Unduh
0 / 0
808015/10/2005

MELAKUKAN SAFAR DI TENGAH BULAN RAMADAN KE NEGARA YANG BERBEDA DENGAN NEGARANYA DALAM BERPUASA, BAGAIMANA PUASANYA?

Pertanyaan: 71203

Kalau seorang muslim melakukan safar di saat bulan Ramadan ke negara lain, dan kadang negara yang dituju lebih lambat atau lebih cepat memulai puasa Ramadan dibanding negaranya. Sedangkan dia berada di negara itu sampai Id. Dengan negara mana dia berhari raya?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Kalau seseorang melakukan safar dari
negaranya ke negara yang berbeda mathla’ (tempat munculnya) hilal di antara
keduanya. Maka pedomannya dalam berpuasa dan berhari raya disesuaikan dengan
negara  tempat dia berada apabila telah ada ketetapan awal bulan. Akan
tetapi kalau menyebabkan hari-hari puasanya kurang dari dua puluh sembilan
hari, maka dia harus menyempurnakannya menjadi  dua puluh sembilan hari,
karena bulan hijriyah tidak mungkin kurang dari dua puluh sembilan hari.

Kaidah ini diambil dari sabda Nabi sallallahu
alaihi wa sallam: “Kalau kalian melihat (hilal Ramadan)  maka berpuasalah,
dan kalau kalian melihat (hilal Syawwal), maka berbukalah.”

Juga sabda beliau: “Sesungguhnya (bilangan)
bulan itu dua puluh sembilan, maka janganlah  kalian berpuasa sebelum
melihatnya (hilal) dan jangan berbuka (berhari raya) sebelum kalian
melihatnya.”

Juga berdasarkan hadits Kuraib, sesungguhnya
Ummul Al-Fadl mengutusnya menemui Muawiyah di negeri Syam. Dalam hadits
tersebut diriwayatkan bahwa Kuraib memberitahu Ibnu Abbas radhiallahu anhuma
bahwa orang-orang di negeri Syam melihat hilal Ramadan pada malam Jum’at.
Maka Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata: “Akan tetapi kami melihatnya
malam Sabtu, maka kami akan tetap  berpuasa hingga lengkap tiga puluh hari
atau kami melihatnya (hilal).” Kuraib berkata: “Tidakkah     cukup
berpatokan dengan penglihatan Muawiyah dan puasanya?” (Beliau) berkata:
“Tidak, beginilah Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam memerintahkan
kami.”

Contoh berikut dapat mejelaskan kaidah ini:

Contoh pertama.

Seseorang pindah dari negara yang penduduknya
berpuasa pada hari ahad ke negara yang penduduknya berpuasa pada hari sabtu.
Lalu mereka berhari raya setelah dua puluh  sembilan  hari puasa, maka
hendaknya dia behari raya bersama mereka dan harus mengqada satu hari
(karena berarti dirinya hanya berpuasa dua puluh delapan hari). 

Contoh kedua.

Seseorang pindah dari negara yang penduduknya
berpuasa pada hari Ahad ke negara yang  penduduknya berpuasa hari Senen.
Lalu mereka berhari raya pada hari Rabu setelah berpuasa  tiga puluh hari.
Maka hendaknya dia tetap berpuasa bersama mereka meskipun melebihi tiga
puluh hari. Karena dia berada di tempat yang belum melihat hilal, maka tidak
dihalalkan baginya berbuka.   Hal ini menyerupai orang yang safar dalam
kondisi puasa dari negara yang di sana matahari terbenam jam enam ke negara
yang disana matahari tidak terbenam kecuali pada jam tujuh. Maka tidak
dibolehkan baginya berbuka hingga matahari terbenam pada jam tujuh.
Berdasarkan firman Allah:

“Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu
campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan
Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (QS. Al-Baqarah :
187)

Contoh ketiga:

Seseorang pindah dari negara yang penduduk
berpuasa hari ahad ke negara yang penduduknya berpuasa hari senen. Mereka
berbuka hari selasa dengan dua puluh sembilan hari. Maka dia berbuka bersama
mereka. Sehingga mereka berpuasa dua puluh sembilan, sementara dia berpuasa
tiga puluh hari.

Contoh keempat:

Seseorang pindah dari negara yang penduduknya
berpuasa pada hari Ahad dan mereka berhari raya pada hari selasa setelah
berpuasa selama tiga puluh hari menuju negara yang penduduknya berpuasa pada
hari Ahad dan berhari raya pada hari Senen setelah berpuasa selama dua puluh
sembilan   hari, dan dia berhari raya bersama mereka. Maka dia tidak
diharuskan mengqada sehari, karena dia telah menyempurnakan dua puluh
sembilan hari.

Dalil wajibnya berbuka (berhari raya) pada
contoh pertama, karena dia telah melihat hilal. Sementara Nabi sallallahu
alaihi wa sallam bersabda: “Kalau kalian melihatnya (hilal Syawwal) maka
berbukalah.” Adapun dalil wajibnya qada sehari adalah sabda Nabi sallallahu
alaihi wa sallam: “Sesungguhnya (bilangan hari) sebulan adalah dua puluh
sembilan.” Maka tidak mungkin kurang dari dua puluh sembilan malam.

Adapun dalil kewajiban tetap berpuasa
(meskipun) lebih dari tiga puluh hari pada contoh kedua     adalah sabda
Nabi sallallahu alaihi wa sallam: “Kalau kalian melihat (hilal Syawwal) maka
berbukalah.”  (Dalam hadits ini) berbuka di hari raya dikaitkan dengan
melihat (hilal). Maka, selama dia belum melihatnya  hingga hari itu, maka
bulan Ramadan masih berlaku baginya di tempat itu, dan dengan demikian,
tidak dihalalkan baginya berbuka.

Sementara hukum pada contoh ketiga dan
keempat (sudah) jelas.

Ini yang kami kuatkan dalam masalah ini
berdasarkan dalil-dalil yang dibangun dengan pendapat yang kuat tentang
adanya perbedaan penetapan (awal bulan) karena adanya perbedaan mathla
(tempat  munculnya bulan sabit).

Sedangkan jika berpedoman dengan pendapat yang menyatakan bahwa  penetapan (awal bulan)  tidak dibedakan dengan hal tersebut (perbedaan mathla’), dan bahwa semua orang (dimanapun berada) diharuskan berpuasa atau berbuka apabila hilal telah terlihat secara syar’i, maka hukumnya berlaku  sesuai dengan ketetapan (penglihatan hilal). Akan tetapi hendaknya (seseorang yang berpedoman demikian) berpuasa atau berbuka secara diam-diam agar tidak tampak berbeda dengan (kebanyakan) orang.

Refrensi

Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin, 19/69

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android