Unduh
0 / 0

Apakah Mungkin Manusia dan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- Melihat Malaikat Dengan Mata Kepala dan Sadar

Pertanyaan: 70364

Ketika kami turun ke jalan untuk mendukung perjuangan rakyat Palestina dan Irak melawan penjajahan Israel dan Amerika, saya mendengar rekan-rekan berkata bahwa sebagian mereka melihat malaikat Jibril dan Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- turun dari langit ditemani banyak malaikat yang lain untuk mendukung aksi yang kami lakukan. Apakah persaksian tersebut –yang kemungkinan ada benarnya- kita wajib membenarkannya, kalau tidak maka kami terkena dosa berburuk sangka terhadap saudara-saudara seiman kami ?, adapun saya secara pribadi, tidak bisa mempercayainya; karena para sahabat yang ikut perang badar, dan sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga belum pernah melihat malaikat dengan mata kepala, juga belum melihat malaikat Jibril. Apakah kita boleh mengatakan itu adalah tipuan penglihatan ?, yaitu; khayalan melihat sesuatu sampai menjadi benar yang bisa diterima akal dan dilihat oleh mata ?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama:

Telah dijelaskan sebelumnya pada jawaban soal nomor:
11469, tentang hukum demonstrasi (unjuk rasa), maka
silahkan anda melihatnya.

Kedua:

Tidak selayaknya shalawat dan salam kepada Rasulullah
–shallallahu ‘alaihi wa sallam- disingkat dengan huruf:

ص (Shad), atau dengan kata:

صلعم (Shal’am). Sebenarnya
seseorang yang mampu bertanya dengan sepanjang pertanyaan di atas, sangat
mampu menulis shalawat dan salam dengan lengkap.

Dan telah dijelaskan sebelumnya hukum penulisan singkatan
shalawat dan salam, pada jawaban soal nomor: 47976,
maka silahkan anda melihatnya.

Ketiga:

Malaikat itu diciptakan dari cahaya, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim (29996). Dan tidak mungkin seseorang mengklaim
bahwa dirinya telah melihat malaikat dengan wujud sebenarnya kecuali kalau
ia seorang Nabi yang harus dibenarkan perkataannya. Namun apabila malaikat
setelah berubah wujud menjadi sosok manusia tertentu, maka hal itu
kemungkinan bisa dilihat oleh manusia secara umum. Banyak hadits Nabi yang
menjelaskan tentang masalah tersebut, baik pada umat ini atau pada umat
sebelumnya.

Jika Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang sudah
disempurnakan akal dan agamanya saja tidak sanggup melihat Jibril –alaihis
salam- dengan wujud sebenarnya sesuai dengan yang diciptakan Allah. Maka
bagaimana mereka mampu melihatnya…!? Ini jika kita anggap benar-benar
melihatnya.

Syeikh Umar al Asyqar berkata:

“Dan jika malaikat itu berbentuk cahaya yang lembut, maka
manusia tidak akan bisa melihatnya. Allah –Ta’ala- juga tidak memberikan
kemampuan pada mata kita untuk meihatnya. Dan tidak ada yang pernah melihat
malaikat Jibril pada wujud sebenarnya dari umat ini kecuali Rasulullah
–shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Beliau melihat malaikat Jibril pada wujud
sebenarnya sebanyak dua kali. Telah banyak dalil yang menunjukkan bahwa
manusia akan mampu melihat malaikat setelah mereka berubah wujud menjadi
sosok manusia”. (Alamul Malaikat al Abrar, hal: 11)

Beliau juga mengatakan dalam konteks penetapan sifat
manusiawinya para Rasul, dan penolakan bagi mereka yang mengusulkan para
Rasul itu dari malaikat.

“Keempat: Sulitnya melihat malaikat, orang-orang kafir ketika
mengusulkan untuk melihat malaikat, dan para Rasul yang diutus adalah dari
malaikat, mereka tidak mengetahui karakter dan tabiat para malaikat, dan
tidak mengetahui sejauh mana tingkat kesulitan yang akan mereka hadapi kalau
para Rasul itu adalah dari para malaikat.

Menghubungi atau melihat para malaikat itu bukan perkara
mudah, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- saja sebagai sebaik-baik
makhluk, yang memiliki kekuatan fisik dan mental, ketika melihat malaikat
Jibril pada wujud sebenarnya mengalami ketakutan yang dahsyat, dan kembali
ke rumahnya dengan hati yang gemetar. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa
sallam- mengalami kondisi yang berat ketika menerima wahyu. Oleh karenanya
Allah berfirman menolak pernyataan mereka:

( يومَ يروْنَ الملائكةَ لا بُشرى يومئذٍ للمُجرمين
(

الفرقان/22

“Pada hari mereka melihat malaikat, di hari itu tidak ada
kabar gembira bagi orang-orang yang berdosa”. (QS. Al Furqan: 22)

Hal tersebut karena orang-orang kafir tidak melihat malaikat
kecuali ketika meninggal dunia, atau ketika disiksa, kalau seandainya mereka
melihat malaikat pada hari itu adalah hari binasanya mereka.

Maka diutusnya para Rasul dari jenis manusia sendiri adalah
perkara penting, hingga memungkinkan untuk berkomunikasi langsung dengan
mereka, dan memahami apa yang mereka jelaskan. Jika para Rasul dari bangsa
malaikat maka hal itu akan sulit dilakukan.

)ومَا
مَنَعَ النَّاس أنْ يؤمنوا إذ جاءَهُم الهُدى إلاّ أنْ قالوا أبَعَثَ اللهُ
بشراً رسُولاً . قُلْ لو كان في الأرضِ ملائكةٌ يمشون مطمئنينَ لنزّلنا عليهم
من السّماء ملكاً رسُولاً
(

الإسراء/94، 95

“Dan tidak ada sesuatupun yang menghalangi manusia dari
beriman, ketika petunjuk telah datang kepada mereka, dan memohon ampun
kepada Tuhannya, kecuali (keinginan menanti) datangnya hukum (Allah yang
telah berlaku pada) umat-umat yang dahulu atau datangnya azab atas mereka
dengan nyata”. (QS. Al Isra’: 94-95)

Karena penghuni bumi itu adalah manusia, maka merupakan
rahmat dan hikmah Allah menghendaki bahwa para Rasul itu juga dari bangsa
manusia. Allah berfirman:

( لَقَدْ مَنَّ اللهُ على المؤمنينَ إذْ بعثَ فيهم رسُولاً من
أنفسِهِم
(

آل عمران/164

.

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang
beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan
mereka sendiri…”. (QS. Ali Imran: 164)

Jika manusia tidak mampu melihat malaikat, dan tidak bisa
bertalaqqi kepada mereka dengan mudah, maka jika seandainya Allah
menghendaki para Rasul itu dari bangsa melaikat, maka yang diutus adalah
Allah jadikan mereka laki-laki, sebagaimana firman-Nya:

 )ولَوْ
جَعَلْناهُ مَلَكاً لجعلناهُ رَجُلاً ولَلَبسْنا عليهم ما يلبِسون
(

الأنعام/9

.

“Dan kalau Kami jadikan rasul itu (dari) malaikat, tentulah
Kami jadikan dia berupa laki-laki dan (jika Kami jadikan dia berupa
laki-Iaki), Kami pun akan jadikan mereka tetap ragu sebagaimana kini mereka
ragu”. (QS. Al An’am: 9)

Kalau yang terjadi sebagaimana yang digambarkan ayat di atas,
maka sulit untuk membedakan mana malaikat dan mana yang orang laki-laki.
Jika yang terjadi demikian maka tidak ada gunanya diutusnya para malaikat
untuk menjadi Rasul bagi manusia, dan tidak akan mencapai tujuan diutusnya
para Rasul; karena para Rasul dari bangsa malaikat tidak bisa merasakan
sesuai dengan perasaan manusia, karakter dan tipologi mereka meskipun mereka
berubah wujud sebagai manusia. (Ar Rusul war Risaalaat: 72-73)

Keempat:

Adapun kemampuan manusia melihat Rasulullah –shallallahu
‘alaihi wa sallam- dalam keadaan sadar merupakan pendapat Shufiyah, tidak
ada dasarnya dalam syari’at, dan tidak ada realitanya. Telah terjadi
beberapa kejadian besar setelah wafatnya beliau –shallallahu ‘alaihi wa
sallam- yang sangat membutuhkan keberadaan Rasulullah di tengah-tengah
mereka, kenapa beliau tidak menampakkan diri ?, dan mereka juga tidak
melihat beliau, padahal beliau adalah seorang yang paling mereka cintai, dan
mereka adalah yang paling dicintai oleh beliau ?

 Adapun sebagian mereka berdalil dengan sebuah hadits dalam
shahihain dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

( من رآني في المنام فسيراني في اليقظة )

“Barang siapa yang melihatku dalam mimpi, maka ia akan
melihatku dalam keadaan sadar”.

Adanya kemungkinan melihat beliau –shallallahu ‘alaihi wa
sallam- dalam keadaan sadar. Hal ini tidak berarti menguatkan pendapat
mereka. Tapi merupakan bentuk kabar gembira bagi seseorang yang melihat
beliau dalam mimpi, maka ia akan melihatnya di surga, bukan berarti dia akan
melihat beliau dalam keadaan sadar di dunia.

Al Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata: “Sebagian
orang-orang shaleh, melakukan kesalahan dengan menganggap bahwa melihat
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-  dengan mata kepala itu pernah
terjadi”. (Fathul Baari: 12/384)

Imam Nawawi –rahimahullah- berkata terkait dengan makna
hadits Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- : “….Maka ia akan melihatku
dalam keadaan sadar”, ada bebarapa pendapat:

1.Yang dimaksud
adalah generasi pada zaman beliau, artinya; bahwa barang siapa yang melihat
beliau dalam mimpi dan belum berhijrah, maka Allah akan memberi taufiq
kepadanya untuk bisa berhijrah dan melihat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi
wa sallam- dengan sadar dan dengan mata kepala.

2.Pembuktian
melihat beliau dalam keadaan sadar adalah di akherat; karena semua umatnya
akan melihat beliau di akherat.

3.yang dimaksud
adalah nanti di akherat dengan penglihatan secara khusus karena dekat dengan
beliau dan mendapatkan syafa’at beliau.

(Syarh Muslim: 15/26)

Apa yang disebutkan Imam Nawawi pada pendapat pertama tidak
bertentangan dengan pendapat oleh Ibnu Hajar; karena Imam Nawawi menyebutkan
bahwa yang dimaksud adalah mereka yang berada pada masa hidup beliau
–shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan pendapat al Hafidz Ibnu Hajar adalah
mereka yang mengklaim melihat Rasul dengan sadar setelah beliau meninggal
dunia.

Abul Abbas al Qurthubi berkata sebagai bentuk penolakan
beliau bagi siapa saja yang mengaku melihat/bermimpi beliau –shallallahu
‘alaihi wa sallam- dengan sadar:

“Ini sungguh sangat sulit bisa diterima oleh akal sehat.
Kalaupun itu terjadi, maka seharusnya yang mereka lihat adalah kondisinya
sama dengan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika meninggal
dunia. Atau juga tidak mungkin ada dua orang yang melihat/bermimpi pada
waktu yang bersamaan, atau ada orang yang menganggap bahwa beliau sekarang
masih hidup, bisa keluar dari kubur, berjalan di pasar menyapa manusia dan
mereka bisa menyapa beliau. Jika hal itu terjadi berarti kuburan beliau
kosong tidak ada jasad beliau, maka para peziarah yang memberi salam di
hadapan kuburan beliau yang tidak ada isinya !?; karena bisa saja seseorang
melihatnya pada malam hari atau siang hari yang waktu tersebut pada dasarnya
saling berkaitan satu sama lain”. (Dinukil oleh al Hafidz Ibnu Hajar dalam
‘Fathul Baari’: 12/384)

Kalau saja semua itu benar, maka seseorang yang bermimpi
melihat beliau dengan sadar (jasad dan ruhnya) berarti ia termasuk golongan
para sahabat Rasul, dan gelar sahabat juga akan berlanjut sampai hari kiamat
!?

Al Hafidz Ibnu Hajar al ‘Asqalani menyebutkan bahwa Ibnu Abi
Jamrah menukil dari kalangan Shufi: “Bahwa mereka bermimpi bertemu
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- , kemudian mereka melihat beliau
setelah bangun tidur dan dalam keadaan sadar, dan mereka bertanya tentang
sesuatu yang sebelumnya mereka merasa takut karena masalahnya belum jelas,
maka beliau memberi petunjuk dan jalan keluar dari setiap masalah tersebut”.
Lalu al Hafidz berkata:

“Kalau ini terjadi, maka permasalahannya menjadi sangat
rumit, kalau dibawa ke makna dzahir, berarti mereka adalah sahabat beliau;
gelar sahabat Rasul akan berlanjut sampai hari kiamat !?, ini juga sulit
diterima, ketika banyak orang yang melihat beliau dalam mimpinya, lalu salah
seorang dari mereka mengaku tidak melihat beliau dalam keadaan sadar. Berita
seseorang yang jujur tidak boleh diabaikan. (Fathul Baari: 12/385)

Ulama Lajnah Daimah ketika membantah aqidah tijaniyah
berkata:

“Tidak ada satupun dari kalangan Khulafa’ Rasyidin dan semua
para sahabat –radhiyallahu ‘anhum- yang mengaku bahwa mereka melihat
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan sadar, padahal mereka
adalah sebaik-baik makhluk setelah para Nabi. Juga sudah diketahui bersama
bahwa agama Islam ini sudah sempurna semasa hidupnya beliau. Dan Allah telah
menyempurnakan agama umat ini, dan telah Allah cukupkan kepada mereka
nikmat-Nya sebelum Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- meninggal
dunia. Sebagaimana firman Allah –Ta’ala-:

( الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ
عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً
(

المائدة/3

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi
agama bagimu”. (QS al Maidah: 3)

Tidak diragukan lagi apa yang diklaim oleh Ahmad at Tijani
bahwa dirinya telah melihat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam
keadaan sadar dan berkomunikasi dengan beliau. Dan bahwa beliau
mengkhususkan dzikir dan wirid tertentu untuk mengingat Allah dan
bershalawat kepada Rasul-Nya. Ini jelas sebuah kedustaan dan kesesatan yang
nyata”. (Fatawa Lajnah Daimah: 2/325-326)

Mereka juga berkata:

“Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- meninggal dunia
setelah menyampaikan amanah Allah, dan telah Allah sempurnakan agama-Nya,
dan tidak ada alasan bagi semua untuk tidak beriman. Para sahabat beliau
–radhiyallahu ‘anhum- menshalatkan jenazah beliau dan menguburkannya di
kamar ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-. Lalu pada masa Khulafa’ Rasyidin telah
terjadi banyak kejadian besar yang menimpa mereka, dan mereka pun
menyelesaikannya dengan ijtihad mereka, dan tidak mengembalikan kepada
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Barang siapa setelah itu ada
orang yang mengaku melihat Rasul dalam keadaan sadar, dan mengklaim beliau
masih hidup, berbicara, atau mendengarkan sabdanya sebelum hari kebangkitan,
maka semua itu adalah bathil; karena bertentangan dalil-dalil syar’i,
realita dan sunnatullah pada makhluk-Nya. Hadits di atas bukan berarti yang
bermimpi melihat Rasulullah akan melihat sosok Rasulullah –shallallahu
‘alaihi wa sallam- dengan sadar di dunia. Karena ada kemungkinan bahwa
maksudnya adalah akan melihat beliau pada hari kiamat, juga ada kemungkinan
akan melihat beliau dengan takwil; hal ini disebabkan mimpi melihat beliau
itu benar berdasarkan dalil-dalil yang lain, di antaranya sabda Rasulullah
–shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

” فقد رآني ” الحديث

“….Maka ia akan melihatku”. (al Hadits)

Bisa jadi seseorang bermimpi melihat beliau, dan mimpinya itu
adalah benar, jika sesuai dengan sifat-sifat beliau –shallallahu ‘alaihi wa
sallam- semasa hidupnya di dunia. (Fatawa Lajnah Daimah: 1/486-487)

Kesimpulan:

Tidak boleh bagi seseorang setelah wafatnya para Nabi
–alaihimus salam- mengaku pernah melihat malaikat; karena dari sisi
penciptaan mereka adalah makhluk dari cahaya, oleh karenanya Allah
menjadikan manusia tidak mampu melihatnya, kecuali setelah mereka berubah
wujud.

Tidak boleh bagi seseorang mengaku dirinya pernah melihat
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam keadaan sadar. Khayalan ini
berasal dari mereka yang tidak memiliki ilmu syar’i dan tidak memiliki akal
fikiran yang matang sehingga menghayal dan menggambarkan sesuatu yang
sebenarnya tidak ada.

Wallahu a’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android