Kalau ada jamaah shalat masuk ke Masjid, dan mendapatkan sekelompok orang telah menunaikan shalat berjamaah, sementara dia tidak mendapatkan tempat dalam shaff, apakah dia menunaikan shalat dibelakang sendirian atau dia menarik salah seorang jamaah shalat dari shaff yang ada di depannya?
Shalat Dibelakang Shoff Sendirian
Pertanyaan: 11199
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Yang terkenal dalam madzhab Imam Ahmad dan pilihan bukan seorang saja dari kalangan peneliti: bahwa shalatnya orang sendirian dibelakang shaf (jamaah) itu tidak sah.
Fadhilatus Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ta’ala pernah ditanya tentang permasalahan ini, maka beliau menjelaskan secara terperinci, beliau berbicara dalam permasalahan ini pada dua sisi:
Sisi yang pertama: Apakah shalatnya orang yang sendirian di belakang shaf itu sah atau tidak?
Sisi kedua: kalau kita katakan tidak sah, sementara kita dapatkan shafnya itu telah sempurna, apa yang perlu dilakukan?
Kalau sisi pertama, maka para ulama’ –rahimahumullah- ada perbedaan di dalamnya.
Sebagian diantara mereka mengatakatn,”Shalatnya orang yang sendirian dibelakang shaff itu sah, baik ada alasan maupun tidak ada alasan. Akan tetapi sebagian diantara mereka menegaskan makruhnya hal itu kalau tidak ada alasan. Dan ini adalah pendapat tiga madzhab: Malik, Syafi’I dan Abu Hanifah.
Mereka berdalil akan keabsahan shalat seorang wanita dibelakang shaf. Dimana mereka mengatakan,”Bahwa para lelaki dan para wanita itu sama dalam hukum syareat Islam.
Dan karena Nabi sallallahu ‘Alaihi wa sallam tidak memerintahkan Abu Bakrah ketika beliau rukuk sebelum masuk shaf untuk mengulangi shalatnya (hadits Abu Bakrah diriyatkan oleh Bukhori, 783).
Dan Nabi sallallahu’alahi wa sallam memutarkan Ibnu Abbas dari belakangnnya di sela-sela Shalat. Diriwayatkan oleh Bukhori, 117 dan Muslim, 763. Kalau diperbolehkan sendirian pada sebagian shalat, maka diperbolehkan pada semua shalatnya. Kalau sekiranya itu membatalkan shalat, maka tidak ada perbedaan sedikit atau banyak seperti berdiri di depan imam.
Mereka menjawab tentang hadits yang meniadakan shalat sendirian di belakang shaf, bahwa maksudnya adalah meniadakan kesempurnaan. Hal itu seperti dalam sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam:
لا صلاة بحضرة طعام [ مسلم. 560
“Tidak sempurna shalat seseorang ketika makanan telah terhidangkan. HR. Muslim, 560.
Sebagian ulama’berpendapat,bahwa shalat sendirian dibelakang shaf itu tidak sah, hal ini adalah pendapat mazhab Imam Ahmad yang terkenal menurut rekan-rekannya. Dan ini termasuk pendapat sendirian dalam madzhab. Dan ada riwayat kedua, shalatnya sah sesuai dengan tiga mazhab lainnya.
Pendapat ini berdalil dengan atsar dan nadhor.
Kalau atsar adalah apa yang diriwayatkan Imam Ahmad, (15862) dari Ali bin Syaiban -radhiallah’anhu – sesungguhnya Nabi sallallahu’alaihi wa sallam :
رأى رجلاً يصلي خلف الصف ، فلما انصرف قال له النبي صلى الله عليه وسلم : ( استقبل صلاتك,فإنه لا صلاة لمنفرد خلف الصف) ، وهو حديث حسن ، له شواهد تقتضي صحته
“Melihat seseorang shalat dibelakang shaf, ketika selesai, maka Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bersabda kepada beliau,”Ulangi lagi shalat anda, karena tidak sah shalat orang sendirian di belakang shaf. Dan ini hadits hasan, dan ia mempunyai penguat yang menjadikan shoheh.
Sementara kalau nadhor (logika):
Bahwa jamaah itu adalah perkumpulan baik di tempat maupun prilakunya. Kalau prilakunya adalah berkumpulkan para makmum untuk mengikuti imamnya. Sementara tempatnya adalah berkumpulnya mereka dalam shaf. Kalau kita katakan diperbolehkan sendirian sebagian dengan sebagian lainnya. Maka kapan terjadi kondisi perkumpulannya.
Dan mereka menjawab tentang dalil yang memperbolehkannya bahwa diperbolehkannya seorang wanita sendirian di belakanag shaf dari para lelaki, bahwa telah ada sunnah yang menunjukkan bahwa hal itu termasuk kekhususan wanita. Sebagaimana dalam hadits Anas berkata:
فقمت أنا واليتيم وراءه – يعني وراء النبي صلى الله عليه وسلم – والعجوز من ورائنا [ رواه البخاري 234 ومسلم 658 ]
Maka saya dan anak yatim berdiri dibelakangnya –maksudnya di belakang Nabi sallallahu’alaihi wa sallam – dan orang tua berada di belakang kami. (HR. Bukhori, 234 dan Muslim, 658).
Begitu juga karena wanita tidak layak berdiri disampiang para lelaki.
Sementara hadits Abu Bakrah, maka beliau tidak sendirian kecuali pada bagian yang sedikit sekali, dan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bersabda kepadanya,”Jangan engkau ulangi.
Sementara hadits Ibnun Abbas, maka beliau tidak berdiri di belakang shaf, akan tetapi beliau melewati dan tidak menetap.
Sementara perkataan mereka,”Bahwa maksud dari meniadakan itu adalah meniadakan kesempurnaan. Termasuk anggapan yang tertolak karena asalnya dalam peniadaan itu adalah peniadaan akan keberadaannya. Kalau tidak memungkinkan, maka meniadakan keshohehannya. Kalau tidak mungkin, maka peniadakan dari sisi kesempurnaannya. Sementara hadits :
لا صلاة لمنفرد
“Tidak sah shalat bagi yang sendirian.
Memungkinkan kembali peniadaannya itu peniadakan keshohehannya. Maka harus diarahkan kesana. Sementara menyamakannya dengan hadits:
لا صلاة بحضرة طعام
‘Tidak sempurna shalat ketika makanan sudah dihidangkan.
Maka tidak sah dari dua sisi:
Salah satunya adalah bahwa illat (sebab) dalam hal ini adalah hatinya sibuk dengan hidangan makanan. Dan kesibukan hati tidak mengharuskan membatalkan shalat. Sebagaimana dalam hadits was-was bahwa syetan mendatangi orang yang shalat ingatlah ini, ingatlah itu. Ketika dia tidak mengingatnya, sampai dia tidak mengetahui berapa (rakaat) shalatnya. (HR. Bukhori, 608 dan Muslim, 389).
Sisi kedua: bahwa hadits:
لا صلاة لمنفرد خلف الصف
“Tidak sah shalat orang sendirian di belakang shaf.
Telah jelas bahwa maksud itu adalah meniadakan keabsahannya. Dimana Nabi sallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan kepadanya agar menghadap (mengulangi) shalatnnya. Dan disebutkan sebabnya bahwa tidak sah shalatnya orang sendirian dibelakang shaf.
Dalam hadits Wabishoh sesungguhnya Nabi sallallahu’alaihi wa sallam melihat seseorang shalat dibelakang shaf sendirian. Maka beliau memerintahkan kepadanya untuk mengulangi shalatnya (HR. Abu Daud, 682 dan Tirmizi, 230).
Dari sini jelas bahwa pendapat yang kuat (rojih) adalah kewajiban meluruskan (menyatukan) shaf. Bahwa orang yang shalat sendirian dibelakang shaf maka shalatnya itu batal. Dan dia harus mengulanginya karena telah meninggalkan kewajiban meluruskan (menyatukan) shaf.
Akan tetapi kewajiban ini, seperti kewajiban-kewajiban lainnya. Bisa gugur ketika tidak ada tempatnya atau ketika tidak mampu baik secara syar’I atau tidak mampu secara hissi. Berdasarkan firman Allah ta’ala:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُم
التغابن/16
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” QS. At-Taghobun: 16
Dan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam:
إذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم [ رواه البخاري 7288 ومسلم 1337 ]
“Kalau saya perintahkan kepada kalian suatu perkara, maka lakukan sesuai dengan kemampuan kalian. HR. Bukhori, 7288 dan Muslim, 1337.
Maka dia harus dalam shaf ketika dia mendapatkan tempat di dalamnya, kalau dia tidak mendapatkan tempat, maka gugur kewajiban ini. Begitu juga kalau dia tidak mendapatkan tempat secara syara’I, maka kewajiban ini menjadi gugur.
Contoh pertama: kalau dia mendapatkan shaf sudah penuh, maka dia diperbolehkan shalat sendirian karena tidak ada kewajiban ketika tidak mampu
Contoh yang kedua: kalau ada seorang wanita bersama para lelaki, maka dia shalat sendirian di belakang shaf. Sebagaimana ada ketetapan hal itu dala sunnah. ini yang ada dalam sunnah yang memungkinkan dijadikan patokan (asal) bisa dianalogikan dengan shalat seorang lelaki sendirian di belakang shaf kalau dia tidak mendapatkan tempat di dalamnya. Karena ada alasan hissi seperti ada alasan syar’i.
Penjelasan hal itu adaah bahwa seseorang ketika dia datang di didapati shaf telah sempurna, ada kemungkinan dia berdiri di samping imam, atau menarik seseorang di shaf agar berdiri bersamanya atau dia shalat sendirian tidak berjamaah atau shalat berjamaah di belakang shaf.
Kalau dia maju disamping imam,
- maka didalamnya ada ketidak sesuaian dengan sunnah dengan menyendirikan imam agar berbeda dengan para makmum, dengan majunya dia atas para makmum baik dari sisi tempat atau prilakunya. Hal ini tidak sesuai dengan berdirinya Nabi sallallahu’alaihi wa sallam di samping Abu Bakar (HR. Muslim, 413). Karena yang datang dan berdiri itu adalah imam. Dan dia berdiri di samping penggantinya. Begitu juga bahwa Abu Bakar tidak mungkin kembali ke shaf, begitu juga termasuk menjadi kemaslahatan jamaah, beliau tetap di samping Nabi untuk menyampaikan takbirnya.
- Majunya makmum yang mendapatkan shaf itu telah sempurna di samping imam, termasuk menyakiti jamaah yang dilewatinya agar dia bisa sampai ke imam.
- Di dalamnya juga terlewatkannya meluruskan (menyatukan) shaf bagi orang yang datang setelahnya. Karena kalau dia berdiri sendirian dan ada orang lain datang, maka akan menjadi satu shaf.
Sementara kalau dia menarik salah seorang makmun agar bisa berdiri bersamanya, maka di dalamnya ada tiga kesalahan:
Salah satunya adalah akan membuka luang dalam shaf, sementara Nabi sallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan agar melengkapi shaf dan melarang membiarkan shaf terbuka (luang) untuk syetan (Ahmad, 5691 dan Abu Dauw, 666. Dishohehkan oleh Al-Alban di As-Shohehah.
Kedua: hal itu termasuk mendholimi orang yang ditariknya dengan memindahkan dari tempat yang utama ke tempat yang kurang utama.
Ketiga: hal itu mengganggu shalatnya, terkadang bisa bertengkar dan menghardiknya ketika telah selesai shalatnya.
Dan hal ini tidak sama dengan apa yang telah ada dari Nabi sallallahu’aliai wa sallam bahwa beliau bersabda kepada orang ketika dilihatnya shalat sendirian di belakang shaf. ‘Tidakkah anda masuk bersama mereka atau menarik salah seorang. Hadits ini lemah tidak kuat dijadikan hujjah / dalil. (HR. Tobroni di kitab al-Ausatdh, 8/374 dan Haitsami mengatakan,”Lemah sekali).
Kalau dia meninggalkan shalat berjamaah dan shalat sendirian, maka dia termasuk meninggalkan kewajiban berjamaah padahal dia mampu, sehingga dia terjerumus pada kemaksiatan.
Sementara kalau shalatnya bersama jamaah dibelakang shaf maka dia telah menunaikan kewajiban atasnya sesuai dengan kemampuannya. Karena orang yang shalat bersama jamaah, diharuskan dua hal:
Salah satunya adalah shalat dengan berjamaah
Kedua: berdiri di shaf bersama mereka, kalau salah satunya tidak mungkin, maka diwajibkan melakukan yang lainnya.
Kalau dikatakan,”Bahwa sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam (Tidak sah shalat orang sendirian di belakang shaf). Itu adalah umum, belum ada perincian antara (shafnya) telah sempurna atau belum sempurna. Maka jawabannya adalah bahwa hal ini menunjukkan batalnya shalat orang yang sendirian karena dia telah meninggalkan meluruskan (menyatukan) shaf, kalau dia tidak mampu, maka gugur atasnya. Sementara Nabi sallallahu’alaihi wa sallam tidak mungkin membatalkan shalatnya yang meninggalkan sesuatu yang dia tidak mampu (malakukannya).
Kemiripan dari hadits ini adalah sabda Nabi sallallahu’alai wa sallam:
لا صلاة لمن لم يقرأ بأم القرآن [ رواه البخاري 756 ومسلم 394
“Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah). HR. Bukhori, 756 dan Muslim, 394. Dan sabda beliau sallallahu’alaihi wa sallam :
لا صلاة لمن لا وضوء له [ رواه الإمام أحمد 9137 وأبو داود 101 وابن ماجة: 399
“Tidak sah shalat bagi orang yang tidak mempunyai wudhu’ baginya. HR. Imam Ahmad, 9137, Abu Daud, 101 dan Ibnu Majah, 399.
Kalau (Hadits) ini shoheh, maka bagi orang yang tidak mampu (membaca) Al-Fatihah atau berwudhu, maka dia diperbolehkan shalat tanpa keduanya dan shalatnya diterima. Akan tetapi dia harus membaca dari Qur’an sesuai kadar Al-Fatihah, atau mengingat Allah kalau dia tidak mampu apapun dari Qur’an. Dan bertayamum kalau tidak mampu berwudhu.
Ringkasan jawabannya adalah bahwa merapikan (menyatukan) shaf itu termasuk suatu kewajiban. Bahwa orang yang datang dan shafnya telah sempurna, maka dia shalat berjamaah dibelakang shaf, tidak maju ke imam untuk shalat disampingnya. Tidak menarik seseorang di shaf agar bisa berdiri bersamanya dan tidak meninggalkan shalat berjamaah.
Dan dia diperbolehkan shalat berjamaah sendirian dari shaf, karena ada alasan dan ini adalah pendapat pilihan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syekh kami Abdurrahan Sa’di dan sebagian pendapat yang mengatakan memperbolehkan secara umum.
Segala puji hanya milik Allah Tuhan seluruh alam
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam