Unduh
0 / 0
3296326/04/2008

HUKUM MENIKAH DENGAN WARIA ATAU ORANG IMPOTEN. APA BEDA DI ANTARA KEDUANYA

Pertanyaan: 114670

Ada orang impoten yang hendak melamarku. Dia berkata bahwa dirinya adalah ‘waria’. Terus terang, saya tidak paham dengan ucapannya. Apakah saya terima atau tidak? Perlu diketahui bahwa saya mengalami kecelakaan semaca kecil dan saya tidak tahu, apakah saya masih gadis atau sudah tidak lagi?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama:

1.Yang dimaksud khuntsa menurut
bahasa adalah; Seseorang yang tidak jelas kelaminnya, apakah laki-laki atau
perempuan. Atau orang yang memiliki alat vital laki-laki dan wanita
sekaligus. Diambil dari kata-kata ‘Al-khanstu’ artinya adalah ‘lembut dan
pecah’. Sedangkan menurut istilah adalah orang yang memiliki dua alat vital,
laki-laki dan wanita. Atau orang yang tidak memiliki kedua-duanya sama
sekali, yang dimiliki hanyalah lubang tempat keluar kencing.

2.Adapun yang dimaksud
‘al-mukhannats’ adalah orang yang menyerupai wanita dalam kelembutan dan
perkataannya, serta pandangan dan gerak geriknya, atau semacamnya. Golongan
ini ada dua macam; Pertama, tabiatnya sudah seperti itu, maka tidak ada dosa
baginya. Kedua, tabiat asalnya
tidak seperti itu, tapi dia sengaja menyerupai wanita dalam gerak dan
ucapannya. Inilah yang disebutkan dalam beberapa hadits termasuk orang yang
dilaknat.

Maka ‘mukhannats’ tidak diragukan
kelelakiannya. Berbeda dengan khuntsa.

3. Khuntsa terbagi
menjadi, 1- Khuntsa musykil (sulit dibedakan) dan 2- Khuntsa ghairu musykil
(tidak sulit dibedakan).

1-Khuntsa ghairu musykil adalah
orang yang sudah jelas tanda kelelakiannya atau kewanitaannya. Maka dia
dikatakan ghairu musykil (tidak problem). Dia sebenarnya seorang laki-laki,
namun memiliki organ tambahan, atau sebenarnya seorang
wanita namun memiliki organ tambahan. Hukumnya dalam warisan dan semua hukum
lainnya adalah apa yang sudah tampak tanda-tandanya.

2-Khuntsa musykil adalah yang
tidak jelas tanda-tanda kelelakiannya atau kewanitaannya. Tidak diketahui
apakah dia laki-laki atau perempuan. Atau tanda-tandanya saling
bertentangan.

Khuntsa musykil terdiri dari dua macam;

Pertama, golongan yang memiliki dua alat
vital yang sama.

Kedua, golongan yang tidak memiliki kedua
alat vital, selain lobang saja.

4. Mayoritas ahli fiqih (fuqoha) berpendapat
bahwa khuntsa apabila belum baligh, jika dia kencing melalui zakarnya, maka
dianggap anak laki-laki. Adapun jika kencingnya melalui clitorisnya, maka
dia dianggap sebagai anak perempuan.

Adapun setelah baligh, maka ketetapan
terhadapnya dapat diketahui dengan tanda-tanda berikut ini; Jika tumbuh
jenggotnya, atau keluar mani dari zakarnya, atau menyukai wanita, maka dia
adalah seorang laki-laki. Demikian pula jika terdapat tanda-tanda
keberanian, kejantanan dan tahan menghadapi musuh, maka itu adalah tanda
kelelakian, sebagaimana disebutkan oleh As-Suyuthi yang mengutip pendapat
Al-Asnawi.

Adapun jika muncul buah dadanya, atau keluar
susu darinya, atau haid, atau mungkin dijimak, maka dia adalah wanita.
Apalagi jika dia melahirkan, maka sudah dipastikan bahwa dia adalah wanita.
Tanda ini didahulukan dari tanda-tanda sebelumnya. Adapun tanda
kecendrungan, digunakan apabila tanda-tanda sebelumnya tidak dapat
ditangkap. Apabila dia cenderung menyukai wanita, maka dia laki-laki.
Sedangkan jika cenderung menyukai laki-laki, maka dia adalah wanita.  Jika
dia berkata, saya menyukai kedua-duanya sekaligus, atau dia tidak memiliki
kecenderungan menyukai keduanya sama sekali, maka dia adalah musykil
(problem).”

Al-Mausu’ah Al-Fiqhiah, 20/21-23)

Kedua:

Al-Khunsta, maksudnya adalah khuntsa musykil,
adalah yang memiliki alat vital laki-laki dan perempuan. Dia ada dua macam;
golongan yang tidak dapat dikuatkan bahwa dia salah satu dari kedua jenis
dan golongan yang dapat diketahui. Di antara tandanya adalah; Kecenderungan.
Jika dia cenderung tertarik terhadap wanita, maka dia adalah laki-laki.
Sedangkan jika kecenderungannya tertarik dengan laki-laki, maka dia adalah
wanita.

Adapun orang impoten, dia adalah orang yang
memiliki alat vital laki-laki, akan tetapi karena sakit, atau faktor
kejiwaan dan emosi, atau sebab lainnya, dia tidak mampu berjimak. Berikutnya
tidak mungkin terjadi jimak dan bersenang-senang dengannya, atau tidak dapat
menjadi sebab melahirkan.

Dengan demikian jelaslah bahwa tidak semua yang lemah seksual
itu adalah khuntsa. Bisa jadi dia adalah orang yang lemah seksual karena
faktor penyakit yang tidak ada hubungannya dengan faktor ‘kebancian’. Namun
bisa jadi juga dia seorang khuntsa yang mampu melakukan aktifitas seksual
seperti jimak dan semacamnya.

A- Adapun masalah menikah dengan khuntsa, apabila dia
termasuk golongan yang dapat diketahui jenisnya, maka berdasarkan ketetapan
jenis kelamin untuknya, dia dinikahkan dengan orang yang berjenis kelamin
berbeda. Namun jika dia termasuk musykil (tidak dapat dikenali) maka tidak
sah perkawinannya. Sebabnya adalah kemungkinan dia adalah seorang laki-laki,
maka bagaimana dia dinikahkan dengan seorang laki-laki?! Atau kemungkinan
dia adalah wanita, maka bagaimana dia dinikahkan dengan seorang wanita
semisalnya?! Apabila dia cenderung menyukai wanita lalu dia mengaku sebagai
orang laki-laki, maka hal dapat sebagai petunjuk untuk menguatkan bahwa dia
laki-laki. Begitu pula sebaliknya.

Ibnu Qudamah, rahimahullah, berkata, “Khuntsa dapat terdiri
dari musykil (tidak dapat terdeteksi) atau ghairu musykil (terdeteksi). Jika
dia tergolong ghairu musykil (terdeteksi), misalnya jika tampak padanya
tanda-tanda kelelakian, maka dia adalah seorang laki-laki dan berlaku
baginya hukum laki-laki. Atau apabila terdapat padanya tanda-tanda wanita,
maka dia adalah wanita dan berlaku baginya hukum wanita.

Jika dia tergolong musykil (tidak terdeteksi) dan tidak
terdapat padanya tanda-tanda apakah laki-laki atau wanita, maka ulama di
kalangan kami berbeda pendapat. Al-Kharqi berkata, keputusannya kembali
kepada pengakuannya. Jika dia mengaku bahwa dirinya laki-laki, dan dirinya
merasa cenderung menyukai wanita, maka dia boleh menikahi wanita. Jika dia
mengaku bahwa dirinya wanita dan dia cenderung menyukai laki-laki, maka dia
dinikakan dengan laki-laki. Karena kesimpulan seperti itu tidak mungkin
dapat diraih kecuali dari dirinya sendiri dan tidak ada jawaban yang dapat
memuaskan jika bersumber dari selainnya. Maka pengakuannya diterima,
sebagaimana diterimanya pengakuan seorang wanita tentang haidnya dan masa
iddahnya. Sedangkan dia telah memperkenalkan dirinya bahwa dia cenderung
menyukai salah satu dari kedua jenis dan memiliki syahwat kepadanya. Karena
sesungguhnya Allah Ta’ala telah memberikan naluri kepada hewan jantan
menyukai hewan betina dan memiliki kecenderungan kepadanya. Kecenderungan
ini terdapat di dalam jiwa dan syahwat, tidak dapat ketahui oleh selainnya.
Sedangkan kita tidak dapat mengenal tanda-tandanya secara zahir. Maka
urusannya dikembalikan dengan perkara batin yang khusus dengan hukumnya.”

Al-Mughni, 7/619

Pendapat bahwa khuntsa musykil tidak boleh dinikahi adalah
pendapat jumhur ulama. Apa yang dilakukan kalau begitu jika ternyata dia
cenderung memiliki syahwat terhadap lawan jenis? Kita katakan kepadanya,
‘Bersabarlah, hingga Allah merubah anda kepada keadaan yang lebih baik dari
ini.”

Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, rahimahullah berkata,
“Kuntsa musykil  dalam bab nikah adalah, orang yang memiliki alat vital
laki-laki dan alat vital perempuan. Yaitu dia memiliki zakar dan vagina. Dan
belum ada kejelasan apakah dia laki-laki atau perempuan. Misalnya dia
kencinga kedua saluran tersebut. Tidak ada seseuatu yang mengkhususkannya,
apakah dia laki-laki atau wanita. Orang seperti ini tidak sah menikah,
apakah dengan perempuan atau laki-laki. Tidak boleh menikah dengan wanita,
karena kemungkinan dia adalah wanita, sedangkan wanita tidak boleh menikah
dengan wanita. Juga tidak boleh menikah dengan laki-laki, karena laki-laki
tidak boleh menikah sesama laki-laki. Maka dia tetap dalam keadaan demikian,
sampai perkaranya jelas.

Asy-Syarh Al-Mumti’, 12/160.

Beliau juga berkata,

“Jika ternyata dia memiliki syahwat, sedangkan sekarang dia
dilarang menikah, apa yang dilakukan?” Kami katakan kepadanya, “Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “

من استطاع منكم
الباءة فليتزوج فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم

“Siapa di antara kalian sudah mampu menikah, maka hendaklah
dia menikah. Karena hal tersebut lebih mampu menundukkan pandangan dan
menjaga kemaluan. Siapa yang tidak mampu, maka hendaklah dia berpuasa.”

Maka kami katakan kepadanya, “Berpuasalah.” Jika dia berkata,
“Saya tidak dapat berpuasa.” Maka mungkin baginya menggunakan obat yang
dapat mengurangi hal tersebut. Hal ini lebih baik daripada kita mengatakan,
“Keluarkan mani dengan cara tidak disyariatkan.”

Asy-Syarhul Mumti’, 12/161

B. Adapun tentang pernikahan orang impoten, tidak ada aturan
dalam syariat yang melarangnya. Akan tetapi dia harus menjelaskan kepada
orang yang hendak dia nikahi kenyataan dirinya. Jika tidak, maka dia
berdosa. Maka bagi isteri boleh membatalkan pernikahan. Karena kenikmatan
dan mendapatkan keturunan merupakan tujuan utama dari pernikahan. Dan
keduanya adalah hak bersama di antara kedua pasangan.

Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiah, 31/16:

Impontensi merupakan sebab yang membolehkan seorang isteri
menuntut berpisah dari suaminya, setelah memberikan tangguh selama setahun,
menurut jumhur ulama. Sedangkan pendapat sejumlah ulama dari mazhab Hambali,
seperti Abu Bakar, Al-Majd Ibnu Taimiah, mereka menyatakan bahwa wanita
tersebut dapat menuntut berpisah saat itu juga.

Jumhur ulama berpendapat dengan riwayat dari Umar radhiallahu
anhu yang memberi waktu kepada orang yang impoten selama setahun.

Karena maksud dari pernikahan bagi seorang wanita adalah
menjaga kehormatannya dan dia memiliki kedudukan sebagai orang yang sudah
menikah. Hilangnya tujuan dari akad pernikahan memberikan alasan bagi yang
melakukan akad untuk mencabut kembali akadnya. Mereka telah sepakah
dibolehkannya memilih dalam akad jual beli apabila terdapa cacat, karena
dengan demikian seseorang akan mengalami kerugian harta. Maka hilangnya
maksud pernikahan lebih utama untuk menjadi alasan membatalkannya. 

Akan tetapi, jika seorang wanita ridha menikah dengan orang
yang tak memiliki syahwat, baik karena penyakit, atau karena usia tua. Maka
tidak ada larangan baginya untuk menikah dengan tujuan pelayanan, teman,
nafkah, perlindungan atau tujuan pernikahan lainnya. Bagaimana hukumnya?

Syekh Ibrahim bin Muhammad bin Salim bin Dhuwayyan
Al-Hambali, rahimahullah, “Dibolehkan menikah bagi orang yang tidak punya
syahwat, karena impotensi, usia tua. Karena tidak ada dalil dalam syariat
yang melarangnya.”

Manarus-Sabil, 2/91

Orang impoten adalah orang yang tidak mampu melakukan
hubungan seksual. Atau mungkin dia memiliki syahwat, tapi tidak mampu. Hak
isteri untuk menggugurkan pernikahan dari suaminya yang lemah seksual
menjadi gugur apabila dia ridha tinggal bersamanya. 

Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah berkata,

“Jika sang wanita berkata, ‘Saya ridha dengannya walau dia
impoten. Maka menjadi gugurlah selamanya haknya untuk menuntut dibatalkannya
pernikahan.” Seperti misalnya seorang wanita ridha menikah dengan suami yang
impoten. Namun kemudian sang wanita tersebut membutuhkan penyaluran syahwat,
lalu dia menuntut pembatalan pernikahan. Maka kita katakan, ‘Engkau sudah
tidak dapat memilih membatalkan.” Seandainya dia berkata, ‘Ketika itu saya
tertarik kepadanya dan ridha, akan tetapi setelah sekian lama, sekarang saya
tidak menyukainya lagi. Maka kami katakan, “Tidak ada hak anda untuk
membatalkan sekarang, karena itu adalah kelalalian anda.”

Asy-Syarhul Mumti, 12/211. Lihat jawaban soal no.
10620,
102553.

Kesimpulannya, bahwa khuntsa, apabila tidak diketahui
hakekatnya, apakah dia laki-laki atau wanita, tidak boleh dinikahi. Apabila
jelas perkaranya, bahwa dia laki-laki, maka seorang wanita yang menikah
dengannya sah. Namun sebaiknya dalam kondisi ini dia berkonsultasi dengan
dokter yang dipercaya dan spesialis dalam ilmu genetik, atau semacamnya,
untuk memperjelas perkaranya dan sejauh mana kemungkinan menikah dengannya.

Adapun orang yang lemah secara seksual, atau bahkan tidak
mampu berhubungan seksual, maka menikah dengannya adalah sah. Akan tetap
wajib baginya untuk menjelaskan kondisinya sebelum menikah. Apabila jelas
perkaranya maka sah pernikahannya terhadap orang yang dapat hidup
berkeluarga dengan kondisi seperti itu. Misalnya sang wanita juga tidak
memiliki syahwat terhadap laki-laki. Adapun gadis belia yang ingin menikah
sebagaimana umumnya anak gadis, kami nasehatkan untuk tidak menikah dengan
orang seperti itu. Karena boleh jadi dia mengira dirinya sabar
menghadapinya, namun ternyata kemudian tidak sabar. Sehingga boleh jadi dia
berfikir melakukan perkara haram, sebagai pengganti apa yang tidak dia
dapat. Semoga Allah lindungi dari perbuatan tersebut.

Apapun alasannya, kami nasehatkan untuk tidak melakukan
sesuatu yang mengandung resiko dan terpedaya oleh dirinya dengan menerima
pernikahan dari orang seperti itu.

Wallahua’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android