Unduh
0 / 0
3066131/12/2007

Apakah Disyariatkan Iqamah diucapakn Dua Kali-Dua Kali?

Pertanyaan: 111893

Apakah ada larangan syar’i dalam iqamah shalat dengan cara seperti azan, dengan menambahkan kalimat qad qaamatishshalaat, (sunguh akan ditunaikan shalat) dua kali. Sehingga cara iqamahnya seperti (berikut ini):

الله أكبر الله أكبر ، الله أكبر الله أكبر. أشهد أن لا إله إلا الله، أشهد أن لا إله إلا الله. أشهد أن محمدا رسول الله، أشهد أن محمدا رسول الله. حي على الصلاة، حي على الصلاة. حي على الفلاح، حي على الفلاح. قد قامت الصلاة، قد قامت الصلاة. الله أكبر الله أكبر، لا إله إلا الله.

Apakah cara seperti ini (ada) dalam madzhab Imam Abu Hanifah?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Al-hamdulillah.

Terdapat beberapa riwayat tentang lafaz iqamah yang bersumber
dari Nabi sallallahu’alaihi wasallam, di antaranya:

1- Melafazkan sekali (masing-masing bacaan) kecuali lafaz
takbir di awal dan akhir, (dilafazkan) dua kali, begitu juga  lafadz 
قد قامت الصلاة dilafazkan kali juga.
Maka jumlahnya ada sebelas kalimat.

Cara ini merupakan pendapat yang dipilih oleh ulama mazhab
Syafi’iyyah, Hanabilah, dan juga merupakan pendapat Malikiyah, hanya saja
mereka melafazkan قد قامت الصلاة  sekali
saja. (Perhatikan Al-Mugni, 2/59, Al-Mudawwanah, 1/179. Dan inilah cara
iqamah yang dilakukan Bilal radhiallahuanhu, muadzin Rasulullah
sallallahu’alaih wasallam.

Dalam hadits Abdullah bin Zaid dalam azan:

( قَالَ : ثُمَّ استَأخَرَ عَنِّي
غَيرَ بَعِيدٍ ثُمَّ قَالَ : ثُمَّ تَقُولُ إِذَا أَقَمتَ الصَّلَاةَ : اللَّهُ
أَكبَرُ اللَّهُ أَكبَرُ ، أَشهَدُ أَن لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ، أَشهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ ، حَيَّ عَلَى
الفَلَاحِ ، قَد قَامَتِ الصَّلَاةُ ، قَد قَامَتِ الصَّلَاةُ ، اللَّهُ
أَكبَرُ اللَّهُ أَكبَرُ ، لَا إِلَه إِلَّا اللَّهُ . فَلَمَّا أَصبَحتُ
أَتَيتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَأَخبَرتُهُ بِمَا
رَأَيتُ ، فَقَالَ : إِنَّهَا لَرُؤيَا حَقٍّ إِن شَاءَ اللَّهُ) رواه أبو داود
(499) وقال الألباني : حسن صحيح

Dia (Abdullah bin Zaid) Zaid berkata (tentang mimpi yang
dialaminya), “Kemudian beliau beranjak dariku sedikit, lalu berkata,
“kemudian jika shalat hendak ditunaikan,  hendaklah engkau mengucapkan:

اللَّهُ
أَكبَرُ اللَّهُ أَكبَرُ ، أَشهَدُ أَن لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ، أَشهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ ،  حَيَّ عَلَى
الفَلَاحِ ، قَد قَامَتِ الصَّلَاةُ ، قَد قَامَتِ الصَّلَاةُ ، اللَّهُ
أَكبَرُ اللَّهُ أَكبَرُ ، لَا إِلَه إِلَّا اللَّهُ

Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Aku bersaksi bahwa tiada
tuhan melainkan Allah, aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Mari
(menunaikan) shalat, mari (mendapatkan) keberuntungan. Akan ditunaikan
shalat, akan ditunaikan shalat. Allah Maha Besa, Allah Maha Besar. Tiada
tuhan melainkan Allah). Ketika pagi hari aku mendatangi Rasulullah
sallallahu’alihi wasallam lalu aku ceritakan mimpi yang aku lihat. Maka
beliau bersabda: “Sesungguhnya itu adalah mimpi yang benar insyaallah”. HR.
Abu Dawud (499) AL-Bany rahimahullah berkata: Hasan Shoheh.

Juga dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, dia berkata:
”Bilal diperintahkan untuk menggenapkan (bacaan dalam) azan dan
mengganjilkan (bacaan dalam) iqamah kecuali bacaan iqamah   (yaitu bacaan
Qad Qaaamatishshalah)” (HR. Bukhori, no. 605, dan Muslim, no. 378).

Juga dari Ibnu Umar radhiallahu’anhuma, dia berkata:
“Sesungguhnya azan pada masa Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam dua-dua
dan iqamah sekali-sekali, kecuali mengucapkan Qad Qaamatishshalaah-Qad
Qaamatishshalah (dibaca dua kali).” (HR.Abu Dawud, no. 510, dinyatakan hasan
oleh Al-Albany dan shahih oleh Abu Daud)

2- Melafazkan iqamah sama persis seperti melafazkan azan,
hanya saja ditambah dengan bacaan Qad Qaamatshshalah, sebanyak dua
kali, sehingga jumlahnya bacaannya ada tujuh belas kalimat.

Cara ini dipilih oleh ulama mazhab Hanafiyah dan sebagian
pendapat ulama Syafi’iyyah (Perhatikan dalam kitab Al-Mabsuth, 1/219. Dan
cara ini dikenal sebagai iqamahnya Abu Mahzurah radhiallahu’anhu sebagaimana
diajarkan oleh Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam kepadanya.

فعن أبي محذورة رضي الله عنه : (أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَهُ الْإِقَامَةَ
سَبْعَ عَشْرَةَ كَلِمَةً : اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ ، اللَّهُ
أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ،
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ
اللَّهِ ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ
، حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ ، حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ ، حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ ،
قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ ، قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ ، اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ
أَكْبَرُ ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ) رواه أبو داود (502) والترمذي (192)
وصححه الألباني .

Dari Abu Mahzurah radhilallahu’anhu, sesungguhnya
Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam megajarkan iqamah kepadanya
dengan tujuh belas kalimat (yaitu),

اللَّهُ
أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ ، اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ ، أَشْهَدُ
أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ،
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا
رَسُولُ اللَّهِ ، حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ ، حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ ، حَيَّ
عَلَى الْفَلَاحِ ، حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ ، قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ ، قَدْ
قَامَتْ الصَّلَاةُ ، اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ ، لَا إِلَهَ إِلَّا
اللَّهُ

“Allah Maha besar,
Allah Maha Besar. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Allah, aku
bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Aku bersaksi bahwa Muhammad
adalah utusan Allah saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Mari
(menunaikan) shalat, mari (menunaikan) shalat. Mari (menggapai)
keberuntungan, mari (menggapai) keberuntungan. Sungguh (akan) ditunaikan
shalat, sungguh (akan) ditunaikan shalat. Allah Maha Besar Allah Maha Besar,
tiada tuhan melainkan Allah.” (HR.Abu Daud, no.
502, Tirmizi, no. 192, dinyatakan shahih oleh Al-Albany)

Semua yang ada
(riwayat yang shahih) dari Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam adalah
sunnah yang layak diamalkan. Tidak mengapa seorang muazin menunaikan iqamah
Bilal atau iqamah Abu Mahzurah radhiallahu’anhuma. Yang lebih
sempurna adalah sekali waktu melakukan yang ini dan lain waktu melakukan
yang itu, sehingga semua sunnah dapat dipraktekkan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkomentar,
setelah mengutip hadits-hadits tentang dibolehkannya iqamah dengan dua
redaksi (cara): “Dengan demikian, maka yang benar adalah mazhab Ahli Hadits
dan yang sejalan dengannya. Yaitu dibolehkannya semua riwayat yang shahih
Nabi Sallallahu’alaihi wasallam, tidak ada yang tidak disukai (jika memang
riwayatnya shahih). Adanya berbagai macam sifat azan dan iqamah, tak ubanya
seperti beragamnya sifat bacaan (qiro’at), tasyahhud dan yang
semisalnya. Tidak sepatutnya seorang pun juga membenci apa yang disunnahkan
Rasulullah sallallahu’alaih wasallam untuk umatnya. Adapun (jika masalah
ini) sampai menyebabkan adanya pertikaian dan perpecahan, hingga sampai
memberikan loyalitas dan memusuhi serta berperang (dikarenakan sebab)
seperti ini atau semisalnya, padahal Allah masih membenarkan adanya
perbedaan tersebut, maka mereka termasuk orang yang dikatakan memecah belah
agama menjadi berkelompok-kelompok.  Di antara kesempurnaan sunnah dalam
(masalah) ini melakukan ini sekali dan melakukan itu sekali, (melakukan) ini
di tempat ini dan itu di tempat lain. Karena meninggalkan apa yang ada dalam
sunnah sementara konsisten dengan cara lainnya dapat menjadikan sunnah
dianggap sebagai bid’ah, mustahab (perkara sunnah) dianggap menjadi
wajib, sehingga mudah terjadi perpecahan dan pertikaian apabila ada orang
lain yang melakukan cara lain. Maka seharusnya seorang muslim komitmen
dengan kaidah-kaidah umum (kulliyah) yaitu berpegang teguh terhadap
sunnah dan jama’ah, khususnya  dalam masalah shalat  berjama’ah” (diringkas
dari  Majmu’ Fatawa, 21/66)

Beliau tambahkan lagi: “Tidak diperkenankan seorang pun untuk
menjadikan pendapat sebagian ulama sebagai syiar yang harus diikutinya dan
melarang lainnya yang telah ada dalam sunnah. Bahkan semua yang ada dalam
sunnah itu luas. Seperti azan dan iqamah, siapa yang menggenapkan
(membacanya dua kali-dua kali) iqamah adalah baik, dan siapa yang
mengganjilkan iqamah juga baik. Siapa yang mewajibkan ini tanpa (mewajibkan)
yang itu maka dia salah dan tersesat. Dan sekedar memberikan loyalitasnya
kepada orang yang melakukan ini, dan tidak memberikan loyalitas kepada yang
(melakukan) itu, dia sudah salah dan tersesat”. (Diringkas dari Majmu’
Fatawa, 22/46)

wallahu’alam

.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android