karena ketakutan dari siskaan yang mereka lihat secara nyata sebagai balasan akan kekufurannya. Maka mereka meminta kembali ke dunia agar terlepas dari apa yang mereka saksikan dari neraka. Oleh karena itu dia mengatakan
وَلَوْ رُدُّوا لَعَادُوا لِمَا نُهُوا عَنْهُ وَإِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ (Sekiranya mereka dikembalikan ke dunia, tentulah mereka kembali kepada apa yang mereka telah dilarang mengerjakannya (langgar). Dan sesungguhnya mereka itu adalah pendusta belaka). Maksudnya dalam angan-angan mereka untuk kembali berkeinginan dan cinta dalam keimanan.
Kemudian (firman Allah) mengabarkan tentang mereka. Bahwa mereka kalau dikembalikan ke dunia, pasti mereka akan kembali dari apa yang telah dilarangnya dari kekufuran dan penyelewangan وَإِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ (Dan sesungguhnya mereka itu adalah pendusta belaka) maksudnya dalam ucapan mereka: يَالَيْتَنَا نُرَدُّ وَلَا نُكَذِّبَ بِآيَاتِ رَبِّنَا وَنَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ (Kiranya kami dikembalikan (ke dunia) dan tidak mendustakan ayat-ayat Tuhan kami, serta menjadi orang-orang yang beriman)
وَقَالُوا إِنْ هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا وَمَا نَحْنُ بِمَبْعُوثِينَ (Dan tentu mereka akan mengatakan (pula): "Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia ini saja, dan kita sekali-sekali tidak akan dibangkitkan)
Maksudnya mereka akan kembali dari apa yang dilarangnya, dan mereka akan mendustakannya. Dan mengatakan (Hidup hanyalah kehdupan kita di dunia ini saja). Maksudnya tiada lain kehidupan ini hanya di dunia semata kemudian tidak ada kebangkitan setelahnya. Oleh karena itu dia mengatakan (dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan). Selesai dari Tafsir Ibnu Katsir, (3/249).
Hal ini bukan berarti menyaksikan yang goib itu tidak ada manfaatnya, akan tetapi ia sebagai pendorong bagi pemilik hati yang selamat dan menginginkan dalam keimanan dan kecintaan kepadanya. Dimana akan semakin bertambah keimanan dan keyakinan dengan menyaksikan hal itu. Sebagaimana dalam kisahnya Nabi Ibrohim alaihis salam ketika Allah berfirman:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَى كُلِّ جَبَلٍ مِنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
البقرة/260
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu ?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera." Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” QS. Al-Baqarah: 260
Yang mengisyaratkan hal ini juga dalam hadits Abu Hurairah berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ لِلَّهِ مَلاَئِكَةً يَطُوفُونَ فِي الطُّرُقِ يَلْتَمِسُونَ أَهْلَ الذِّكْرِ، فَإِذَا وَجَدُوا قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَنَادَوْا: هَلُمُّوا إِلَى حَاجَتِكُمْ، قَالَ: فَيَحُفُّونَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا، قَالَ: فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ عز وجل، وَهُوَ أَعْلَمُ مِنْهُمْ: مَا يَقُولُ عِبَادِي؟ قَالُوا: يَقُولُونَ: يُسَبِّحُونَكَ وَيُكَبِّرُونَكَ وَيَحْمَدُونَكَ وَيُمَجِّدُونَكَ. قَالَ: فَيَقُولُ: هَلْ رَأَوْنِي؟ قَالَ: فَيَقُولُونَ: لاَ وَاللَّهِ مَا رَأَوْكَ؟ قَالَ: فَيَقُولُ: وَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي؟ قَالَ: يَقُولُونَ: لَوْ رَأَوْكَ كَانُوا أَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً، وَأَشَدَّ لَكَ تَمْجِيدًا وَتَحْمِيدًا، وَأَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيحًا. قَالَ: يَقُولُ: فَمَا يَسْأَلُونِي؟ قَالَ: يَسْأَلُونَكَ الجَنَّةَ. قَالَ: يَقُولُ: وَهَلْ رَأَوْهَا؟ قَالَ: يَقُولُونَ: لاَ وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا. قَالَ: يَقُولُ: فَكَيْفَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا؟ قَالَ: يَقُولُونَ: لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا، وَأَشَدَّ لَهَا طَلَبًا، وَأَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً، قَالَ: فَمِمَّ يَتَعَوَّذُونَ؟ قَالَ: يَقُولُونَ: مِنَ النَّارِ. قَالَ: يَقُولُ: وَهَلْ رَأَوْهَا؟ قَالَ: فيَقُولُونَ: لاَ وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا. قَالَ: يَقُولُ: فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا؟ قَالَ: يَقُولُونَ: لَوْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا، وَأَشَدَّ لَهَا مَخَافَةً. قَالَ: فَيَقُولُ: فَأُشْهِدُكُمْ أَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ. قَالَ: يَقُولُ مَلَكٌ مِنَ المَلاَئِكَةِ: فِيهِمْ فُلاَنٌ لَيْسَ مِنْهُمْ، إِنَّمَا جَاءَ لِحَاجَةٍ. قَالَ: هُمُ الجُلَسَاءُ لاَ يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ رواه البخاري (6408)، ومسلم (2689)
“Sesungguhnya Allah memiliki para Malaikat yang mengelilingi jalanan untuk mencari orang yang berzikir. Kalau mereka telah mendapatkan suatu kaum yang mengingat Allah, maka mereka saling memanggil,”Mari kesini untuk mendapatkan kebutuhan kalian. Berkata,”Maka mereka (para Malaikat) menaunginya dengan sayap-sayapnya sampai ke langit dunia. Berkata,”Maka Tuhan mereka Azza wajallah menanyakan kepada mereka padahal Dia lebih mengetahui dari mereka. Apa yang diucapkan oleh hambaku? Mereka menjawab,”Mereka mengatakan bertasbih dan bertakbir kepada-Mu dan menyanjung kepada-Mu serta mengagungkan kepada-Mu. Berkata,maka Allah berfirman,”Apakah mereka pernah melihat-Ku? Berkata, mereka (para Malaikat) menjawab,”Tidak, demi Allah mereka belum pernah melihat-Mu. Berkata, maka (Allah) berfirman,”Bagaimana kalau mereka melihat-Ku. Berkata (Malaikat),”Kalau mereka melihat-Mu, maka mereka akan semakin semangat beribadah kepada-Mu. Dan semakin mengangukan dan memuji-Mu serta lebih banyak lagi bertasbih kepada-Mu. Berkata, Allah berfirman,”Apa yang mereka minta dari-Ku? (Malaikat) menjawab,”Mereka meminta kepada-Mu surga. Berkata, Allah bertanya,”Apakah mereka pernah melihatnya? Berkata, (para Malaikat) menjawabnya,”Belum pernah (melihatnya), Demi Allah wahai Tuhanku, mereka belum pernah melihatnya. Berkata, Allah berfirman,”Bagaimana kalau sekiranya mereka melihatnya? Berkata, (para Malaikat) menjawabnya,”Kalau mereka melihatnya, maka mereka akan semakin menjaga dan semakin memintanya. Serta berkeinginan yang lebih agung lagi. Berkata (Allah),”Mereka berlindung dari apa? Berkata, (para Malaikat) menjawabnya,”Dari neraka. Berkata, Allah berfirman,”Apakah mereka pernah melihatnya? Para Malaikat menjawabnya,”Demi Allah, Belum pernah, wahai Tuhanku, mereka belum pernah melihatnya. Berkata, (Allah) berfirman,”Bagaimana kalau mereka melihatnya? (Malaikat) menjawabnya,”Kalau sekiranya mereka melihatnya, maka mereka akan lebih kencang lari darinya dan lebih takut lagi. Berkata, Allah berfirman,”Maka saksikan kalian semuanya, sungguh saya telah mengampuni mereka semua. Berkata, salah satu dari Malaikat mengatakan,”Didalamnya ada si fulan bukan termasuk dari kalangan mereka, dia datang karena ada suatu keperluan. (Allah) berfirman,”Mereka adalah orang-orang yang duduk, yang tidak akan merugi dengan teman duduk lainnya. HR.. Bukhori, (6408) dan Muslim, (2689).
Hal ini menunjukkan bahwa kalau mereka melihat Allah ta’ala, begitu juga (melihat) surga dan neraka, pasti akan bermanfaat hal itu dengan bertambah keimanan dan pembenarannya.
Dan keimanan orang-orang Islam sekarang kepada Nabi sallallahu’alaihi wa sallam termasuk salah satu contoh keimanan dengan yang goib, dan orang yang menyaksikannya dari kalangan para shahabat radhiallahu’anhum, akan bermanfaat keimanannya.
Diriwayatkan Said bin Mansur dengan sanad riwayatnya terterpecaya, sebagaimana dalam ‘At-Tafsir Min Sunani Said bin Mansur, (2/544). Berkata,”Abu Muawiyah memberitahukan kepada kami dari Al-A’masy dari Umarah bin Umair dari Abdurrahman bin Yazid dari Abdullah bin Mas’ud berkata: para shahabat Muhammad sallallahu’alaihi wa sallam menyebutkan dan keimananannya. Maka Abdullah mengatakan,”Sesungguhnya urusan Muhammad sallallahu’alaihi wa sallam dahulu adalah seorang Nabi bagi orang yang melihatnya, dan yang tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain darinya. Tidak ada orang yang beriman yang lebih mulia dibandingkan dengan keimanan kepada yang goib. Kemudian membaca ayat qur’an:
الم، ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ ، الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ
“Alif laam miin. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib.” QS. Al-Baqarah: 1-3.
Ibnu Al-Jauzi rahimahullah ta’ala mengatakan,”Maksud dari goib disini itu ada enam pendapat,… yang keenam bahwa itu adalah beriman kepada Rasul akan kebenarannya bagi orang yang tidak pernah melihatnya. Amr bin Murrah mengatakan,”Teman-teman Abdullah mengatakan kepadanya,”Alangkah indahnya anda, anda bersungguh-sungguh bersama Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam. Dan anda juga duduk dengannya. Maka beliau mengatakan,”Sesungguhnya urusan Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam dahulu telah jelas bagi orang yang melihatnya. Akan tetapi yang lebih mengherankan dari itu adalah suatu kaum yang mendapatkan kitab tertulis mereka mengimaninya dan belum pernah melihatnya. Kemudian membaca ayat: الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ(mereka yang beriman kepada yang ghaib). Selesai dari kitab ‘Zadul Masir, (1/24-25).
Kedua:
Ketidak tahuan posisi seorang hamba disisi Allah itu tidak ada hubungan dengan keimanan dengan yang goib.
Dari penjelasan tadi, telah jelas dan terang bahwa ketidak tahuan seorang hamba akan posisi di sisi Allah ta’ala, tidak masuk dalam permasalahan keimanan kepada yang goib dimana kita diperintahkan dan kita akan dihisabnya nanti.
Akan tetapi ia masuk dalam larangan menebak yang goib. Dan tidak mengatakan tanpa ada ilmunya. Maka seorang manusia tidak mengetahui sejauh mana penerimaan Allah ta’ala terhadap amalannya dan apa yang menjadi akhirannya (khotimahnya). Oleh karena itu seseorang tidak diperbolehkan merekomendasikan pada dirinya. Meskipun begitu, jangan berputus asa terhadap rahmat Allah ta’ala dan atas kemulyaan-Nya. Sehingga dia senantiasa antara mengharap dan rasa takut.
Allah ta’ala berfirman:
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ ، وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ الأعراف/55 – 56
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” QS. Al-A’raf: 55-56.
Syekh Abdurrahman As-Sa’dy rahimahullah ta’ala mengatakan,” وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا) )( dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan) maksudnya adalah takut dari siksa-Nya dan mengharap pahala-Nya. Dan mengharap agar diterimanya. Serta takut ditolaknya. Bukan doa seorang hamba yang hina pada tuhannya. Terkadang bangga pada dirinya. Dan menurunkan dirinya diatas dari posisinya. Atau berdoa dari orang yang lalai dan tertutup. Selesai dari ‘Tafsir As-Sa’dy, hal. 292.
Dari bab ini ketakutan para shahabat terjerumus pada kenifakan. Maka mereka tidak mensucikan diri mereka. Dan tidak memastikan diterima amalan-amalannya. Bahkan mereka khawatir keluar dari dirinya kesalahan-kesalahan yang menjerumuskan kepada sifat nifaq sementara mereka tidak merasakannya, maka jangan menyandarkan kemaksuman (keterjagaan dari dosa) pada dirinya.
Maka Bukhori rahimahullah membuat bab dalam kitab ‘Shohehnya’ Bab ketakutan orang mukmin hilang amalannya sementara dia tidak merasakannya. Kemudian beliau menyebutkan di dalamnya atsar. Ibrohim at-Taimy mengatakan,”Tidaklah saya nampakkan ucapanku terhadap amalanku kecuali saya khawatir saya termasuk orang yang berdusta. Ibnu Abi Mulaikah mengatakan,”Saya mendapatkan 30 dari shahabat Nabi sallallahu’alaihi wa sallam, semuanya takut nifak pada diriya. Tidak ada seorangpun yang mengatakan,”Bahwa dia dalam kondisi keimanan Jibril dan Mikail. Disebutkan dari Hasan: (Tidak ada yang ketakutan kecuali dia orang mukmin dan tidak ada yang merasa aman kecuali dia orang munafik) selesai dari kitab ‘Fathul Bari, (1/109-110).
Ibnu Rajab rahimahullah ta’ala mengatakan,”Asal dari hal ini itu kembali yang tadi disebutkan. Bahwa nifak itu ada yang kecil (Asgor) dan besar (Akbar). Maka nifak asgor (kecil) itu adalah nifak amalan yaitu mereka yang menyalahi pada dirinya. Dan itu termasuk bab nifak akbar (besar). Maka dikhawatirkan bagi orang yang kalah pada prilaku nifak kecil (asgor) dalam kehidupannya akan menjerumuskan hal itu kepada nifak akbar (besar). Sampai keluar dari keimanan semuanya. Sebagaimana firman Allah ta’ala:
فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ
“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka.” QS. As-Shof: 5.
Dan firman-Nya:
وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ
“Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Quran) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” QS. Al-An’am: 110.
Selesai dari ‘Fathul Barie, (1/195).
Dari bab ini, diperbolehkan mengecualikan dalam keimanan dimana seorang mukmin dapat mengatakan ‘Saya beriman insya Allah ta’ala. Maksudnya bahwa keimanan itu masuk di dalamnya amalan-amalan. Dari melakukan amalan wajib dan meninggalkan amalan yang diharamkan. Maka dikhawatirkan keluar darinya kekurangan, maka jangan menyandarkan pada dirinya keimanan secara sempurna karena ketidak tahuan akan hal itu.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,”Sementara madzhab salaf para ahli hadits, seperti Ibnu Mas’ud dan teman-temannya, dan Tsauri dan Ibnu Uyainah, dan banyak ulama’ Kufah dan Yahya bin Said Al-Qotton dan meriwayatkan dari para ulama’ penduduk Basroh dan Ahmad bin Hanbal dan imam sunnah lainnya. Maka mereka mengecualikan dalam beriman. Bahkan para imam dengan tegas mengatakan mengecualikan hal itu karena keimanaan itu mengandung melakukan kewajiban-kewajiban, maka mereka tidak menyaksikan pada drinya akan hal itu. Sebagaimana mereka tidak menyaksikan dengan kebaikan dan ketakwaan. Karena hal itu termasuk yang tidak mereka ketahui. Yaitu membersihkan pada dirinya tanpa ada ilmu. Selesai dari ‘Majmu’ fatawa, (7/438-439).
Beliau rahimahullah mengatakan,”Keimanan secara mutak itu mengandung melakukan semua apa yang diperintahkan Allah kepada hamba-Nya dan meninggalkan semua yang diharamkannya. Kalau seseorang mengatakan,”Saya beriman’ dengan kategori ini, maka dia telah menyaksikan pada dirinya bahwa dia termasuk orang baik yang bertakwa yang menunaikan semua apa yang diperintahkan kepadanya dan meninggalkan semua apa yang dilarangnya. Maka dia termasuk kekasih (wali) Allah. hal ini termasuk seseorang yang membersihkan untuk dirinya sendiri. dan kesaksian untuk dirinya dengan sesuatu yang dia tidak ketahui. Kalau sekiranya kesaksian ini benar, maka selayaknya dia menyaksikan untuk dirinya surga kalau dia mati dalam kondisi seperti ini. Dan tidak ada seorangpun bisa menyaksikan dirinya dengan surga. Maka kesaksian pada dirinya dengan keimanan, seperti kesaksian pada dirinya dengan surga kalau dia mati dalam kondisi seperti ini. Dan ini metode yang diambil oleh kebanyakan ulama’ salaf yang mengecualikan (dalam keimanan). Meskipun mereka memperbolehkan meninggalkan untuk pengecualian dengan arti yang lainnya. Sebagaimana yang kita akan sebutkan nanti insyaallah ta’ala. Selesai dari ‘Majmu’ Fatawa, (7/446).
Akan tetapi hal ini tidak berarti seorang muslim tidak memastikan akan pokok keislamannya. Bahkan seharusnya dia memastikan dan tidak ragu apa yang ada dalam hatinya. Dengan keimanan kepada Allah ta’ala dan para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya dan pada hari akhir serta takdir baik dan buruknya.
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,”Ahmad dan ulama’ salaf lainnya dahulu mereka menegaskan dan tidak meragukan akan keberadaan keimanan yang ada dalam hati dalam kondisi seperti ini. Dan mereka menjadikan pengecualian itu kembali kepada keimanan secara mutlak (umum) yang mengandung melakukan sesuatu yang diperintahkan. Selesai dari ‘Majmu’ Fatawa, (7/450).
Ibnu Abdul Izz rahimahullah mengatakan,”Sementara orang yang memperbolehkan pengecualian dan meninggalkannya, maka mereka adalah yang paling bahagia dalam dalilnya diantara dua kelompok, dan sebaik-baik urusan adalah pertengahan. Kalau yang diinginkan orang yang mengecualikan itu adalah keraguan pada asal keimanannya, maka dilarang dalam mengecualikannya. Dan hal ini tidak ada perbedaan di dalamnya.
Kalau dia maksud termasuk kalangan orang beriman yang disifati dalam Allah dalam firman-Nya:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ ، الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ ، أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman[594] ialah mereka yang bila disebut nama Allah[595]
gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia.” QS. Al-Anfal: 2-4.
Dan dalam firman-Nya:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” QS. Al-Hujurat: 15.
Maka pengecualian waktu itu diperbolehkan. Hal. 353.
Ketiga:
Takut dari kenifakan
Takut dari kenifakan yang terpuji adalah takut yang menjadi pendorong agar bersungguh sungguh dalam beramal sholeh. Kalau seorang hamba takut adanya riya’ (dilihat orang lain dalam beramal) disela-sela ibadahnya, ketakutan ini yang menjadi pendorong seorang hamba untuk bersungguh-sungguh menghilangkan riya’ ini disertai terus beribadah dan memperbanyaknya. Bukan ketakutan menjadikan seorang muslim pasif dari beribadah dan berpaling darinya dengan alasan takut riya’. Telah ada penjelasan seputar ini dalam jawaban soal no. 21880.
Wallahua’lam