Unduh
0 / 0
1009229/09/2003

Testemoni Pernikahan Dengan Wanita Ahli Kitab

Pertanyaan: 45645

Apakah dibenarkan bagi seorang muslim untuk menikahi wanita nasrani atau yahudi, sebagaimana Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menikahi Mariah al Qibthiyah ?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Nabi –shallallahu ‘alaihi wa
sallam- tidak menikahi Mariyah al Qibthiyah, akan tetapi dia sebagai
pembantunya (budak wanita) yang diberikan sebagai hadiah dari Raja Mesir
(Muqauqis) setelah perjanjian Hudaibiyah.

Seorang amah (budak wanita)
dibolehkan untuk menggaulinya meskipun ia bukan seorang muslimah, karena ia
sebagai budak yang dimiliki, Allah –ta’ala- telah menghalalkan budak tanpa
ada syarat sebagai seorang muslimah, Allah berfirman:

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُون* إِلا عَلَى
أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
) سورة المؤمنون/5-6

“Dan orang-orang yang menjaga
kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka
miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela”. (QS. Al
Mukminun: 5-6)

Adapun menikah dengan wanita
nasrani atau yahudi, hal tersebut dibolehkan oleh al Qur’an dalam ayat
berikut ini:

(
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ
الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ
قَبْلِكُمْ إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ
مُسَافِحِينَ وَلا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ ) المائدة / 5
.

“Pada hari ini dihalalkan
bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab
itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan
mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita
yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik”. (QS. Al Maidah: 5)

Ibnu Qayyim –rahimahullah-
berkata:

“Menikahi wanita ahli kitab
dibolehkan dengan nash al Qur’an, Allah –ta’ala- berfirman:

والمحصنات من المؤمنات والمحصنات من الذين أوتوا الكتاب من
قبلكم

“(Dan dihalalkan mengawini)
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman
dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi
Al Kitab sebelum kamu…”. (QS. Al Maidah: 5)

Al Muhshanat dalam ayat di
atas adalah wanita-wanita yang menjaga kehormatan dirinya, sedangkan al
Muhshanat dalam surat an Nisa’ adalah wanita-wanita yang telah menikah.
Dikatakan dalam sebuah pendapat bahwa al Muhshanat yang dibolehkan adalah
mereka yang merdeka, oleh karenanya tidak dibolehkan menikahi budak wanita
dari ahli kitab, namun pendapat yang benar adalah yang pertama karena
beberapa sebab”. Beliau telah menyebutkan beberapa sebab tersebut.

Maksud dari ayat di atas
adalah bahwa Allah –subhanahu wa ta’ala- telah menghalalkan bagi kita wanita
ahli kitab yang menjaga kehormatan dirinya, yang demikian juga telah
dilakukan oleh para sahabat Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Utsman
telah menikah dengan wanita nasrani, Thalhah bin Ubaidillah juga telah
menikahi nasrani, Hudzaifah juga telah menikahi wanita yahudi.

Abdullah bin Ahmad berkata:
“Saya telah bertanya kepada bapak saya tentang seorang muslim yang menikahi
wanita nasrani atau wanita yahudi, beliau menjawab: “Saya tidak menyukai
jika ia melakukannya, dan jika ia melakukannya sebagian para sahabat Nabi
–shallallahu ‘alaihi wasallam- juga telah melakukannya”. (Ahkam Ahli
Dzimmah: 2/794-795)

Meskipun kami  berpendapat
membolehkan dan kami tidak meragukan hal itu karena ada nash yang jelas,
namun kami tidak menyarankan seorang muslim menikahi wanita ahli kitab,
dengan beberapa pertimbangan:

1.
Diantara syarat bolehnya menikah dengan wanita ahli kitab adalah mampu
menjaga kehormatan dirinya, dan sangat sedikit di antara mereka yang mampu
menjaga kehormatannya.

2.
Diantara syarat yang lain adalah wali nikahnya adalah seorang muslim, namun
realitanya pada zaman sekarang bahwa bagi siapa saja yang menikah di negara
kafir, maka ia pun menikahi wanitanya sesuai dengan undang-undang yang
berlaku di negara tersebut, mereka pun memaksakan undang-undang yang banyak
mengandung unsur kedzaiman diberlakukan kepadanya. Mereka pun tidak mengakui
perwalian seorang muslim pada istri dan anak-anaknya. Jika sang istri
(wanita ahli kitab) sedang marah kepada suaminya, ia pun merusak rumah
tangganya dan mengambil hak asuh anak-anaknya dengan undang-undang yang
berlaku di negaranya dengan bantuan kedutaan besarnya di semua negara, dan
tentu kita tidak berdaya menghadapi negara dan kedutaannya yang ada di
nagara-negara kaum muslimin.  

3.Bahwa
Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- memotivasi kita semua dengan wanita
muslimah yang taat beragama. Meskipun seorang muslimah namun tidak taat
beragama tidak dianjurkan untuk dinikahi; karena pernikahan bukan hanya
sekedar menikmatinya dengan jima’ saja, akan tetapi untuk menjaga hak Allah
dan hak suami, menjaga rumah, kehormatan dan hartanya, mendidik
anak-anaknya, maka bagaimana seseorang yang menikahi wanita ahli kitab akan
merasa aman dalam hal pendidikan agama putra-putrinya; karena mereka berada
di bawah asuhan seorang ibu yang tidak beriman kepada Allah bahkan
mensekutukan-Nya dengan sesuatu ??

Oleh karena itu, meskipun
kami perpendapat bahwa dibolehkan menikahi wanita ahli kitab, namun hal
tersebut tidak dianjurkan dan tidak baik; karena menyebabkan dampak negatif,
maka wajib bagi seorang muslim yang berakal agar memilih dimana ia akan
menanam benihnya, dan melihat jauh ke depan  tentang keadaan anak-anaknya
dan agama mereka, dan jangan sampai ia dibutakan oleh syahwat belaka yang
menghancurkan atau kemaslahatan duniawi sesaat atau kecantikan fisik yang
menipu, karena kecantikan sesungguhnya adalah kecantikan agama dan akhlak.

Dan perlu diketahui, jika ia
meninggalkan pernikahan tersebut karena mengharap keutamaan dalam agamanya
dan agama anak-anaknya, maka Allah akan mengganti yang lebih baik, karena
barang siapa yang meninggalkan sesuatu kerena Allah, maka Allah akan
mengganti yang lebih baik darinya, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh
yang manusia yang jujur dan dipercaya yang tidak mengucapkan sesuatu
berdasarkan hawa nafsunya –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Hanya Allah
sebagai pemberi taufiq dan petunjuk pada jalan yang lurus.

Baca juga jawaban soal nomor:
2527

Wallahu a’lam
.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android