Unduh
0 / 0
33,24501/08/2007

Hukum Bershalawat Kepada Nabi Shallallahu alaihi Wa Sallam Sebelum Iqamah Atau Sesudahnya

Pertanyaan: 101856

Apa yang saya ucapkan ketika ada seruan untuk shalat fardhu (iqamah). Apakah waktu ketiika itu merupakan waktunya bershalawat kepada Nbi shallallahu alaihi wa sallam?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Ada dua masalah penting dalam bab
azan dan iqamah, harus dijelaskan dan dibedakan antar keduanya.

Masalah pertama: Apakah disunahkan
bagi mereka yang hendak menunaikan shalat bershalawat kepada Nabi
shallallahu alaihi wa sallam sebelum mulai iqamah? Pendapat ini dinyatakan
oleh sebagian ulama belakangan dari kalangan mazhab Syafii. Hal ini
dikuatkan oleh Zainudin bin Abdulaziz Al-Malibary (wafat tahun 987) dalam
kitabnya Fathul Mu’in (1/280) pengarang mengaitkan pendapat ini sebagai
pendapat Imam Nawawi dalam Syarhul wasit.

Disebutkan dalam kitab
I’anatut-Thalibin (1/280), karangan Syekh Bakri Dimyati (wafat tahun 1302 H)
dia berkata, “Disunahkan bershalwat kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam
sebelumnya, maksudnya sebelum azan dan iqamah.”

Akan tetapi Syekh Ali Syubromili
(wafat tahun 1087 H) mengutip ucapan para fuqoha mazhab Syafii dalam Hasyiah
Nihayatul Muhtaj (1/432) yang menafikan bahwa hal tersebut merupakan
pendapat Imam Nawawi dan bahwa hal tersebut merupakan kekeliruan pencatatan
yang terjadi dalam Kitab Syarhul Wasith, yang benar adalah (bershalawat)
sesudah iqamah bukan sebelum iqamah.

Pendapat ini boleh jadi didasari oleh
hadits riwayat Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Ausath, 8/372, dari Abu Hurairah
radhiallahu anhu dia berkata,  “Bilal biasanya jika hendak melakukan iqamah
shalat dia berkta, ‘Assalamua alaika ayyuhannaby wa rahmatullahi wa
barakatuh, asshalatu rahimakallah’

Akan tetapi dalam sanad hadits ini
terdapat seorang perawi namanya Abdullah bin Muhammad bin Mughirah, dia
sangat lemah sekali, meriwayakan riwayat-riwayat munkar dan palsu. Dalam
Lisanul Arab (3/332), disebutkan tentang biografinya, “Abu Hatim berkata,
‘Dia tidak kuat.’ Ibnu Yunus berkata, ‘haditsnya munkar.’ Ibnu Adi berkata,
‘Mayoritas yang dia riwayatkan tidak dapat diikuti,’ Nasa’I berkta,
‘Diriwayatkan dari Tsauri dan Malik bin Mughul hadits-hadits yang sangat
takut dia riwayatkan,’ Al-Uqaili menggolongkannya sebagai perawi yang lemah,
dia berkata, ‘Dia meriwayatkan apa yang tidak ada dasarnya.” 

Karena itu, Syekh Al-Albany
rahimahullah menghukumi haditsnya sebagai dusta dan palsu, sebagaimana
tercantum dalam Silsilah Hadits Adh-Dha’ifah, 891, kemudin beliau berkata,
“Hadits ini tampaknya menjadi landasan meluasnya bid’ah yang menyebar di
Halab, Idlib dan negeri-negeri utara lainnnya, yaitu bershalawat kepada Nabi
shallallahu alaihi wa sallam secara keras sebelum melakukan iqamah, dia
seperti bid’ah satunya lagi, yaitu mengeraskan bacaan shalat setelah azan
sebagaimana dijelaskan oleh para ulama peneliti. 

Apalagi, zahir hadits ini seandainnya
dia shahih, bahwa Bilal mendekati rumah Nabi shallallahu alaihi wa sallam
untuk memberitahunya bahwa beliau akan melakukan iqamah, maka ketika beliau
keluar, barulah Bilal mulai iqamah, atau boleh jadi beliau tidak mendengar
iqamah, maka beliau memberitahunya.”

Yang benar adalah tidak disunahkan
bershalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam sebelum iqamah,
sebagaimana kebiasaan yang dipraktekkan di sebagian Negara, karena tidak
terdapat dalil yang shahih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, juga dari
para shahabatnya. Perbuatan tersebut lebih dekat kepada bid’ah ketimbang
kepada sunah. Para ulama mazhab Syafii sendiri ada yang mengingkari
perbuatan tersebut.

Ibnu Hajar Al-Haitsami pernah ditanya
dalam Kitab Al-Fatawa Al-Fiqhiyah Al-Kubro, 1/129, ‘Apakah ada ulama yang
menyatakan disunahkannya membaca shalawat Nabi sebelum iqamah?’

Beliau menjawab, “Saya tidak
menemukan seseorang yang menyatakan sunah bershalawat sebelum iqamah. Yang
disebutkan para imam kami adalah bahwa shalawat merpakan sunah yang dibaca
setelah iqamah seperti halnya azan. Kemudian setelah itu membaca ‘Allahumma
rabba haazihid-da’watittaammah….’ Kemudian dia menyebutkan riwayat-riwayat
sebelumnya dari Hasan Al-Bashri dan lainnya.”

Dia juga berkata (1/131)

“Kami tidak melihat dalam hadits tersebut
adanya anjuran untuk bershalawat sebelum azan, bahkan juga saat sesudah
mengucapkan Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Kami juga
tidak mendapatkan pendapat para tokoh ulama kami membicarakan hal tersebut.
Maka dengan demikian, kedua perkara tersebut (bershalawat sebelum iqamah dan
azan) di tempat yang disebutkan tidak disunahkan. Siapa yang melakukan salah
satu dari keduanya dengan meyakini bahwa itu adalah perkara sunah di tempat
tersebut secara khusus, maka dia harus dilarang, karena jika demikian hal
tersebut berarti menetapkan syariiat tanpa dalil. Siapa yang menetapkan
syariat tanpa dalil, dia harus diberi peringatan dan dilarang.” (Lihat
jawaban sebelumnya dalam soal 22646)

Masalah kedua:

Apakah disunahkan bagi orang yang iqamah dan siapa yang
mendengarkannya untuk bershalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam
setelah selesai iqamah?

Sejumlah ulama berpendapat bahwa hal tersebut disunahkan,
mereka berdalil dengan hadits Abdullah bin Amr bin Ash radhiallahu anhu,
bahwa beliau mendengar Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا
سَمِعْتُمْ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ، ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ
، فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا
عَشْرًا ، ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِي الْوَسِيلَةَ ، فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي
الْجَنَّةِ لَا تَنْبَغِي إِلَّا لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ ، وَأَرْجُو
أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ ، فَمَنْ سَأَلَ لِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ
الشَّفَاعَةُ (رواه مسلم، رقم 384)

“Jika kalian mendengarkan muazin, maka
ucapkanlah seperti yang dia ucapkan, kemudian bershalawatlah kepadaku.
Sesungguhnya siapa yang bershalawat kepadaku, Allah akan bershalawat
kepadanya sebanyak sepuluh kali. Kemudian mohonlah kepada Allah untukku agar
aku mendapatkan wasilah, sesungguhny dia (wasilah) adalah tempat di surge
yang hanya diberikan kepada seorang hamba Allah. Dan aku berharap, akulah
orangnya. Siapa yang memohonkan wasilah untukku, maka dia berhak mendpatkan
syafaat.” (HR. Muslim, no. 384)

Ibnu Rajab berkata dalam Fathul Bari, 3/457, “Adapun
ucapannya, ‘Jika kalian mendengar muazin’ termasuk di dalamnya adalah azan
dan iqamah, karena keduanya merupakan panggilan untuk shalat yang keluar
dari mu’azin.”

Mereka berkata, ‘Pernyataan ini terdapat dari
pernyataan tegas sebagian shahabat dan tabi’in.

Ibnu Sunni meriwayatkan dalam kitabnya
‘Amalul Yaumi Wallailah’ (hadits no. 105) dari Abu Hurairah radhiallahu anhu
bahwa dia apabila mendengarkan seorang muazin telah melakukan iqamah dia
mengucapkan,

Abdurrazzaq meriwayatkan dalam kitab Al-Mushannaf (1/496)
dari Ayub dan Jabir Al-Ju’fi, keduanya berkata, “Siapa yang saat iqamah
mengucapkan,

اللهم ! رب هذه
الدعوة التامة ، والصلاة القائمة ، أعط سيدنا محمدا الوسيلة ، وارفع له الدرجات
،

Berhak baginya mendapatkan syafaat Nabi shallallahu alaihi wa
sallam.”

Ad-Dainury meriwayatkan dalam ‘Al-Mujalasah
wa Jawahirul Ilmi’ (hal. 60) dari Yusuf bin Asbath, dia berkata, ‘Telah
sampai kepada saya bahwa seorang laki-laki muslim, apabila iqamah shalat
dikumandangkan, lalu dia tidak mengucapkan,

اللهم ربّ هذه
الدعوة المستمعة المستجاب لها ، صلِّ على محمد وعلى آل محمد ، وزوجنا من الحور
العين ،

Mereka (para bidadari) berkata, ‘Kenapa engkau tidak tertarik
kepada kami.”

Karena itu, Ibnu Qayim rahimahullah menjelaskan dalam kitab
‘Jalaa’ul Afham’ (372-373) satu bab yang di dalamnya dia nyatakan, “Point
keenam dalam masalah shalat; Bershalawat setelah menjawab bacaan muazin dan
iqamah.’ Kemudian beliau menyebutkan hadits Abdullah bin Amr dan sebagian
atsar yang telah disebutkans sebelumnya. Dia juga menyebutkan riwayat
Al-Hasan bin Arqa dengan sanadnya hingga Hasan Basri, dia berkata,  “Jika
seorang muazin berkata, ‘Qad qaamatissalah’ dia mengucapkan, ‘Allahumma
rabba hazihidda’watisshadiqah wash-shalaatul qaa’imah, shallai alaa Muhammad
abduka wa rasuuluka, wa ablighuh darajatal waasilah fil jannah’ maka dia
akan masuk dalam syafaat Muhammad shallallahu alaihi wa sallm.”

Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan riwayat serupa dalam kitab
Al-Mushanaf (7/124) dari Hakam dan Hasan Bashri.

Disebutkan dalam Fatwa Lajnah Daimah (6/89-90), “Yang
disunahkan bahwa orang yang mendengar iqamah mengucapkan sebagaimana yang
diucapkan oleh orang yang iqamah, karena dia adalah azan kedua, maka dijawab
sebagaimana dijawabnya azan. Sang pendengar mengucapkan ‘laa haula wa laa
quwwata illaa billah’ ketika mendengar ‘hayya alashshalah, hayya alal
falaah’ dan apabila diucapkan ‘qod qoomatishshalah’ dia mengulang dengan
ucapan yang sama. Tidak mengatakan ‘aqomahallah wa adaamaha’ karena hadits
dalam hal tersebut lemah. Yang shahih dari Nabi shallallahu alahi wa sallam
adalah beliau bersabda,

إذا سمعتم
المؤذن فقولوا مثل ما يقول

“Jika kalian mendengar seorang muazin (orang
yang mengumandangkan azan) maka ucapkanlah seperti ucapannya.”

Hal ini bersifat umum mencakup azan dan
iqamah, karena keduanya dinamakan azan. Kemudian hendaknya dia bershalawat
kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam setelah ucapan orang yang iqamah
‘Laa ilaaha illallah’ Lalu membaca, “Allahumma rabba haazihidda’watittaammah
washshalatil qoo’imah…dst,’ sebagaimana yang diucapkan sesudah azan. Tidak
diketahui adanya dalil shahih menunjukkan adanya doa khusus antara iqamah
dan sebelum takbirotul ihram kecuali yang telah disebutkan.” (Majmu Fatawa
Syekh Bin Baz, 10/347)

Adapun setelah zikir azan dan iqamah, saya tidak ketahui ada
lagi bacaan setelah itu, kecuali bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam memerintahkan agar menjawab orang yang azan dan iqamah lalu setelah
azan dan iqamah, setelah shalawat kepadan Nabi, untuk membaca,

اللهم رب هذه
الدعوة التامة والصلاة القائمة آت محمدا الوسيلة والفضيلة وابعثه مقاما محمودا
الذي وعدته )رواه
البخاري في صحيحه(

(Lihat Mughni Al-Muhtaj, 1/329, Hasyiatul
Jamal, 1/309, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 6/14, Atstsamar Al-Mustathab,
214-215)

Pendapat kedua: Tidak disunahkan menjawab
orang yang iqamah, pendapatkan ini dikuatkan oleh sebagian ulama mazhab
Hanafi, sebagaimana disebutkan dalam kitab Raddil Mukhtar (2/71) demikian
pula halnya sebagian ulama dalam mazhab Maliki. Syekh Zarruq berkata, “Tidak
menjawab orang yang iqamah.” Lihat Mawahibul Jalil, 2/132. Ini juga pendapat
yang dipilih oleh Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah, dia berkata,
“Dalam masalah mengulang bacaan orang yang iqamah terdapat hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Daud, akan tetapi haditsnya dha’if, tidak dapat
digunakan sebagai dalil. Maka pendapat yang kuat adalah tidak mengikuti
ucapan orang yang iqamah.” (Majmu Fatawa Syekh Ibnu Utsaimin, 12/169) Lihat
Asy-Syarhul Mumti (1/318).

Adaun hadits “Antara dua azan terdapat
shalat,’ iqamah dinamakan azan bersifat diikutkan saja, dia tidak dinamakan
azan secara tersendiri.

Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para pensyarah
menjelaskan bahwa perkara ini termasuk bab taghlib (diikutkan) sebagaimana
kata “القمرين”
(dua bulan) yang dimaksud adalah ‘bulan dan matahari’.

Syekh Bakar Abu Zaid hafizahullah berkata, “Tidak dikenal ada
hadits shahih yang menunjukkan bahwa siapa yang mendengar orang yang
melantunkan iqamah hendaknya dia menjawabnya sebaagaimana hal tersebut jelas
terdapat dalam azan. Dimasukkannya menjawab ucapan orang yang azan dalam
keumuman hadits-hadits tentang menjawab azan tidak dapat diterima, karena
ajaran terperinci dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak berlaku dalam
masalah menjawab lantunan azan.”

(Tashhih Ad-Du’a, no. 394)

Lihat Ahkamul Azan Wan Nida wal Iqamah, Sami bin Farraj
Al-Hazimi, 441-443.

Wallahua’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android
at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android