Saya mendengar ada pendapat kesepakatan semua umat (ijmak) bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam termasuk mahram bagi semua wanita muslimah, sebagaimana Allah perintahkan dalam Al-Qur’an:
لا يحل لك النساء من بعد ولا أن تبدل بهن من أزواج ولو أعجبك حسنهن (سورة الأحزاب: 52)
“Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan isteri-isteri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu..” (HR. Al-Ahzab: 52)
Dari sini, Allah telah menetapkan keharaman semua wanita, apakah hal itu menjadikan mereka sebagai mahram? Maksudnya dibolehkan membuka aurat di hadapannya, sebagaimana halnya seorang mahram wanita mahram seperti halnya para isterinya yang pertama sebelum itu. Ataukah Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam setelah masalah ini (dibolehkan) menginap di rumah-rumah kaum muslimin karena dia sebagai mahram bagi para wanitanya?
Diantara Kekhususan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam, Dibolehkannya Berduaan Dengan Wanita Asing dan Melihatnya
Pertanyaan: 45696
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Kebanyakan dari ahli ilmu berpendapat bahwa di antara kekhususan Nabi sallallahu alaihis salam adalah dibolehkan berduaan dengan wanita umatnya, melihatnya dan memboncengnya di belakang kendaraan.
Al-Khatabi Al-Maliki mengatakan, “Di antara kekhususan Nabi sallallahu alaihi wa sallalm dibolehkannya berduaan dengan wanita asing, sebagaimana dinukil dari Damamini dalam ‘Khasyiyahnya (catatan kaki) atas kitab Shahih Bukhari, di permulaan kitab Jihad saat Nabi sallallahu alaihi wa sallalm menemui Ummu Haram binti Milhan.
Syekh Jalaluddin di kitab ‘Al-Mubahat’ mengatakan, “Dikhususkan bagi Nabi sallallahu alaihi wa sallam kebolehan melihat wanita asing dan berduaan dengannya serta memboncengnya.” (Mawahib Al-Jalil, 3/402)
Bujairami As-Syafi’i dalam Hasyiyah Ala al-Khatib, mengatakan, “Adapun beliau (Nabi) sallallahu alaihi wa sallam diberi kekhususan dengan dibolehkan melihat wanita asing, berduaan dan membonceng di belakang kendaraan. Karena beliau aman dan terlindung (dari melakukan dosa). Inilah adalah jawaban yang benar dalam cerita Ummu Haram waktu beliau masuk dan tidur di rumahnya dan mengeluarkan kepalanya sementara di antara keduanya tidak ada mahram dan hubungan suami istri. Adapun jawaban bahwa dia adalah mahram sepersusuan, Ad-Dimyati telah menjawab bahwa hal itu tidak ada ketetapanya.” (Hasyiyah Bujairami, 3/372)
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam penjelasan hadits Robi binti Mu’awwid bin Afrak berkata:
جَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَخَلَ حِينَ بُنِيَ عَلَيَّ فَجَلَسَ عَلَى فِرَاشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي فَجَعَلَتْ جُوَيْرِيَاتٌ لَنَا يَضْرِبْنَ بِالدُّفِّ وَيَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ آبَائِي يَوْمَ بَدْرٍ إِذْ قَالَتْ إِحْدَاهُنَّ وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ فَقَالَ: دَعِي هَذِهِ وَقُولِي بِالَّذِي كُنْتِ تَقُولِينَ (رواه البخاري، رقم 4750)
“Nabi sallallahu’alaihi wa sallam datang, lalu beliau masuk ketika dihari aku akan digauli. Kemudian dia duduk di ranjangku seperti tempat dudukmu dari diriku. Lalu para budak wanita kami mulai memukul rebana dan bersyair dengan menyebut orang yang dibunuh dari bapak-bapak kami waktu perang Badar. Salah satu diantara mereka mengatakan, “Di antara kami ada nabi yang mengetahui besok. Beliau mengatakan, “Tinggalkan itu dan katakan sebagaimana kamu katakan tadi.” (HR. Bukhari, no. 4750)
Al-Hafiz mengatakan, “Yang Nampak bagi kami sesuai dengan dalil yang kuat bahwa di antara kekhususan Nabi sallallahu’alaihi wa sallalm dibolehkan berduaan dengan wanita asing dan melihatnya. Dan ini adalah jawaban yang benar terkait kisah Ummu Haram binti Milhan ketika beliau masuk tidur di rumahnya dan mengeluarkan kepalanya. Sementara diantara beliau berdua tidak ada mahram dan hubungan suami istri.” (Fathul Bari, 9/203)
Kebanyakan para ulama memilih pendapat bahwa Ummu Haram adalah termasuk mahram Nabi sallallahu alaihi wa sallam, bahkan imam Nawawi mengutip pendapat para ulama bahwa telah terjadi kesepakatan semua.
Dalam kitab Mathalib Ulin Nuha, 5/34 –kitab Hambali- dikatakan, “Beliau dibolehkan membonceng wanita asing berdasarkan kisah Asma. Diriwayatkan oleh Abu Dawud tentang wanita dari Gifar, bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam memboncengnya di atas sekedup belakang unta dan dibolehkan berduaan dengan wanita asing berdasarkan kisah Ummu Haram.”
Hadits Asma yang disebutkan tadi diriwayakan oleh Bukhori, no. 4823 dan Muslim, no. 4050 dari Asma binti Abu Bakar radhiallahu anha, dia berkata:
كُنْتُ أَنْقُلُ النَّوَى مِنْ أَرْضِ الزُّبَيْرِ الَّتِي أَقْطَعَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رَأْسِي وَهِيَ مِنِّي عَلَى ثُلُثَيْ فَرْسَخٍ ( والفرسخ ثلاثة أميال ) فَجِئْتُ يَوْمًا وَالنَّوَى عَلَى رَأْسِي فَلَقِيتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَهُ نَفَرٌ مِنْ الْأَنْصَارِ فَدَعَانِي ثُمَّ قَالَ إِخْ إِخْ ( كلمة تقال للبعير لمن أراد أن ينيخه ) لِيَحْمِلَنِي خَلْفَهُ فَاسْتَحْيَيْتُ أَنْ أَسِيرَ مَعَ الرِّجَالِ وَذَكَرْتُ الزُّبَيْرَ وَغَيْرَتَهُ وَكَانَ أَغْيَرَ النَّاسِ فَعَرَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي قَدْ اسْتَحْيَيْتُ فَمَضَى فَجِئْتُ الزُّبَيْرَ فَقُلْتُ لَقِيَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى رَأْسِي النَّوَى وَمَعَهُ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِهِ فَأَنَاخَ لِأَرْكَبَ فَاسْتَحْيَيْتُ مِنْهُ وَعَرَفْتُ غَيْرَتَكَ فَقَالَ وَاللَّهِ لَحَمْلُكِ النَّوَى كَانَ أَشَدَّ عَلَيَّ مِنْ رُكُوبِكِ مَعَهُ قَالَتْ حَتَّى أَرْسَلَ إِلَيَّ أَبُو بَكْرٍ بَعْدَ ذَلِكَ بِخَادِمٍ تَكْفِينِي سِيَاسَةَ الْفَرَسِ فَكَأَنَّمَا أَعْتَقَنِي .
“Dahulu saya memindahkan biji bijian dari tanah Zubair yang dibagikan Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam untukku. Jaraknya dua pertiga farsakh (farsakh itu tiga mil). Suatu hari saya berjalan sementara biji-bijian ada di kepalaku dan saya bertemu Rasulullah sallahu alaihi wa sallam. Bersama beliau beberapa orang dari Anshor. Kemudian beliau memanggilkan dan mengatakan hus hus (ucapan yang biasa dikatakan untuk menundukkan unta) untuk membawaku dibelakangnya. Tetapi saya malu berjalan bersama para lelaki. Dan saya ingat Zubair serta kecemburuannya, karena beliau termasuk orang pencemburu. Maka Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam mengerti bahwa saya malu. Kemudian beliau melanjutkan perjalanan. Kemudian saya mendatangi Zubair dan menceritakan bahwa saya bertemu Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam sementara biji-bijian ada di kepalaku dan bersama Rasulullah beberapa orang shahabat. Kemudian beliau meminggirkan untanya agar saya naik, akan tetapi saya malu dan saya tahu kecemburuanmu. Maka (Zubair) mengatakan, “Demi Allah, (kecemburuanku) lebih besar kamu membawa biji-bijian dibandingkan kamu berboncengan bersama beliau. (Asma) mengatakan, ”Akhirnya Abu Bakar setelah itu mengirim pembantu yang cukup untuk merawat kuda, maka seakan-akan saya telah terbebaskan.”
Sementara hadits wanita dari Gifar, telah diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 313, dari wanita Bani Gifar berkata,
أَرْدَفَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى حَقِيبَةِ رَحْلِهِ . . . الحديث . ضعفه الألباني في ضعيف أبي داود
“Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallalm memboncengku di atas sekedup belakang unta.” Alhadits, Al-Albany melemahkannya dalam kitab Dhaif Abu Daud)
Kata ‘والرحل’ sesuatu yang ditaruh di atas unta (semacam sekedup) dan ‘حقيبة الرحل’ adalah tambahan yang ditaruh di belakang unta.
Masalah ini para ulama belum sepakat. Bahkan sebagian di antara mereka dengan jelas berbeda dengan ini. Al-Iraqi mengatakan dalam kitab Tharkhut Tatsrib, 5/167, terkait masuknya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallamm menemui Dhibaah binti Zubair, “Masuknya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam kepada Dhiba’ah untuk membesuk, berziarah dan silaturahim, karena dia adalah kerabatnya seperti tadi. Di dalamnya ada penjelasan akan ketawadhuan, silaturahim dan perhatian beliau sallallahu alaihi wa sallam. Hal itu dimungkinkan dan berduaan (khalawat) di sana tidak terjadi. Karena beliau sallallahu alaihi wa sallam tidak pernah berduaan dengan wanita asing dan tidak pernah menyalaminya. Jika hal itu terjadi, tidak mungkin merusak karena beliau terpelihara (maksum). Akan tetapi mereka tidak memasukkan hal itu sebagai kekhususan beliau, karena beliau seperti yang lainnya dalam perkaara yang diharamkan.”
Wallahu a’lam .
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam