Unduh
0 / 0
3900119/02/2008

Berpuasa Hingga Matahari Terbenam, Bukan Seperti Yang Dikatakan Sebagian Syiah

Pertanyaan: 110407

Saya ingin bertanya tentang puasa dan berbuka. Saya berbicara dengan tetangga saya yang bermazhab Syiah. Mereka membaca ayat yang mulia yang menunjukkan bahwa puasa berlangsung dari benang putih (terbit fajar) hingga malam. Bukan hingga matahari terbenam saja. Ini yang mereka katakan kepadaku. Mohon penjelasannya. Jazaakumullah khairan.

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Waktu puasa yang disepakati kaum muslimin dan telah
berlangsung sejak masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para
shahabatnya hingga masa kita sekarang, berawal dari terbit fajar shadiq dan
berakhir hingga terbenamnya matahari secara sempurna di balik ufuk. Hal
tersebut ditunjukkan oleh Al-Quran, Sunah dan ijmak kaum muslimin.

Allah Ta’ala berfirman,

ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

 (سورة البقرة: 187)

“Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” SQ. Al-Baqarah: 187

Malam dalam bahasa Arab, dimulai sejak matahari terbenam.

Disebutkan dalam qamus Al-Muhith (1364), malam: Dari sejak
matahari terbenam hingga terbit fajar shadiq atau terbit matahari.”

Disebutkan dalam Lisanul Arab, (11/607), Malam: setelah
siang, berawal dari terbenamnya matahari.

Al-Hafiz Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya
tentang ayat ini, “Firman Allah Ta’ala,

ثُمَّ
أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ)

“Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” SQ. Al-Baqarah: 187

Menunjukkan bahwa waktu berbuka adalah ketika matahari
terbenam berdasarkan hukum syariat.” (Tafsir Al-Quranil Azim, 1/517)

Bahkan sebagian ahli tafsir mengingatkan bahwa penggunaan
huruf jar(إلى)
dalam ayat ini menunjukkan segera, karena huruf ini bermakna akhrinya sebuah
tujuan.

Ulama Thahir Ibnu Asyur rahimahullah berkata, (إلى
الليل) dipilihnya kata (إلى)
untuk menunjukkan disegerakannya berbuka saat matahari terbenam. Karena (إلى)
tidak memanjang bersama tujuan, berbeda dengan huruf (حتى).
Yang dimaksud di sini adalah mengaitkan kesempurnaan puasa dengan malam.”
(At-Tahrir wa At-Tanwir, 2/181)

Semua ini dikuatkan sebagaimana diriwayatkan dalam dua Kitab
Shahih dari Amirul Mukminin Umar bin Khatab radhiallahu anhu, dia berkata,
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَا هُنَا ، وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَا
هُنَا ، وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ ، فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ   (رواه البخاري،
رقم 1954 ومسلم، رقم 1100)

“Jika malam menjelang di sini dan siang pergi di sini, dan
matahari terbenam, maka orang yang berpuasa hendaknya berbuka.” (HR.
Bukhari, no. 1954, Muslim, 1100)

Dalam hadits ini, kedatangan malam di selah timur dikaitkan
dengan terbenamnya bulatan matahari di balik ufuk. Ini perkara yang kasat
mata. Karena gelap berawal di sebelah timur langsung setelah sinar matahari
terbenam di balik ufuk.

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Ungkapan Nabi
sallallahu’alaihi wa sallam, “(Jika malam menjelang di sini). Yaitu dari
sebelah timur. Yang dimaksud gelap di sini adalah yang kegelapan secara
kasat mata.

Dalam hadits ini disebutkan tiga perkara; Karena, walaupun
asalnya berkaitan, akan tetapi secara zahir tidak berkaitan. Boleh jadi
malam menjelang di sebelah barat, akan tetapi tidak terjadi malam secara
hakiki, tapi hanya karena faktor yang menutup sinar matahari. Demikian pula
halnya berlalunya siang. Berikutnya, diikat dengan sabda, (dan matahari
terbenam). Untuk memberi isyarat bahwa kedatangan malam dan berlalunya siang
harus secara hakiki, yaitu melalui terbenamnya matahari, bukan karena sebab
lain.” (Fathul Bari, 4/196)

An-Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama berkata, ‘Setiap
satu faktor dari ketiga faktor ini mengandung dua faktor lainnya dan saling
berkaitan.  Karena boleh jadi dia berada di sebuah lembah atau semacamnya,
sehingga dia tidak dapat menyaksikan terbenamnya matahari. Maka ketika itu
dia berpedoman dengan datangnya gelap dan hilangnya sinar.”  (Syarah Muslim,
7/209)

Bukhari (1955) dan Muslim(1101) meriwayatkan dari Abdullah
bin Abi Aufa radhiallahu anhu, dia berkata,

كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فِي سَفَرٍ وَهُوَ صَائِمٌ ، فَلَمَّا غَرَبَتْ الشَّمْسُ قَالَ لِبَعْضِ
الْقَوْمِ : يَا فُلاَنُ ! قُمْ فَاجْدَحْ لَنَا – أي : اخلط السويق بالماء ،
وحركه كي نشربه – فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ! لَوْ أَمْسَيْتَ . قَالَ :
انْزِلْ فَاجْدَحْ لَنَا . قَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ! فَلَوْ أَمْسَيْتَ .
قَالَ : انْزِلْ فَاجْدَحْ لَنَا . قَالَ : إِنَّ عَلَيْكَ نَهَارًا . قَالَ :
انْزِلْ فَاجْدَحْ لَنَا . فَنَزَلَ فَجَدَحَ لَهُمْ ، فَشَرِبَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، ثُمَّ قَالَ : إِذَا رَأَيْتُمْ اللَّيْلَ
قَدْ أَقْبَلَ مِنْ هَا هُنَا فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ)

“Kami bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam
sebuah perjalanan sedangkan dia dalam keadaan puasa. Ketika matahari
terbenam, dia berkata kepada sebagian orang, ‘Wahai fulan, campurkan sawiq
dengan air dan aduklah agar dapat kita minum.’ Dia berkata, ‘Wahai
Rasulullah, hari masih sore.’ Beliau berkata, ‘Turunlah dan buatkan minuman
itu untuk kami.’ Dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, hari masih sore.’ Beliau
berkata, ‘Turunlah dan buatkan minuman itu.’ Dia berkata, ‘Hari masih
siang.’ Maka dia singgah untuk membuatkan minuman, lalu Nabi shallallahu
alaihi wa sallam meminumnya. Kemudian beliau bersabda, ‘Jika kalian
menyaksikan malam telah datang dari sini dan sini, maka orang berpuasa boleh
berbuka.”

Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, ‘Dalam hadits ini
terdapat anjuran untuk menyegerakan berbuka puasa, tidak diwajibkan sama
sekali bagi seseorang untuk berpuasa pada sebagian malamnya. Tapi, kapan
saja terbenamnya matahari terwujud, dihalalkan baginya berbuka.” (Fathul
Bari, 4/197)

Sepakatnya kaum muslimin dalam berbuka dan menyantap makanan
langsung setelah mendengar azan untuk shalat Maghrib, merupakan dalil yang
menunjukkan bahwa inilah ketentuan yang benar. Siapa yang menyelisihinya,
maka dia menempuh jalan selain orang beriman dan mengada-ngada tanpa bukti
dan landasan ilmiah.

An-Nawawi rahimahullah berkata,

Maghrib disegerakan langsung setelah matahari terbenam. Ini
merupakan perkara ijmak. Adapun yang disimpulkan oleh kalangan syiah (hingga
malam) tidak perlu dihiraukan, karena tidak ada dasarnya.” (Syarah Muslim,
5/136)

Banyak terdapat dalam kitab-kita Syiah pendapat yang sesuai
dengan apa yang telah disepakati kaum muslimin dalam masalah ini.

Sebagian dari mereka meriwayatkan dari Ja’far Shadiq
rahimahullah, dia berkata, “Jika matahari terbenam maka sudah dibolehkan
berbuka dan diwajibkan shalat (Maghrib).” (Man laa yahdhuruhul faqih, 1/142,
Wasail Syiah, 7/90)

Brojordi mengutip ucapan pengarang Da’aim, “Kami telah
meriwayatkan dari Ahlu Bait shalawatullah alaihim ajma’in, dengan ijmak
berdasarkan apa yang kami ketahui dari para perawi tentang mereka, bahwa
masuknya malam yang memboleh seseorang berbuka puasa adalah terbenamnya
matahari di ufuk barat tanpa penghalang yang menutupinya, baik oleh gunung
atau dinding atau selainnya. Jika bulatan matahari terbenam di ufuk, maka
malam telah masuk dan telah dibolehkan berbuka.” (Jami Ahadits Asy-Syiah,
9/165)

Kesimpulannya: Apa yang dipraktekkan oleh kalangan Syiah
dengan mengakhirkan waktu shalat Maghrib dan berbuka bagi orang yang
berpuasa hingga beberapa saat setelah matahari terbenam, adalah bertentangan
dengan dalil yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunah nabi yang shahih serta
kesepakatan kaum muslimin. Bahkan mereka juga menyelisihi apa yang telah
disampaikan oleh para imam mereka.

Wallahua’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android