Pertanyaanku berkaitan dengan cara yang benar dalam menunaikan shalat wajib di belakang imam, lebih tepatnya bacaan surat Al-Fatihah. Apakah kami harus membacara surat Al-Fatihah dengan suara pelan sementara imam membacanya dengan keras di sela-sela dua rakaat pertama dan kedua dalam shalat wajib?
Apakah kami harus membaca surat Al-Fatihah pada kondisi yang sama di rakaat ketiga dan keempat yakni rakaat yang imam membaca dengan pelan?
Pertanyaan ini muncul karena sekelompok orang di desaku menginginkan (penjelasan) yang benar tata cara shalat kami. Sementara di tengah penduduk desa ada dua pendapat, salah satu pendapatnya adalah dikala imam (menunaikan) shalat, maka kita wajib mendengarkan saja, baik (ketika) dia membaca dengan keras (pada rakaat pertama dan kedua) maupun membaca dengan pelan (pada rakaat ketiga dan keempat).
Sementara pendapat lain mengatakan bahwa shalat tidak diterima tanpa bacaan surat Al-Fatihah, baik imam membaca keras maupun pelan. Saya mohon dijelaskan kepada kami mana yang benar disertai dengan berbagai macam dalil.
Bacaan Al-Fatihah Dalam Shalat
Pertanyaan: 10995
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Membaca Al-Fatihah termasuk rukun shalat pada setiap rakaat, baik bagi imam maupun munfarid (shalat seorang diri) berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alaihi wasallam :
( لا صَلاة لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ ) رواه البخاري (الأذان/714)
“Tidak (sah) shalat bagi seseorang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al-Fatihah)." (HR.Bukhari, Azan/714)
Sementara bacaan Al-Fatihah bagi makmum di belakang imam dalam shalat jahriyah (shalat yang dikeraskan suaranya), ada dua pendapat ulama dalam masalah ini:
Pendapat pertama: Surat Al-Fatihah wajib dibaca. Dalilnya adalah keumuman sabda Nabi sallallahu’alaihi wasallam,
“Tidak (sah) shalat bagi seseorang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al-Fatihah)”.
Dalil lainnya, ketika Nabi sallallahu’alaihi wasallam mengajarkan kepada orang yang shalatnya keliru, (beliau) memerintahkannya untuk membaca Al-Fatihah. Disamping terdapat riwayat shahih dari Nabi sallallahu’alaihi wasallam bahwa beliau membacanya pada setiap rakaat.
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul Bari: "Perintah membaca Al-Fatihah telah ditetapkan bagi makmum (dalam shalat) jahriyah tanpa ada batasan. Hal itu sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dalam bab Qira’ah (bacaan)".
Tirmizi, Ibnu Hibban dan yang lainnya menyebutkan sebuah riwayat Makhul dari Mahmud bin Rabi’ dari Ubadah bahwa sesungguhnya terdengar oleh Nabi sallallahu’alaihi wasallam bacaan (seseorang) dalam shalat fajar. Ketika selesai, beliau berkata: “Sepertinya kalian membaca di belakang imam kalian?”. Kami menjawab: “Ya". (Beliau) bersabda: “Jangan kamu lakukan (itu), selain (membaca) Fatihatul Kitab (Al-Fatihah), karena tidak (sah) shalat bagi seseorang yang tidak membacanya.”
Pendapat kedua: Bacaan imam, dianggap sebagai bacaan makmum. Dalilnya adalah firman Allah:
( وإذا قُرِئ القرآن فاستمعوا له وانصتوا لعلكم ترحمون ) الأعراف:204
“Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat”. (QS. Al-A’raf: 204)
Ibnu Hajar berkata: (Pendapat) yang menggugurkan bacaan Al-Fatihah dalam shalat jahriyah seperti pendapat Malikiyah berdalil dengan hadits
( وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا )
“Kalau (imam) membaca, maka kalian hendaknya diam”.
Ini adalah hadits shoheh, diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Abu Musa Al-Asy’ari. Bagi orang yang megatakan wajib (membaca) Al-Fatihah, mereka mengatakan bahwa (Al-Fatihah) dibaca setelah imam membaca Al-Fatihah dan sebelum memulai membaca surat (Al-Qur’an) lainnya. Atau dibaca ketika ada jedah imam sebentar. Ibnu Hajar berkata: “(Makmud hendaknya) diam ketika imam membaca dan membaca (Al-Fatihah) ketika (imam) diam”.
Syekh Bin Baz berkata: Maksud jeda imam adalah jeda pada saat membaca Al-Fatihah, atau sesudahnya atau jedah saat membaca surat setelahnya. Seandainya imam tidak ada jeda, maka makmum tetap harus membaca Al-Fatihah meskipun saat itu imam dalam kondisi membaca, menurut pendapat yang kuat dari para ulama. (Silahkan lihat Fatawa Syekh Ibnu Baz, 11/221).
Al-Lajnah Ad-Daimah ditanya seperti pertanyaan di atas, lalu didijawab: Yang benar di antara pendapat ulama adalah wajib membaca Al-Fatihah dalam shalat bagi munfarid (orang yang shalat seorang diri), imam dan makmun, baik shalat jahriyah maupun sirriyah, karena kebenaran dalil yang (menguatkan) akan hal itu dan dalil yang mengkhususkannya.
Adapun firman Allah:
( وإذا قُرِئ القرآن فاستمعوا له وانصتوا لعلكم ترحمون ) الأعراف /204
“Dan apabila dibacakan Al-Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat”. (QS. Al-A’raf: 204)
Adalah bersifat umum, begitu juga sabda Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam :
( وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا )
“Kalau (imam) membaca, maka hendaknya kalian diam”.
Juga bersifat umum, (mencakup) bacaan Al-Fatihah dan lainnya. (keumuman dalil ini) dikhususkan dengan hadits:
( لا صَلاة لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ ) رواه البخاري، الأذان/714
“Tidak (sah) shalat bagi seseorang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al-Fatihah)." Sebagai upaya untuk mengkompromikan dalil-dalil yang ada.
Adapun hadits :
(من كان له إمام فقراءة الإمام له قراءة)
"Siapa mengikuti imam (dalam shalat), maka bacaan imam adalah bacaan baginya."
Adalah hadits lemah. Juga tidak dibenarkan pendapat yang mengatakan bahwa ucapan “amin” bagi makmum terhadap bacaan imam dari surat Al-Fatihah dapat menggantikan bacaan Al-Fatihah.
Tidak selayaknya menjadikan perbedaan ulama dalam masalah ini sebagai sarana melahirkan kebencian, perpecahan dan saling bertikai. Akan tetapi selayaknya anda mengkaji ilmu lebih dalam lagi, mempelajari, muthola’ah dan saling membuat kajian ilmiah. Jika sebagian di antara kalian taklid kepada salah seorang ulama yang berpendapat wajibnya membaca Al-Fatihah terhadap makmum dalam shalat jahriyah, sementara yang lain taklid kepada ulama yang berpendapat wajibnya diam (bagi makmum) mendengarkan imam pada shalat jahriyah dan cukup dengan bacaan Al-Fatihah-nya imam, maka (hal itu) tidak mengapa. Tidak perlu mencela yang ini dan mencela yang itu dan tidak perlu saling benci karena masalah ini.
Seharusnya kita berlapang dada terhadap perbedaan antara ahli ilmu, luas (wawasan) berfikir, karena perbedaan di antara mereka. Mohonlah petunjuk kepada Allah untuk mendapatkan kebenaran perbedaan ini. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan (doa). Shalawat (semoga tercurahkan) kepada Nabi kita Muhammad .
Refrensi:
Syekh Muhammad Sholeh Al-Munajid