Unduh
0 / 0
6826508/06/2007

HADITS TENTANG MEMBUJANG SEMUANYA BATIL

Pertanyaan: 96977

Saya ingin penjelasan tentang hadits-hadits berikut, apakah shahih? Diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda;

1- “Menikahlah, kalau tidak maka kalian adalah saudara-saudara setan.”

2- “Nikah adalah sunahku, siapa yang tidak menyukai sunahku, maka dia buka dari golonganku.”

3- “Orang mati yang paling rendah diantara kalian adalah para bujangan.”

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Jawab:

Pertama.

Terdapat
riwayat shahih dalam sunnah, anjuran dan dorongan
untuk menikah.Banyak
ayat atau hadits yang menguatkannya. Hal itu karena
pernikahan memiliki banyak
keutamaan dan kebaikan yang sangat tampak. Dalam situs
ini hal tersebut telah dijelaskan dengan rinci. Lihat
misalnya jawaban no. 5511, 34562.

Di antara hadits yang mendorong
pernikahan, terdapat dalam dua kitab Shahih; Shahih Bukhari, no. 5063 dan
Muslim, no. 1401.

Dari
Anas bin Malik, radhiallahu ‘anhu,
dia berkata, “Ada tiga orang datang ke rumah salah seorang isteri Nabi
shallallahu alaihi wa sallam. Mereka bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu
alaihi wa sallam. Maka ketika
diberitahu (tentang ibadahnya) mereka merasa ibadah mererka sangat sedikit.
Lalu mereka berkata, ‘Dimana kita dibanding Nabi shallallahu
alaihi wa sallam, padahal dia telah diampuni dosanya yang telah lalu dan
kemudian.’ Lalu yang lain berkata, ‘Saya akan
selalu shalat di malam hari selamanya.’ Yang lain
berkata, ‘Saya akan puasa sepanjang tahun tidak pernah berbuka.’ Yang lain berkata, ‘Saya akan tinggalkan isteri saya dan tidak
menikah lagi selamanya.’ Kemudian datanglah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada mereka, lalu berkata, ‘Kaliankah yang
berkata begini dan begini?! Ketahuilah, demi Allah, aku adalah orang yang
paling takut dan paling bertakwa di antara kalian, akan tetapi saya berpuasa
dan berbuka, shalat dan tidur serta menikahi wanita, siapa yang tidak suka
sunnahku, maka dia bukan golonganku.”

Akan
tetapi hadits ini sama sekali tidak layak dijadikan
dalil kecaman kepada para bujangan atau orang yang tidak menikah, kecuali kalau
dia meninggalkan pernikahan dan menganggapnya sebagai bentuk ibadah kepada
Allah dan mengira bahwa membujang lebih baik dari menikah. Maka ketika ini
berlakulah hadits ini baginya dan dia termasuk orang yang Nabi shallallahu alaihi
wa sallam berlepas diri darinya.

Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah Ta’ala
berkata dalam Fathul Bari,
9/105-106), “Yang dimaksud dengan ‘sunnah’ adalah jalan (ajaran), bukan
sunnah lawannya fardhu.
Sedangkan maksud tidak menyukai sesuatu adalah berpaling darinya.
Maka maksudnya, ‘Siapa yang keluar dari ajaran saya dan
beralih kepada ajaran selain saya, maka dia bukan golongan saya.’ Beliau memberi isyarat kepada ajaran rahbaniah
(kependetaan). Mereka mengada-ada dalam perkara yang
memberatkan sebagaimana Allah telah sifati mereka dan mencela mereka karena
mereka tidak konsisten dengan janji mereka. Ajaran Nabi shallallahu
alaihi wa sallam adalah jalan yang suci yang toleran,
dia mengajarkan seseorang untuk berbuka agar dirinya kuat berpuasa, mengajarkan
untuk tidur agar kuat bangun malam, serta mengajarkan umatnya untuk menikah
untuk mengendalikan syahwat dan menjaga kehormatan diri serta memperbanyak
keturunan.

Yang dimaksud ‘bukan golonganku’, jika
‘ketidaksukaan’nya bersumber dari penafsiran keliru karena ketidaktahuan, maka
maksudnya adalah bahwa sikap itu bukan jalanku. Tidak mesti orang
tersebut dikatakan telah keluar dari agama. Tapi jika
sikap ‘ketidaksukaan’ tersebut bersumber dari penentangan dan keras kepala yang
menyebabkan semangat melakukannya, maka maksud sabda beliau ‘bukan golonganku’
adalah ‘tidak berada dalam agamaku’. Karena keyakinan
seperti itu merupakan salah satu bentuk kekufuran.

Hadits ini menunjukkan keutamaan nikah
dan anjuran melaksanakannya.

Dengan demikian, jelas bahwa hadits ini
tidak menunjukkan kecaman hidup membujang secara mutlak. Khususnya jika
sebabnya adalah kondisi tertentu atau tidak ada keinginan menikah, atau karena
sakit, atau alasan-alasan lainnya. Maka bagaimana syariat akan mengecam
orang yangtidak
sepantasnya dikecam serta orang yang ditakdirkan tidak dapat berkumpul dengan
seorang isteri yang dapat saling mengasihi!!

Anehnya, sebagian pendusta ada yang
hendak menjawab mereka yang mencela hidup membujang secara mutlak. Maka mereka membuat-buat hadits-hadits
palsu untuk memuji kehidupan membujang dan mereka berdusta atas nama Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam masalah ini. Sehingga Ibnu Qoyyim berkata dalam kitab Al-Manar Al-Munif, hal.
177, “Hadits-hadits tentang pujian bagi orang yang
membujang semuanya tidak sah.”

Dari
sini anda akan tahu bahwa hadits yang mencela dan
memuji hidup membujang adalah tidak sah. Semua hadits yang di
dalamnya terdapat kecaman bagi hidup membujang dan mencela takdir yang ada
padanya, adalah hadits batil dan munkar. Para ulama telah mengumpulkan
hadits-hadits ini dan mempelajarinya, namun mereka tidak mendapatkan satu
hadits shahih pun di dalamnya.

Imam As-Sakhawi dalam Al-Maqashid
Al-Hasanah, 135, setelah dia menyebutkan sejumlah hadits tentang kecaman
terhadap hidup membujang, berkata, ‘Dan hadits-hadits serupa lainnya yang
semuanya lemah atau tidak jelas, akan tetapi tidak dapat dihukumi sebagai
hadits palsu.”

Hal serupa juga dikatakan oleh Al-Fatani
dalam ‘Tazkirot Maudu’at’, hal.
125.

Kedua:

Adapun hadits,
“Menikahlah, kalau tidak maka anda termasuk saudara setan” dan
hadits, “Seburuk-buruk orang yang mati di antara kalian adalah para
bujangan.”
Kedunya diriwayatkan dari Ukaf bin Wada’ah Al-Hilali dari berbagai jalur,
semuanya lemah. Ibnu Hajar berkata tentangnya dalam kitab
Al-Ishabah (4/536) setelah menyebutkan riwayat hidupnya, “Semua jalur
periwayatan yang disebutkan tidak lemah dan tidak pasti.” Dikatakan pula dalam kitab Ta’jil Al-Manfaah, (2/20), “Jalur
riwayatnya tidak sunyi dari kelemahan (dhaif).”

Ibnu Al-Jauzi berkata dalam kitab
Al-Ilal Al-Mutanahiah (2/609)

“Hadits ini
tidak shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Mereka berkata,
‘Tidak ada satu pun dari riwayat tersebut yang shahih.”

Al-Bushiri berkata
dalam kitab Ittihaful Khairah Al-Maharah, ‘Semua sanad di dalamnya lemah.”

Al-Albany menghukuminya sebagai hadits
munkar dalam Silsilah Ad-Da’ifah (2511, 6053) dan jalur periwayatannya tidak
jelas. Semuanya
bertumpu pada Makhul Ad-Dimasyqi, perawi tsiqah penduduk Syam dalam Tahzib
At-Tahzib (10/292), hanya saja jalur yang sampai kepadanya lemah. Atau pada syaikh yang dia ambil riwayat tersebut darinya.

Terdapat
riwayat dari jalur Burd bin Sinan, dia adalah tsiqah, dari Makhul, dari
athiyyah bin Yasar Al-Hilali dari Ukaf bin Wada’ah Al-Hilali. Redaksinya
sebagai berikut;

“Dia mendatangi Rasulullah
shallalahu alaihi wa sallam, lalu beliau berkata, “Wahai Ukaf, apakah kamu
punya isteri?” dia berkata, “Tidak.” Beliau berkata,
“Kalau budak?” dia menjawab, “Tidak” Beliau bekata,
“Bukankah engkau sehat dan berkecukupan?” dia berkata,
“Ya.” Maka beliau berkata, “Kalau
demikian, maka engkau adalah saudaranya setan. Kalau
engkau termasuk pendeta Nashrani, maka bergabunglah bersama mereka dan jika
engkau golongan kami, maka termasuk ajaran kami adalah nikah. Wahai Ibnu
Wada’ah! Sesungguhnya seburuk-buruk kalian adalah bujangan di
antara kalian, orang-orang mati yang paling rendah di antara kalian adalah para
bujangan. Wahai Ibnu Wada’ah, sesungguhnya orang-orang yang berkeluarga,
mereka adalah orang yang bebas dari bahaya, setan menolak untuk
mempermainkannya. Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, setan
memiliki senjata yang paling ampuh terhadap orang saleh, baik laki maupun
wanita, yaitu agar mereka meninggalkan pernikahan. Wahai Ibnu Wada’ah! Sesungguhnya mereka adalah saudara-saudaranya Ayub, Daud, Yusuf dan
Kursuf.’ Dia bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah
kursuf?’ Beliau bersabda, ‘Seorang laki-laki bernama
Abdullah, tinggal di pinggir pantai, qiyamullail dan berpuasa di siang hari
selama lima
ratus tahun, sebagian tiga ratus tahun, kemudian lewat seorang wanita lalu dia
tergoda, kemudian dia meninggalkan ibadah dan kufur kepada Allah. Lalu dia kembali dan bertaubat kepada Allah atas perbuatannya yang
telah lalu.’ Maka dia berkata, ‘Ya Rasulullah,
nikahkanlah saya.’ Beliau bersabda, ‘Aku nikahkan engkau dengan nama Allah dan keberkahan dengan Zainab binti Kultsum
Al-Himyariah.”

(Diriwayatkan
oleh Al-Uqaili dalam kitab Adh-Dhu’afa Al-Kabir, 3/356, dan Ibnu Qani dalam
kitab Mu’jam Ash-Shahabah, no. 1274)

Cacat
pada riwayat ini adalah Athiyah bin Yasar. Al-Uqaili berkata,
‘Riwayatnya tidak dianggap.’ Kemudian dia menyandarkan ucapannya kepada
Bukhari, ‘Athiyah bin Yasar dari Ukaf bin Wada’ah, haditsnya tidak berlaku.’

Ibnu
Hibban dalam kitab Ats-Tsiqat, 5/261, ‘Athiyah bin Yusr, adalah seorang syaikh
dari Syam, Makhul meriwayatkan darinya hadits tentang pernikahan sebuah matan
yang munkar, sanadnya terbalik.”

2.
Terdapar riwayat dari jalur Muhammad bin Rasyid, dari Makhul, dari seorang
laki-laki, dari Abu Dzar, dia juga menyebutkan riwayat serupa. Akan tetapi ada redaksi yang berbeda, yaitu “Menikahlah, kalau
tidak maka anda termasuk orang-orang berdosa.” (Diriwayatkan oleh
Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, 6/171/10387, juga diriwayatkan Ahmad, 5/163,
Al-Jauzi dalam kitab Al-Ilal Al-Mutanahiah, 2/118)

Cacat
dalam jalur periwayatan ini adalah tidak jelasnya identitas siapakah syaikhnya
Makhul.
Kemungkinan dia adalah Athiyah bin Yusr Al-Hilali yang disebutkan dalam riwayat
sebelumnya. Adapun Muhammad bin Rasyid, para ulama menyatakan bahwa dia tsiqah.
(Tahzib At-Tahzib, 9/170)

3.
Dari jalur periwayatan Mu’awiyah bin Yahya dari Sulaiman bin Musa, dari Makhul
dari Ghadhif bin Harits, dari Athiyah bin Yusr Al-Mazini.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ashim dalam
kitab Al-Ahadi wal Matsani, 4/195, Abu Ya’la kalam kitab Al-Musnad, 12/260,
Bahsyal dalam kitab Tarikh Wasith, hal. 201, Ibnu Hibban dalam kitab Al-Mujrimin, 3/3, Ath-Thabrani
dalam kitab Al-Mu’jam Al-Kabir, 18/85-86), Al-Uqaili dalam kitab Adh-Dhu’afa
Al-Kabir, 3/356, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 4/381, Ibnu Atsir dalam kitab
Usdul Ghabah, 4/43, Abu Nu’aim dalam kitab Mu’jam Ash-Shahabah, no. 4961 dengan
redaksi berbeda. Akan tetapi cacatnya satu, yaitu pada
Mu’awiyah binYahya Ash-Shidqi, sebagaimana disebutkan dalam kitab Tahzib
At-Tahzib, 10/220.

Ibnu
Ma’in berkata , “Cacat, tidak ada
apa-apanya.” Abu Zur’ah berkata, ‘Tidak kuat,
hadits-haditsnya seakan terbalik.” Abu Hatim
berkata, ‘Orang yang lemah dan haditsnya munkar.’ Abu
Daud berkata, ‘lemah’, An-Nasa’I berkata, ‘Lemah.’ Abu Ahmad bin Adi
berkata, ‘Orang awam, riwayatnya perlu dikritisi.’ Ibnu Hibban berkata dalam kitab Al-Majruhin (2/335), ‘Di dalamnya
terdapat Mu’awiyah bin Yahya yang haditsnya dikenal sebagai munkar sekali.
Hafalannya berubah, maka dia menyampaikan haditsnya dengan
mengira-ngira apa yang didengar.”

Demikian
pula Daruquthni menyebutkan cacatnya dalam Kitab At-Ta’liqat Alal Majruhin
(255), Az-Zail’I dalam kitab Takhrul Kasysyaf (2/439) dan Al-Haitsami dalam
Kitab Majma Az-Zawa’id (4/253)

Kesimpulannya
adalah bahwa semua jalur periwayatan ini sangat lemah, satu sama
lain tidak dapat saling menguatkan, karena derajatnya sangat lemah dan tidak
menentu. Sedangkan teksnya munkar, sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya.

Ketiga.

Adapun hadits, ‘Nikah adalah sunahku,
siapa yang membenci sunahkan maka dia bukan golonganku.’

Redaksi hadits ini sebagaimana
diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1846) dari Aisyah dia berkata, ‘Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Nikah termasuk sunahku (ajaranku) siapa
yang tidak mengamalkan ajaranku, maka dia bukan golonganku. Hendaklah kalian menikah, sungguh aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian dibanding umat
yang lain. Siapa yang memiliki kecukupan, hendaknya dia
menikah, siapa yang belum mampu hendaknya dia berpuasa, karena puasa dapat
menjadi pelindung baginya.”

Dalam
sanad riwayat ini terdapat Isa bin Maimun. Dia adalah perawi
dha’if. Imam Bukhari berkata, ‘Haditsnya munkar.’
Ibnu Ma’in berkata, ‘Haditnya tidak dianggap.’ Lihat
Kitab Mizanul I’tidal (4/245-246). Karenanya Al-Bushiri
berkata saat mentakhrij hadits Aisyah sebelumnya, “Sanadnya lemah, karena
mereka telah sepakat bahwa Isa bin Maimun Al-Madini adalah perawi lemah.
Akan tetapi hadits ini didukung oleh riwayat lain yang
shahih.”

Lihat
As-Silsilah Ash-Shahihah (no. 2383)

Wallahua’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

answer

Tema-tema Terkait

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android