Unduh
0 / 0
1203112/01/2007

Menolak Jadi Hakim

Pertanyaan: 95366

Mengapa banyak ulama yang menolak menjadi hakim padahal mereka memiliki kapasitas untuk itu. Apakah ada nash atau atsar dalam masalah ini?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama:

Kedudukan sebagai hakim
adalah kedudukan mulia. Di dalamnya terdapat keutamaan yang agung bagi siapa
yang kuat menunaikannya. Tugas ini telah ditunaikan para Nabi
alaihimussalam, para shahabat utama radhiallahu anhum, para pemuka tabiin
dan orang-orang sesudahnya. Dalam peradilan yang adil terdapat perintah pada
yang ma’ruf, mencegah yang munkar dan menolong orang yang dizalimi. 

Muhammad  Al-Khadami
rahimahullah berkata, “Ilmu tentang peradilan dari sisi ilmu merupkan ilmu
yang paling tinggi kedudukannya dan paling mulia. Tempatnya agung, tugas
para nabi. Dengannya darah dapat terlindungi dan ditumpahkan (dengan haq),
kehormatan dapat diharamkan atau dinikahi, harta dapat diserahkan ke
pemiliknya atau dirampas (dari yang tidak berhak), muamalah dapat diketahui
mana yang boleh, yang diharamkan, dimakruhkan dan disunahkan. Dalil tentang
ilmu peradilan tidak seperti yang lainnya,

وداود وسليمان إذ يحكمان في الحرث

“Dan (ingatlah kisah) Daud
dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman,.” SQ.
Al-Anbiya’: 78

Karenanya para rasul diutus,
langit dan bumi diciptakan dan masalah ini dijadikan sebagai nikmat yang
boleh kita iri terhadapnya,

لا حسد إلا في اثنتين رجل آتاه الله مالا فسلطه على هلكته في
الحق ، ورجل آتاه الله الحكمة فهو يقضي بها ويعمل بها

“Tidak boleh hasad kecuali
terhadap dua golongan; seseorang yang Allah berikan harta, lalu dia habiskan
hartanya di jalan yang benar. Dan seseorang yang Allah berikan hikmah lalu
dengan itu dia memutuskan dan mengamalkannya.”

Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu
anhu ia berkata,

لأن أقضي يوماً أحب إليَّ من عبادة سبعين سنة

“Aku mengadili sehari lebih
aku cintai daripada beribadah selama 70 tahun.”

Karena itu, menegakkan
keadilan di antara manusia merupakan amal kebaikan paling utama dan
peningkat derajat di akhirat, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وإن حكمت فاحكم بينهم بالقسط إن الله يحب المقسطين

“Dan jika kamu memutuskan
perkara mereka, Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil,
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.” SQ . Al-Maidah: 42

Apakah yang lebih mulia
selain dari kecintaan Allah Ta’ala?”

(Bariqah Mahmudiah Fi Syarhi
Thariqah Muhammadiyah Wa Syariah Nabawiah, 4/2-3)

Ibnu Qudamah rahimahullah
berkata, “Padanya terdapat keutamaan yang besar bagi siapa yang kuat
menunaikan tugas, melaksanakan kebenaran. Karena itu Allah berikan pahala
baginya walau terjadi kekeliruan dan Allah maafkan hukum yang salah. Karena
di dalamnya terdapat amar ma’ruf, membela yang dizalimi, menunaikan amanah
kepada yang berhak, menggetarkan orang zalim dari kezalimannya, mendamaikan
di antara orang, menyelesaikan urusan satu sama lain. Itu semua merupakan
pintu-pintu kebaikan. Karena itu tugas ini diemban Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam dan para nabi sebelumnya, mereka menetapkan hukum terhadap
umat mereka. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengutus Ali sebagai
hakim ke Yaman juga mengutus Muaz sebagai hakim.

Telah diriwayatkan dari Ibnu
Masud, sesungguhnya dia berkata, “Saya duduk sebagai qadhi di hadapan dua
orang, lebih saya cintai dari beribadah selama 70 tahun.” (Al-Mughni,
11/376)

Karena tingginya kedudukan
dan keutamaannya, Allah memberikan pahala walau dia keliru dan Allah ampuni
keputusan hukumnya yang keliru. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,

إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران وإذا حكم فاجتهد فأخطأ
فله أجر  – متفق عليه –

“Kalau seorang hakim
memutuskan, dan berijtihad kemudian benar, maka dia mendapatkan dua pahala.
Kalau memutuskan, dan berijtihad kemudian salah, maka dia mendapatkan satu
pahala.” HR. Muttafaq’alaihi

Sesungguhnya dia diberikan
pahala karena kesungguhannya dan upayanya mengerahkan segala kemampuan,
bukan diberikan pahala atas kekeliruannya.

Kedua: Menduduki jabatan
hakim bisa menjadi wajib, dapat juga menjadi mubah, dapat juga diharamkan.
Diharamkan bagi orang yang tidak mengetahui hukum syariah untuk menerima
kedudukan ini, dibolehkan bagi mereka yang pandai dalam masalah peradilan
dan masih ada orang lain yang mampu melaksanakannya. Dan wajib bagi orang
yang memiliki kemampuan dan tidak ada oragn lain yang mengemban tugas
mengadili dan menetapkan hukum bagi manusia.

Ibnu Qudamah rahimahullah
berkata, “Manusia dalam masalah pengadilan ada tiga kelompok;

Pertama:

Ada yang tidak boleh memegang
jabatan hakim orang yang tidak memiliki ilmu tentangnya dan tidak terpenuhi
 padanya syarat-syarat.

Diriwayatkan dari Nabi
shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Hakim itu ada tiga.” Lalu
disebutkan di antaranya, “Orang yang menetapkan hukum di antara manusia
tanpa ilmu, maka dia di neraka.” Karena orang yang tidak memiliki ilmunya,
dia tidak dapat berlaku adil, boleh jadi dia mengambil seseorang dan
diberikan kepada orang lain.

Kedua:

Di antara mereka ada yang
boleh mengembang tugas hakim, namun tidak diwajibkan. Yaitu apabila mereka
dikenal memiliki sifat takwa dan kemampuan berijtihad, sementara ada orang
lain yang memiliki kapasitas sama dengan dia. Maka dia boleh menduduki
jabatan hakim karena kondisi dan kemampuannya, namun tidak wajib baginya,
karena tuntutannya tidak berlaku bagi pribadinya sendiri. Zahir dari ucapan
Ahmad bahwa dia tidak dianjurkan masuk ke dalamnya, karena di dalamnya
mengandung bahaya dan tipudaya, meninggalkannya lebih selamat, karena di
dalamnya terdapat ancaman dan celaan dan karena kebiasaan kaum salaf adalah
menghindar darinya.

Utsman radhiallahu anhu
pernah hendak mengangkat Ibnu Umar sebagai qadhi, namun dia menolaknya. Abu
Abdillah bin Hamid berkata, ‘Jika seseorang enggan dan tidak menjadi rujukan
dalam hukum serta tidak dikenal, maka lebih baik baginya mengambil jabatan
ini agar menjadi rujukan dalam hukum dan menunaikan yang haq serta kaum
muslimin mengambil manfaat darinya. Jika orang tersebut terkenal memiliki
ilmu dan menjadi rujukan dalam menebarkan ilmu dan fatwa, maka lebih baik
baginya menyibukkan dirinya dalam hal tersebut. Karena hal itulah yang
bermanfaat baginya dan terhindar dari keterpedayaan.

Hal senada juga dinyatakan
oleh para ulama dari kalangan mazhab Syafii, mereka juga berkata, “Jika dia
memiliki kebutuhan mencari pendapatan dari jabatan hakim, maka lebih utama
baginya menjabatnya. Karena pendapatan tersebut lebih utama dari pendapatan
lainnya, sebab di dalamnya terdapat ibadah dan ketaatan.

Ketiga:

Yang diwajibkan baginya.
Yaitu siapa yang mampu menjabat sebagai hakim dan tidak ada orang lain lagi
selainnya. Maka hal ini menjadi wajib baginya. Karena jabatan ini bersifat
fardhu kifayah, jika tidak orang lain yang mampu melaksanakannya, maka
menjadi wajib baginya. Sebagaimana halnya memandikan dan mengkafani jenazah.

Terdapat riwayat yang dikutip
dari Imam Ahmad yang menunjukkan bahwa hal itu tidak diwajibkan baginya.
Karena dia ditanya, ‘Apakah seorang hakim (yang menolak jabatan hakim) jika
tidak ada orang lagi selainnya?” Beliau menjawab, “Tidak berdosa.

Ungkapannya ini mengandung
pemahamanan bahwa beliau memahami nash secara zahir bahwa hal tersebut tidak
diwajibkan. Karena di dalamnya mengandung bahaya bagi jiwa, sehingga tidak
diwajibkan seseorang terhadap sesuatu yang berbahaya bagi dirinya hanya
untuk memberikan manfaat bagi orang lain. Karena itu, Abu Qulabah, tidak
bersedia menerima jabatan tersebut, padahal sudah dikatakan kepadanya tidak
ada orang lain selain dia. Juga dapat dipahami kemungkinan lain, yaitu tidak
wajib bagi mereka yang tidak dapat menunaikan kewajibannya karena kezaliman
penguasa atau selainnya. Sesungguhnya Ahmad berkata, ‘Harus ada hakim di
tengah masyarakat, akankah dibiarkan hak-hak masyarakat terbengkalai.”
(Al-Mughni, 11/376)

Sebagian ulama menetapkan
hukum yang lima dalam masalah jabatan hakim, yaitu haram, wajib, sunah,
makruh dan mubah (boleh).

Lihat ‘Mu’inul Hukkam Fiima
Yataraddaduhu Minal Ahkam’ Syekh Alaa’uddin Ath-Tharablisy, rahimahullah,
hal. 10. 

Ada ungkapan sebagian ulama
tentang peringatan menduduki jabatan hakim dan besarnya bahaya kedudukan
ini. Di antaranya;

1.Dari
Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu dia berkata, “Seandainya orang-orang
mengetahui apa yang terdapat dalam peradilan, maka mereka tidak akan berani
memutuskan walau (dalam kasus) seperdelapan kotoran hewan! Akan tetapi
manusia harus berurusan dengan peradilan dan kepemimpinan, apakah mereka
baik atau durhaka.” (Akhbarul Qudhaat, Abu Bakar Adh-Dhaby yang dijuluki
dengan ‘Waki’, hal. 21)

2. Dari
Ma’la bin Raubah dia berkata, “Berkata kepadaku Raja bin Haiwah, ‘Hari ini
penguasa mengangkat Abdullah bin Mauhib sebagai hakim. Seandainya aku boleh
memilih apakah aku memasukkannya ke lobang atau mengangkat Ibnu Mauhib
(sebagai hakim), niscaya akan memilih memasukkannya ke dalam lobang.’ Lalu
aku bertanya kepadanya, ‘Orang-orang mengatakan bahwa engkau menunjuknya.’
Dia berkata, ‘Kalian benar, karena aku memperhatikan kebutuhan orang banyak,
bukan cuma dia saja.” (Akhbarul Qudhat, hal. 23, 24)

3.Dari
Makhul dia berkata, “Aku maju ke
medan perang dan leherku
ditebas lebih aku sukai daripada aku menduduki jabatan hakim.

4.Dari
Rafi, sesungguhnya Umar bin Hubairah memanggilnya untuk menyerahkan jabatan
hakim. Maka dia berkata, ‘Aku tidak suka diberi jabatan hakim. Pagar masjid
kalian bagiku adalah emas.”

5.
Fudhail bin Iyadh berkata, “Jika seseorang menjabat sebagai hakim, maka
jadikan satu hari untuk pengadilan, satu hari untuk menangis.”

6.Dari
Ibnu Syubrummah, dia berkata, “Jangan engkau berani menjabat hakim sebelum
berani terhadap pedang.” (Akhbarul Qudhat, hal. 24)

Keempat:

Banyak para imam yang enggan
menerima tawaran jabatan hakim, bahkan sebagian mereka harus dipukul dan
dipenjara agar bersedia menerimanya, sebagian lainnya lari dari negerinya
agar tidak diserahkan jabatan hakim.

Keengganan mereka dapat
disebabkan dengan kesimpulan sebab-sebab berikut;

1.Dia
menganggap dirinya tidak layak menjabat sebagai hakim. Sebagaimana diketahui
bahwa jabatan kehakiman menuntut pandangan luas, kecerdasan. Maka sang ulama
tersebut memandang bahwa dirinya tidak memenuhi syarat tersebut.

Syekh Alaudin Ath-Tharablusi
rahimahullah berkata, “Sebagian imam berkata, “Slogan orang-orang bertakwa
adalah ‘lari dan menjauh dari hal ini (hakim)’ Sejumlah ulama panutan
menghindari hal ini dan bersabar disakiti (karena tidak bersedia menerima
jabatan tersebut).” 

Perhatikan kasus Abu Hanifa
rahimahullah ta’ala yang menolak dan bersabar menghadapi cobaan agar dia
selamat dari jabatan tersebut. Demikian pula para imam lainnya.

Ibnu Qulabah lari dari Mesir
saat dia diminta untuk menduduki jabatan hakim. Maka Abu Ayub menemuinya
agar dia suka menerimanya. Maka dia berkata, ‘Jika engkau teguh, maka engkau
akan mendapatkan pahala yang besar.’ Maka Abu Qulabah berkata kepadanya,
‘Orang yang tenggelam di laut, kapan dia akan berenang?!’

Ucapan Abu Qulabah ini dan
ucapan-ucapan senada sebelumnya yang bernada ancaman atau ketakutan berlaku
bagi mereka yang merasa dirinya lemah dan tidak dapat bebas dalam
melaksanakan tugasnya, demikian juga berlaku bagi mereka yang merasa mampu
melaksanakn tugas kehakiman namun orang-orang tidak melihatnya memiliki
kemampuan. 

Sebagian ulama berkata,
“Tidak ada kebaikan bagi orang yang merasa mampu dalam suatu tugas, namun
orang-orang berpendapat bahwa dia tidak layak.” Yang dimaksud ‘orang-orang’
di sini adalah para ulama. Maka menghindarnya orang-orang yang memiliki
sifat ini dari tugas kehakiman merupakan kewajiban dan upayanya menuntut
keselamatan dirinya merupakan perkara wajib. (Mu’in Al-Hukkam Fiimaa
Yataraddadu Bainal Khashmaini Minal Ahkam, hal. 9)

2.Dia
berpendapat bahwa dirinya tidak memiliki kewajiban, juga disunahkan. Bahkan
salah satu pendapat Imam Ahmad mengandung makna bahwa dia tetaplah tidak
diwajibkan menerima tugas kehakiman itu walaupun hanya dia andalannya dan
tidak ada orang selainnya.

3.
Karena di dalamnya terdapat bahaya menjatuhkan hukum tidak benar. Maka sang
ulama takut akan dirinya dengan menolak tawaran jabatan hakim karena itu.

Ibnu Qudamah rahimahullah
berkata, “Dunia peradilan sangat bahaya, dosanya besar bagi siapa yang tidak
menunaikan kebenaran di dalamnya. Karena itu, para ulama salaf sangat
menghindari jabatan tersebut.” (Al-Mughni, 11/376)

Disebutkan dalam Al-Mausuah
Al-Fiqhiyah, 33/289-290);

“Banyak kalangan salafushaleh
menghindari jabatan kehakiman, bahkan saking menghindarnya mereka
mendapatkan perlakun buruk. Hal tersebut karena takutnya mereka, sebagaimana
hal itu ditunjukkan oleh hadits yang banya yang didalamnya terdapat ancaman
bagi orang yang menduduki jabatan kehakiman namun tidak menunaikannya dengan
haq.

Seperti hadits,

إن الله مع القاضي ما لم يجر ، فإذا جار تخلى عنه ولزمه الشيطان
[ رواه الترمذي وابن ماجه ، وحسنه الألباني ] ـ ،

“Sesungguhnya Allah bersama
seorang hakim selama dia tidak zalim. Jika dia zalim, maka Allah tinggalkan
dan dia didekati setan.” (HR. Tirmizi, Ibnu Majah, dinyatakan hasan oleh
Al-Albany)

Juga hadits

من ولي القضاء أو جعل قاضياً فقد ذبح بغير سكّين [ رواه أبو
داود والترمذي وابن ماجه ، وصححه الألباني ]

Siapa yang menduduki jabatan
hakim, sungguh dia telah disembelih tanpa pisau.” (HR. Abu Daud,
Tirmizi,Ibnu Majah, dinyatakan shahih oleh Al-Albany)

Para hakim itu ada tiga; Dua
di neraka dan satu di surga. Hakim yang menetapkan hukum tidak benar dan dia
tahu itu, maka dia di neraka. Hakim yang tidak memiliki ilmu sehingga
menghilangkan hak-hak manusia, maka dia di neraka. Hakim yang memutuskan
dengan hak, maka dia di surge.” (HR. Tirmizi, 3/604, Hakim, no. 904 dari
hadits Buraidah. Redaksi berasal dari Tirmizi dan dinyatakan shahih oleh
Al-Hakim serta di setujui oleh Az-Zahabi) 

4.Tidak
mampu menanggung beban ujian peradilan.

Syekh Abul Hasan An-Nabhani
rahimahullah berkata, “Setelah jelas beratnya ujian peradilan, banyak
orang-orang mulia yang lari darinya menghindar dan meninggalkannya. Bahkan
ada yang dipenjara karena sebab ini, karena orang lain menolaknya (sedangkan
dia yang berkompeten menolaknya). Di antara mereka adalah Abu Hanifah, yaitu
Nu’man bin Tsabit, dipanggil oleh Umar bin Hubairah untuk menduduki jabatan
hakim. Namun beliau menolaknya, maka beliau dipenjara dan dicambuk selama
beberapa kali, setiap hari sepuluh cambukan. Namun beliau tetap menolaknya
dan akhirnya mereka meninggalkan menghukumnya.” (Tarikh Qudhat Al-Andalus,
hal. 7)

1.
Kesibukan mereka dengan perkara yang lebih penting, seperti kesibukan
melakukan perjalanan untuk mencari ilmu atau mengajarkannya.

Kesimpulannya; Jika para imam
mazhab yang empat menolaknya, namun para nabi alaihimussalam dan
Khulafaurrasyidin menerimanya. Bab wara’ itu luas bagi orang yang ingin
wara.”

Dalam Al-Mausuah Al-Fiqhiyah,
33/290) dikatakan, “Setelah Al-Mushtafa (Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam), para Khulafaurrasyidin mengemban jabatan qadhi (hakim), lalu para
pemuka Islam sesudahnya juga demikian dan mereka menetapkan hukum dengan
haq. Masuknya mereka dalam dunia peradilan menunjukkan kemampuan mereka dan
besarnya pahala mereka. Karena orang-orang yang datang sesudah mereka adalah
mengikuti langkah merka. Begitu seterusnya para tokoh tabiin dan
tabiittabiin mengemban jabatan tersebut. Adapun para ulama yang menolak
jabatan tersebut, padahal mereka meiliki kemuliaan, kelayakan dan sifat
wara, disimpulkan bahwa hal tersebut karena mereka sangat memelihara
keselamatan jiwa dan sebagai cara untuk mencari jalan keselamatan. Juga
dapat disimpulkan bahwa mereka khawatir jabatan tersebut akan mempersempit
upaya mereka untuk menuntut ilmu.”

Wallahua a’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android