Apakah hak isteri yang menjadi kewajiban suaminya dalam Al-Quran dan Sunah? Di sisi lain, apa kewajiban suami terhadap isterinya dan sebaliknya?
Apakah Hak-Hak Suami Isteri?
Pertanyaan: 10680
Table Of Contents
Islam telah mewajibkan kepada suami untuk memenuhi hak-hak isterinya, begitu pula sebaliknya. Di antara kewajiban ada yang sifatnya bersamaan berlaku bagi suami isteri. Kami akan sebutkan hak-hak suami isteri satu sama lain berdasarkan Al-Quran dan Sunah dan penjelasan para ulama.
Pertama:Hak-hak isteri
Hak-hak khusus isteri yang menjadi kewajiban suaminya yang bersifat harta, yaitu: Mahar, nafkah dan tempat tinggal.
a. Mahar, yaitu harta yang berhak didapatkan seorang isteri pada saat akad atau saat mulai tinggal bersama. Ini merupakan hak yang wajib bagi suami atas isterinya.
Firman Allah Taala:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً (سورة النساء: 4)
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” QS An-Nisaa’: 4
Disyariatkannya mahar merupakan petunjuk betapa agungnya akad ini sekaligus sebagai penghormatan dan pemuliaan terhadap wanita.
Mahar bukanlah syarat dalam akad pernikahan, bukan juga merupakan rukun nikah menurut jumhur fuqoha. Akan tetapi dia merupakan konsekwensi yang harus dilakukan akibat pernikahan. Jika akad nikah terlaksana tanpa menyebutkan mahar, maka pernikahannya sah berdasarkan pendapat jumhur ulama, berdasarkan firmnan Allah Taala,
لَّا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً (سورة البقرة: 236)
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.” QS. Al-Baqarah: 236
Maka dibolehkannya talak sebelum digauli dan sebelum disebutkan jumlah mahar, menunjukkan bahwa boleh tidak disebutkan mahar dalam akad.
Jika suami menyebutkan jumlah mahar dalam akad, maka dia wajib memberinya. Jika tidak disebutkan, maka wajib baginya mahar mitsl, maksudnya mahar yang jumlahnya biasa diberikan kepada wanita-wanita pada masanya.
b. Nafkah
Para ulama Islam sepakat bahwa suami wajib memberi nafkah kepada isterinya dengan syarat isterinya dapat dia gauli. Jika dia menolak digauli atau membangkang, maka dia tidak berhak mendapatkan nafkah.
Hikmah dalam wajibnya nafkah bagi isteri adalah bahwa seorang isteri berada di bawah kekuasaan suami berdasarkan akad nikah, dia tidak boleh keluar rumahnya kecuali atas izin suaminya untuk bekerja. Maka dia wajib memberi nafkah kepada isterinya dan memberi kecukupan kepadanya. Demikian pula, nafkah adalah karena isterinya bersedia digauli.
Yang dimaksud dengan nafkah adalah, menyediakan apa yang dibutuhkan seorang isteri, baik berupa makanan, tempat tinggal. Maka wajib bagi suami memberikan nafkah kepada isterinya, walau isterinya kaya. Berdasarkan firman Allah Taala,
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ (سورة البقرة: 233)
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.” QS. Al-Baqarah: 233
Juga berdasarkan firman Allah Taala,
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍۢ مِّن سَعَتِهِ . وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُۥ فَلْيُنفِقْ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُ (سورة الطلاق: 7)
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.” QS. At-Tolaq: 7
Terdapat dalam sunah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada Hindun binti Utbah, isteri Abu Sufyan yang mengadu kepada beliau karena suaminya tidak memberikan nafkah,
خذي ما يكفيكِ وولدَكِ بالمعروف
“Ambillah apa yang cukup bagimu dan untuk anakmu dengan cara yang ma’ruf.”
Dari Aisyah dia berkata, “Hindun binti Utbah, isteri Abu Sufyan masuk menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, lalu dia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan orang yang kikir, dia tidak memberiku nafkah yang cukup untukku dan anakku, kecuali dari hartanya yang aku ambil tanpa sepengetahuannya, apakah hal itu dibolehkan?’ Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ambillah apa yang cukup bagimu dan untuk anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Bukhari, no. 5049 dan Muslim, no. 1714)
Dari Jabir sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam khutbah Wada,
فاتقوا الله في النساء فإنكم أخذتموهن بأمان الله واستحللتم فروجهن بكلمة الله ، ولكم عليهن ألا يوطئن فرشكم أحدا تكرهونه ، فإن فعلن ذلك فاضربوهن ضربا غير مبرح ، ولهن عليكم رزقهن وكسوتهن بالمعروف ( رواه مسلم، رقم 1218)
“Hendaklah kalian bertakwa kepada Allah terhadap isteri kalian, karena kalian mengambil mereka dengan perlindungan Allah dan menghalalkan kehormatan mereka dengan kalimat Allah. Dan kalian memiliki hak yang menjadi kewajiban mereka untuk tidak mempersilahkan seorangpun di ranjangnya orang yang kalian benci. Jika mereka lakukan hal itu, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai. Dan mereka memiliki hak yang menjadi kewajiban kalian berupa nafkah dan pakaian dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Muslim, no. 1218)
c. Tempat tinggal.
Hal ini termasuk hak isteri, yaitu bagaimana seorang suami menyediakan baginya tempat tinggal sesuai kemampuan dan kelapangannya. Firman Allah Taala,
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ (سورة الطلاق: 6)
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu. “ QS. At-Tolaq: 6
2. Hak Non Materi
a. Adil antara para isteri. Jika seorang suami memiliki beberapa isteri, maka termasuk hak isteri adalah bersikap adil dalam gilirang di antara para isterinya, dalam hal bermalam, nafkah dan pakaian.
b. Menggauli dengan baik.
Wajib bagi suami bersikap baik dalam bersikap dengan isterinya dan bersikap lembut terhadapnya serta memberikan pemberian yang dapat melunakkan hatinya, berdasarkan firman Allah Taalah,
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ (سورة النساء: 19)
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” QS. An-Nisa’ : 19
Juga firman Allah Taala,
وَلَهُنَّ مِثلُ الَّذِي عَلَيهِنَّ بِالمَعرُوفِ (سورة البقرة: 228)
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf.” QS. Al-Baqarah: 228
Dalam sunah, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
استوصوا بالنساء ( رواه البخاري، رقم 3153 ومسلم، رقم 1468)
“Terimalah nasehatku (agar kalian berbuat baik kepada) isteri.” (HR. Bukhari, no. 3153, Muslim, no. 1468)
Berikut ini merupakan contoh baiknya perlakuan Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersama isteri-isterinya, dan beliau adalah teladan,
1. Dari Zainab binti Abi Salamah, berkata kepadanya Ummu Salamah,
حضت وأنا مع النبي صلى الله عليه وسلم في الخميلة فانسللت فخرجت منها فأخذت ثياب حيضتي فلبستها ، فقال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم : أنفستِ ؟ قلت : نعم ، فدعاني فأدخلني معه في الخميلة . قالت : وحدثتني أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقبلها وهو صائم ، وكنت أغتسل أنا والنبي صلى الله عليه وسلم من إناء واحد من الجنابة (رواه البخاري، رقم 316 ومسلم، رقم 296)
“Saat aku berada dalam satu selimut bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, aku mengeluarkan darah haid, kemudian pelan-pelan aku keluar dari selimut untuk mengambil pakaian (khusus haid) dan mengenakannya. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepadaku, “Apakah kamu sedang haid?” Aku menjawab, “Ya.” Lalu beliau memanggilku dan mengajakku masuk ke dalam selimut.”
Ummu Salamah juga menyampaikan kepadaku bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam menciumnya saat beliau sedang puasa, dan aku pernah mandi junub bersamanya dari satu wadah.” (HR. Bukhari, no. 316, Muslim, no. 296)
2. Dari Urwah bin Zubair, dia berkata, Aisyah berkata,
والله لقد رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقوم على باب حجرتي والحبشة يلعبون بحرابهم في مسجد رسول الله صلى الله عليه وسلم يسترني بردائه لكي أنظر إلى لعبهم ثم يقوم من أجلي حتى أكون أنا التي أنصرف ، فاقدروا قدر الجارية الحديثة السن حريصة على اللهو (رواه البخاري، رقم 443 ومسلم، رقم 892)
“Demi Allah, sungguh aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berdiri di depan pintu kamarku sementara orang-orang Habasyah sedang mempermainkan tombak-tombak mereka di masjid Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Dia menutupku dengan selendangnya, akan tetapi aku melihat mereka yang bermain, kemudian beliau berdiri demi aku (agar aku lebih leluasa melihat) sampai aku sendiri yang berhenti. Karena itu berilah keleluasaan kepada anak-anak perempuan untuk bermain.” (HR. Bukhari, no. 443, Muslim, no. 892)
3. Dari Aisyah, Ummul Mukminin radhiallahu anha,
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلي جالسا فيقرأ وهو جالس فإذا بقي من قراءته نحو من ثلاثين أو أربعين آية قام فقرأها وهو قائم ثم يركع ثم سجد يفعل في الركعة الثانية مثل ذلك فإذا قضى صلاته نظر فإن كنت يقظى تحدث معي وإن كنت نائمة اضطجع .(رواه البخاري، رقم 1068)
sesungguhnya Rasulullah shalat dalam keadaan duduk, lalu beliau membaca (surat) dalam keadaan duduk, jika bacaannya tinggal sekitar tiga puluh atau empatpuluh ayat, maka dia berdiri dan membacanya dalam keadaan berdiri. Kemudian beliau ruku, lalu sujud, kemudian dia lakukan hal yang sama di rakaat kedua. Jika dia selesai dari shalatnya, maka dia perhatikan, jika aku bangun, dia berbincang-bincang dengan aku dan jika aku tidur, dia berbaring.” (HR. Bukhari, no. 1068)
C. Tidak menyakiti isteri.
Ini merupakan prinsip ajaran Islam. Jika menyakiti orang lain saja diharamkan, maka lebih diharamkan lagi menyakiti isteri.
Dari Ubadah bin Shamit, sesungguhnya Rasulullah telah menetapkan,
أن لا ضرر ولا ضرار (رواه ابن ماجه، رقم 2340) .
“Sesungguhnya tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan (baik bagi diri sendiri ataupun orang lain).” (HR. Ibnu Majah, no. 2340)
Hadits ini dishahihkan oleh Ahmad, Hakim, Ibnu Shalah dan lainnya.
Lihat; Khulashah Al-Badrul Munir, 2/438
Termasuk perkara yang diperingatkan oleh syariat dalam masalah ini adalah tidak boleh melakukukan pukulan yang melukai.
Dari Jabir bin Abdullah dia berkata, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam haji wada,
فاتقوا الله في النساء فإنكم أخذتموهن بأمان الله واستحللتم فروجهن بكلمة الله ولكم عليهن أن لا يوطئن فرشكم أحدا تكرهونه فإن فعلن ذلك فاضربوهن ضربا غير مبرح ولهن عليكم رزقهن وكسوتهن بالمعروف (رواه مسلم، رقم 1218)
“Hendaklah kalian bertakwa kepada Allah terhadap isteri kalian, karena kalian mengambil mereka dengan perlindungan Allah dan menghalalkan kehormatan mereka dengan kalimat Allah. Dan kalian memiliki hak yang menjadi kewajiban mereka untuk tidak mempersilahkan seorangpun di ranjangnya orang yang kalian benci. Jika mereka lakukan hal itu, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai. Dan mereka memiliki hak yang menjadi kewajiban kalian berupa nafkah dan pakaian dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Muslim, no. 1218)
Kedua: Hak suami yang menjadi kewajiban isterinya
Hak suami yang menjadi kewajiban isteirnya adalah merupakan hak yang sangat agung. Bahkan haknya yang menjadi kewajiban isteri lebih besar dari hak isteri yang menjadi kewajiban suami, berdasarkan firman Allah Taala,
ولهن مثل الذي عليهن بالمعروف وللرجال عليهن درجة (سورة البقرة: 228)
“Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka.” (QS. Al-Baqarah: 288)
Al-Jashash berkata, “Allah Taala mengabarkan bahwa ayat ini bahwa masing-masing pasangan suami isteri memiliki hak dan hak suami yang memiliki hak yang menjadi kewajiban isterinya yang tidak menjadi hak isteri atas suaminya.”
Ibnu Arabi berkata, “Ini merupakan teks yang menunjukkan bahwa suami diutamakan dalam hak-hak pernikahan melebihi hak-hak isterinya.”
Di antara hak-hak suami adalah;
a. Taat.
Allah Taala telah menjadikan laki-laki sebagai pemimpin antas isterinya, dia hak memberikan perintah, pengarahan dan pemeriharaan. Sebagaimana halnya seorang pemimpin bersikap kepada rakyatnya, berdasarkan kekhususan yang Allah berikan kepada laki-laki, baik secara fisik maupun akal dan juga berdasarkan apa yang Allah wajibkan kepada para suami berupa kewajiban memberikan nafkah. Allah Taala berfirman,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ (سورة النساء: 34)
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” QS. An-Nisa’: 34
Ibnu Katsir berkata, Ali bin Abi Thalhah bin Abbas berkata,
الرجال قوامون على النساء
‘Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita’
Maksudnya adalah, mereka sebagai pemimpin bagi isterinya. Sang isteri harus mentaati apa yang dia perintahkan terhadap apa yang Allah perintahkan untuk ditaati. Taatnya dalam bentuk bersikap baik terhadap keluarga dan menjaga hartanya.
Demikian pula halnya, hal itu dinyatakan oleh Muqatil, As-Suddy dan Adh-Dhahhak. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/492)
b. Bersedia digauli.
Termasuk hak seorang suami atas istrinya adalah bersedia digauli. Jika seorang wanita telah menikah dan dia sudah dapat digauli, maka dia wajib menyerahkan dirinya kepada suaminya jika sang suami menghendakinya. Hal tersebut dengan menyerahkan mahar yang seharusnya disegerakan, lalu memberi waktu kepada sang isteri untuk mempersiapkan diri apa yang dia butuhkan dua atau tiga hari, sebagaimana adat yang berlaku
Jika seorang istri menolak digauli oleh suaminya, maka dia telah melakukan pelanggaran dan dosa besar, kecuali jika dia memang berhalangan secara syar’i, seperti haid, puasa fardhu, sakit dan semacamnya.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إذا دعا الرجل امرأته إلى فراشه فأبت فبات غضبان عليها لعنتها الملائكة حتى تصبح (رواه البخاري، رقم 3065 ومسلم، رقم 1436)
“Jika seorang suami mengajak isterinya ke ranjangnya (mengajak berjimak) lalu isterinya menolaknya, sehingga sang suami melewati malam dalam keadaan marah, maka malaikat melaknatnya hingga shubuh.” (HR. Bukhari, no. 3065, Muslim, no. 1436)
c. Tidak mengizinkan orang yang tidak disukai masuk ke rumahnya.
Termasuk hak suami yang menjadi kewajiban isterinya adalah tidak mempersilahkan seseorang yang tidak disukai suaminya untuk masuk ke rumahnya.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لا يحل للمرأة أن تصوم وزوجها شاهد إلا بإذنه ، ولا تأذن في بيته إلا بإذنه ( رواه البخاري، رقم 4899 ومسلم، رقم 1026)
“Tidak dihalalkan bagi seorang wanita untuk berpuasa sementara suaminya ada di sampingnya kecuali dengan izinnya, dan tidak mengizinkan (seseorang masuk) ke rumahnya kecuali atas izinnya.” (HR. Bukhari, no. 4899, Muslim, no. 1026)
Dari Sulaiman bin Amr bin Al-Ahwas, bapakku telah menyampaikan kepadaku bahwa beliau ikut melakukan haji wada bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka beliau mengucapkan pujian kepada Allah lalu memberikan peringatan dan nasehat. Kemudian beliau berkata,
َاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ لَيْسَ تَمْلِكُونَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ فَإِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا أَلَا إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا فَأَمَّا حَقُّكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ فَلَا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُونَ وَلَا يَأْذَنَّ فِي بُيُوتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُونَ أَلَا وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوا إِلَيْهِنَّ فِي كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ (رواه الترمذي، رقم 1163 وقال : هذا حديث حسن صحيح ، وابن ماجه، رقم 1851).
“Berbuat baiklah terhadap wanita, karena mereka adalah tawanan kalian. Kalian tidak berhak atas mereka lebih dari itu, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Jika mereka melakukannya, jauhilah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Jika kemudian mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Ketahuilah; kalian memiliki hak atas istri kalian dan istri kalian memiliki hak atas kalian. Hak kalian atas istri kalian ialah dia tidak boleh memasukkan orang yang kalian benci ke tempat tidur kalian. Tidak boleh memasukan seseorang yang kalian benci ke dalam rumah kalian. Ketahuilah; hak istri kalian atas kalian ialah kalian berbuat baik kepada mereka dalam (memberikan) pakaian dan makanan (kepada) mereka." Abu Isa berkata; "Ini merupakan hadits hasan shahih. Arti dari 'Awaanun' yaitu; mereka adalah tawanan kalian..” (HR. Tirmizi, no. 1163, dia berkata, “ini adalah hadits hasan shahih dan Ibnu Majah, no. 1851)
Dari Jabir dia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لَا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوف (رواه مسلم، رقم 1218)
“Bertakwalah kalian kepada Allah dalam memerlakukan isteri. Karena kalian mengambil mereka dengan izin Allah, dan kehormatan mereka halal bagimu dengan mematuhi firman-firman Allah. Setelah itu, kamu punya hak atas mereka, yaitu supaya mereka tidak membolehkan orang lain menduduki tikarmu. Jika mereka melanggar, pukullah mereka dengan cara yang tidak membahayakan. Sebaliknya mereka punya hak atasmu. Yaitu nafkah dan pakaian yang pantas.” (HR. Muslim, no. 1218)
d. Tidak keluar dari rumah kecuali atas izin suami.
Merupakan hak suami atas isterinya adalah tidak keluar rumah kecuali atas izinnya.
Ulama dari kalangan mazhab Syafii dan Hambali berkata, “Dia tidak boleh keluar untuk menjenguk bapaknya kecuali atas izin suami, dan suami berhak melarangnya. Karena taat kepada suami adalah wajib. Maka tidak dibolehkan meninggalkan yang wajib dengan sesuatu yang tidak wajib.
e. Memberi hukuman
Suami berhak menghukum isterinya apabila membangkang perintahnya atas perkara yang baik bukan perkara kemaksiatan. Karena Allah Taala memerintahkan suami untuk menghukum isterinya dengan mengisolirnya atau memukulnya apabila mereka tidak taat kepadanya.
Sedangkan para ulama dari kalangan mazhab Hanafi menyebutkan empat perkara yang dibolehkan bagi suami untuk menghukum isterinya dengan memukulnya, di antaranya; “Tidak mau berhias jika suaminya ingin agar isterinya berhias, tidak memenuhi ajakan suaminya untuk berhubungan intim padahal dia sedang suci, meninggalkan shalat dan keluar dari rumah tanpa seizinnya.”
Di antara dalil dibolehkannya menjatuhkan hukuman adalah; Firman Allah Taala,
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ (سورة النساء: 34)
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.” QS. An-Nisa’ : 34
Dan firman Allah Taala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا (سورة التحريم: 6)
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” QS. At-Tahrim: 6
Ibnu Katsir berkata, “Qatadah berkata, ‘Engkau perintahkan mereka untuk taat kepada Allah dan melarang mereka untuk bermaksiat kepada Allah dan agar engkau laksanakan perintah Allah atas mereka dan membantu mereka untuk itu. Apabila engkau lihat kemaksiatan mereka lakukan, hendaknya engkau cegah dari mereka serta peringatkan mereka dari perbuatan tersebut.”
Demikian pula Adh-Dahhak dan Muqatil berkata, “Kewajiban seorang muslim adalah mengajarkan keluarganya dari kerabatnya serta budak-budaknya apa yang Allah wajibkan kepada mereka dan apa yang Allah larang dari mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4392)
g. Menyerahkan dirinya.
Jika akad nikah telah terpenuhi syarat dan terlaksana dengan sah, maka wajib bagi wanita menyerahkan dirinya kepada suami dan mempersilahkannya untuk menggaulinya. Karena dengan adanya akad, suami berhak mendapatkan pengganti berupa hak untuk menggaulinya sebagaimana isteri berhak mendapatkan pengganti berupa mahar.
h. Memperlakukan pasangan dengan baik. Yaitu berdasarkan firman Allah Taala,
Al-Qurthubi berkata, “Dari Ibnu Abbas dia berkata, “Para isteri berhak mendapatkan perlakuan yang baik dari para suaminya, seperti halnya isteri wajib memperlakukan para suami dengan baik berupa ketaatan terhadap apa yang diwajibkan kepada mereka terhadap suaminya.”
Ada juga yang mengatakan, “Para isteri memiliki hak atas para suaminya yaitu tidak boleh disakiti sebagaimana para isteri memiliki kewajiban terhadap para suaminya. Hal ini dinyatakan oleh Ath-Thabari.”
Ibnu Zaid berkata, “Hendaknya kalian bertakwa kepada Allah dalam memperlakukan isteri sebagaimana para isteri hendaknya bertakwa kepada Allah taala dalam memperlakukan kalian.”
Makna dari ungkapan-ungkapan di atas berdekatan mencakup seluruh hak-hak suami isteri (Tafsir Al-Qurthubi, 3: 123,124)
Wallahu a’lam.
Refrensi:
Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid