Unduh
0 / 0
734821/09/2003

Bagaimana Yusuf Tergoda Dengan Istri Sang Raja, Padahal Beliau Seorang Yang Menjaga Diri?

Pertanyaan: 45365

Apakah tafsir ayat yang menyatakan:

ولقد همّت به وهمّ بها (سورة يوسف: 24)

“Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu…”. (QS. Yusuf: 24)

padahal Yusuf adalah seorang yang mampu menahan diri, dan telah menolak untuk kembali kepada hasrat istri sang raja, maka bagaimana beliau bermaksud (melakukannya) dengan wanita itu?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Allah –ta’ala- berfirman:

وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلا
أَنْ رَأى بُرْهَانَ ربه (سورة يوسف: 24)

“Sesungguhnya wanita itu
telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun
bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tiada melihat
tanda (dari) Tuhannya…”. (Yusuf: 24)

Keinginan kuatnya wanita itu
adalah untuk melakukan maksiat, sedangkan Nabi Yusuf –‘alaihis salam- jika
tidak melihat tanda dari Allah, maka ia pun akan memiliki keinginan tersebut
–karena tabiat manusianya- , hanya saja beliau tidak menginginkannya; karena
ada tanda (sinyal) dari Tuhannya.

Jadi, dalam ayat di atas ada
kata yang dimajukan dan ada yang di akhirkan, yaitu (pada selain ayat):

لولا أن رأى
برهان ربه لَهَمَّ بها
.

“Jika tidak melihat tanda
dari Tuhannya, maka ia juga akan memiliki keinginan (untuk melakukan maksiat)
dengannya”.

Abu Hatim berkata:

“Saya pernah membaca
ayat-ayat gharibah (seakan ada kejanggalan) di dalam Al Qur’an dengan
bimbingan Abu Ubaidah, ketika saya sampai pada ayat:

ولقد همت به
وهم بها

Maka Abu Ubaidah berkata: dalam ayat ini ada kata yang dimajukan dan ada
yang di akhirkan, seakan yang dimaksud adalah:

ولقد همت به ، ولولا أن رأى برهان ربه لهم
بها.

“Sesungguhnya wanita itu
telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan jika dia tidak
melihat tanda dari Tuhannya, maka ia juga akan memiliki keinginan (untuk
melakukan maksiat) dengannya”.

(Al Qurtuby / al Jami’ li
Ahkamil Qur’an: 0/165)

Asy Syinqithi berkata dalam
“Adhwa’ul Bayan”: 3/58:

Menjawab masalah di atas dari
dua sisi:

Pertama:

Bahwa yang dimaksud dengan
keinginan Nabi Yusuf adalah keinginan yang terlintas di dalam hati yang
dialihkan oleh kuatnya ketaqwaannya. Sebagian mereka berkata: “Kecenderungan
dan syahwat manusiawi yang tertutupi oleh ketaqwaan, dan ini tidak bisa
dinilai sebagai maksiat;
karena hal itu merupakan
tabiat manusiawi yang tidak masuk dalam taklif syar’I, sebagaimana dalam
hadits bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- membagi giliran untuk para
istrinya dengan adil, kemudian bersabda:

اللهم هذا
قسمي فيما أملك ، فلا تلمني فيما لا أملك

“Ya Allah, inilah pembagian
yang mampu saya lakukan, maka janganlah Engkau mencelaku pada sesuatu yang
aku tidak mampu melaksakannya”.

Maksudnya adalah
kecenderungan hati. (HR. Abu Daud dalam “Sunan Abi Daud”: 2134)

Contoh yang serupa dengan di
atas adalah keinginan orang yang sedang berpuasa pada air dingin dan makanan,
namun ketaqwaannya yang melarangnya dari minum dan makan. Rasulullah –shallallahu
‘alaihi wa sallam- bersabda:

من هم بسيئة
فلم يفعلها كتبت له حسنة كاملة

“Barang siapa yang
menginginkan keburukan namun ia belum melaksanakannya, maka ia akan ditulis
sebagai satu kebaikan penuh”. (HR. Bukhori dalam shahihnya: 6491, dan Muslim
207)

Jawaban kedua:

Bahwa Yusuf –‘alaihis salam-
tidak pernah mempunyai keinginan (untuk melakukan hal tersebut), bahkan
keinginan (bermaksiat) itu dihilangkan dengan datangnya tanda dari Tuhannya.

Sampai beliau mengatakan:
“Bahwa pendapat inilah yang dipilih oleh Abu Hassan dan yang lainnya, dan
yang paling sesuai dengan kaidah bahasa Arab”.

Kemudian beliau mulai
menyebutkan dalil-dalil dari pendapat yang beliau tarjih. Sesuai dengan
semua yang di kemukakan di atas bahwa maksud dari ayat di atas –wallahu
a’lam- adalah: “Bahwa Yusuf –‘alaihis salam- kalau saja tidak melihat tanda
dari Tuhannya maka ia pun mempunyai keinginan tersebut, namun ketika beliau
melihat tanda dari Tuhannya maka ia pun tidak mempunyai keinginan tersebut,
dan tidak pernah terbesit sedikit pun.

Demikian juga kalaupun beliau
hanya mempunyai keinginan saja namun belum dilakukan, maka hal tersebut
tidak dianggap kesalahan dan dosa.

Wallahu a’lam

Semoga shalawat dan salam
tetap tercurahkan kepada Nabi yang mulia.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android