Saya dari Bulgaria, apakah saya dibolehkan apabila menerjemahkan nama-nama Allah Ta’ala menambahkan perangkat ‘isim’ dalam keadaan rafa’? Ada seorang saudara saya dalam Islam yang mengatakan bahwa tidak boleh menambah perangkat ‘isim’ kecuali dalam keadaan ‘maf’ul’ dan ini merupakan kaidah bahasa. Apakah hal tersebut benar? Mohon jawabannya. Baarokallah fiikum.
Syarat Menerjemahkan Nama-nama Allah Ta’ala Serta Kitab Yang Direkomendasikan Dalam Masalah Ini
Pertanyaan: 98553
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Pertama:
Tidak ada dalam syariat larangan bagi seorang muslim untuk menerjemahkan makna ayat-ayat Al-Quran dan hadits Nabi. Akan tetapi penerjemahnya harus menguasai bahasa Arab dan menguasai bahasa terjemahannya.
Penerjemahnya pun harus amanah dalam menerjemahkan dan harus mengerti ilmu syariat dan beraqidah Ahlussunah wal Jamaah. Jika tidak, maka terjemahannya tidak dapat dipercaya karena dapat memasukkan keyakinan-keyakinan sesat dan menyimpang.
Terjemah makna nama-nama Allah Ta’ala dan sifat-sifat-Nya tidak keluar dari kebolehan tersebut dan juga tidak keluar dari syarat-syarat yang telah kami sebutkan. Setiap muslim yang hendak menunaikan tugas penting ini hendaknya banyak membaca kitab-kitab Ahlussunah wal Jamaah yang dikarang untuk menjelaskan makna dari nama-nama Allah Ta’ala dan sifat-sifat-Nya sebelum dia melaksanakan penerjemahan. Agar dirinya tidak terjebak pada kekeliruan dalam memahami nama atau sifat dan agar dia menerjemahkan kepada makna yang sesuai.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah berkata, “Adapun mengajak bicara lawan bicara dengan istilah mereka dan bahasa mereka, hal tersebut tidak dimakruhkan, jika dibutuhkan dan jika maknanya benar. Seperti mengajak bicara bangsa Ajam (non Arab) seperti bangsa Romawi, Persia, Turki dengan bahasa dan adat mereka. Itu dibolehkan dan baik jika ada kebutuhan. Para imam menyatakan makruh jika hal tersebut tidak dibutuhkan.”
(Dar’u Ta’arudhil Aql wan Naql, 1/43)
Beliau, rahimahulllah, juga berkata,
Demikian pula halnya dalam itsbat (penetapan), bagi-Nya nama-nama yang mulia yang dengannya dijadikan sebagai wasilah untuk berdoa.
Jika seseorang telah menetapkan sebuah makna (dari nama Allah) yang benar dan menafikan makna yang batil, kemudian dia butuh untuk mengungkapkan hal tersebut dengan ungkapan yang dapat dipahami oleh lawan bicara dengan bahasa yang dia pahami, atau semacamnya, maka hal tersebut tidak dilarang. Karena hal itu termasuk dalam bab terjemah nama-nama dan ayat-ayat-Nya dengan bahasa lain agar pemilik bahasa tersebut dapat memahami makna firman dan nama-nama Allah. Hal ini boleh, bahkan kadang-kadang menjadi sunah, bahkan kadang-kadang menjadi wajib. Jika makna yang dia jelaskan benar-benar makna Al-Quran dan Sunah, serupa dengan bacaan Al-Quran dengan menggunakan bahas selain Arab. Terjemah seperti ini dibolehkan untuk memahamkan lawan bicara tanpa ada pertentangan di tengah para ulama.”
(Bayan Talbis Jahmiyah, 2/389)
Syekh Muhammad bin Saleh Al-Utsaimin rahimahullah ditanya, “Bolehkan menerjemahkan nama-nama Allah Ta’ala ke bahasa selain bahasa Arab?”
Beliau menjawab, “Menerjemahkan nama-nama Allah Ta’ala bagi siapa saja yang ingin memahaminya, tidak mengapa. Bahkan bisa jadi wajib. Karena bagi yang tidak menguasai bahasa Arab butuh untuk memahami maknanya. Karena itu Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ (سورة إبراهيم: 4)
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya.” (QS. Ibrahim: 4)
Maksudnya adalah dengan bahasa mereka, tujuannya adalah,
لِيُبَيِّنَ لَهُمْ (سورة إبراهيم: 4)
“Supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.” (QS. Ibrahim: 4)
Maka, menerjemahkannya untuk tujuan memahamkan orang lain dibolehkan.
Adapun jika tujuannya untuk menjadikan makna tersebut sebagai nama baru menggantikan nama-nama dalam bahasa Arab, hal tersebut tidak dibolehkan, karena itu berarti menghilangkan bahasa Arab.
(Durus Al-Haramain; Durus Al-Masjid An-Nabawi, kaset 62, side 2)
Telah kami sebutkan dalam jawaban soal no. 9347, fatwa Lajnah Daimah tentang kebolehan menerjemahkan Al-Quran dan hadits serta nama-nama Allah Ta’ala. Silakan dilihat kembali.
Kedua:
Tambahan dalam nama-nama Allah Ta’ala dalam bahasa terjemah tidak mengapa jika tujuannya menyampaikan makna yang sesuai bagi Allah Ta’ala. Seorang penerjemah tidak perlu memperhatikan apakah ‘isim’-nya manshub atau marfu atau majrur, baik dalam Al-Quran maupun Sunah. Karena hal tersebut tidak berpengaruh dalam terjemah dan tidak akan mengubah maknanya apakah disebutkan dalam keadaan marfu atau manshub. Karena baris-baris tersebut dimiliki oleh isim sesuai kedudukannya dalam I’rab.
Di antara kitab-kitab yang kami rekomendasikan untuk dibaca sebelum melakukan penerjemahan adalah;
1- Tafsir Asmaul Husna, oleh Syekh Abdurrahman As-Sa’dy. Dipublikasikan oleh Majalah Jamiah Islamiyah, edisi 112.
2- Al-Qawaid Al-Mutsla Fi Sifaatillahi wa Asmaaihil Husna, Syekh Muhamad bin Shaleh Al-Utsaimin.
3- Sifatullahi Azza wa Jalla Al-Waridah Fil Kitab wa As-Sunah, Syekh Alawi bin Abdul Qadir As-Sagaf.
4- An-Nahju Al-Asma fi Syarh Asamillahi Al-Husna, Syekh Muhamad Al-Hamud.
Wallahua’lam.
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam