Saya ingin tambahan pengetahuan tentang shalat istikharah, apa yang harus. Apa yang saya baca, bagaimana berdoa, berapa bilangan rokaatnya. Dan pahala apa yang didapatkannya. Apakah shalat ini dalam madzhab Hanbal, Syafi’i dan Hanafi itu caranya sama??
Shalat Istikharah
Pertanyaan: 11981
Table Of Contents
- Pembahasan pertama: pengertian Istikharah
- Pembahasan kedua: hukum istikharah
- Pembahasan ketiga: Hikmah disyariatkannya
- Pembahasan keempat: Sebabnya
- Pembahasan kelima: kapan memulai istikharah
- Pembahasan keenam: Berkonsultasi sebelum istikharah
- Pembahasan ketujuh: Bacaan dalam shalat istkhoroh
- Pembahasan kedelapan: Tempat doa Istikharah
Shalat istikharah adalah sunnah, disyariatkan oleh Nabi sallallahu alaihi wa sallam bagi orang yang ingin melakukan suatu amalan akan tetapi dia ragu-ragu di dalamnya. Pembahasan tentang shalat istikharah akan dibahas dengan 8 point berikut ini:
- Pengertiannya
- Hukumnya
- Hikmah disyariatkannya
- Sebab-sebabnya
- Kapan mulai istikharah
- Meminta pendapat (musyawarah) terlebih dahulu sebelum istikharah
- Apa yang dibaca di istikharah
- Kapan doanya?
Pembahasan pertama: pengertian Istikharah
Istikharah dari sisi bahasa adalah meminta kebaikan pada sesuatu. Dikatakan ‘memintalah kebaikan kepada Allah, maka akan diberi kebaikan untuk anda.
Semenetara dari sisi istilah adalah meminta pilihan maksudnya meminta agar memalingkan keinginan kuat apa yang menjadi pilihannya disisi Allah dan yang lebih utama. Dengan shalat atau doa yang ada dalam istikharah.
Pembahasan kedua: hukum istikharah
Para ulama bersepakat (ijmak) bahwa istikharah itu sunah. Dan dalil akan disyariatkannya adalah apa yang diriwayatkan oleh Bukhori dari Jabir radhiallahu’anhu berkata:
“Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam mengajarkan kami istikharah dalam seluruh urusan sebagaimana beliau mengajarkan kepada kami surat dalam Al-Qur’an. Beliau bersabda, ‘Jika kalian berkeinginan kuat pada suatu perkara, maka rukuklah (shalatlah) dua rokaat yang bukan wajib, kemudian berdoalah,
اللَّهُمَّ إنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ , وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ , وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلا أَقْدِرُ , وَتَعْلَمُ وَلا أَعْلَمُ , وَأَنْتَ عَلامُ الْغُيُوبِ , اللَّهُمَّ إنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ : عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ , فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ , اللَّهُمَّ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ : عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ , فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ ارْضِنِي بِهِ (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي مَوَاضِعَ مِنْ صَحِيحِهِ، رقم 1166 وَفِي بَعْضِهَا ثُمَّ رَضِّنِي بِهِ)
”Ya Allah Tuhanku, sesungguhnya saya beristikharah dengan ilmu-Mu, dan meminta kemampuan kepada-Mu dengan kemampuan-Mu, dan saya memohon dengan keutamaan-Mu yang agung. Karena sesungguhnya Engkau yang Maha Mampu sementara saya tidak mampu, Engkau yang Maha mengetahui sementara saya tidak mengetahuinya. Dan Engkau adalah Yang Mengetahui hal-hal yang ghoib. Ya Allah Tuhanku, kalau sekiranya Engkau mengetahui bahwa urusan ini baik untuk ku, untuk agamaku, dan kehidupanku dan akibat dari urusanku atau mengatakan, ‘baik sekarang atau nanti.’ maka takdirkan untukku, mudahkan untukku, kemudian berkahi aku di dalamnya. Ya Allah Tuhanku, kalau Engkau mengetahui bahwa urusan ini buruk bagiku, dan untuk agamaku, kehidupanku dan akibat urusanku atau mengatakan disegerakan urusaanku atau diakhirkan. Maka palingkan dia dariku dan palingkan diriku darinya, dan takdirkan yang baik bagiku kemudian berikan keredhoan untukku dengannya..”
Lalu hendaknya disebutkan kebutuhannya.” (HR. Bukhori dibeberapa tempat di shahihnya, (1166) dalam sebagian teksnya, ‘Kemudian jadikan aku ridha dengannya.’)
Pembahasan ketiga: Hikmah disyariatkannya
Hikmah disyariatkan istikharah adalah menyerahkan urusan secara total kepada Allah, dan tidak sombong dengan kekuatan sendiri serta pasrah kepada-Nya subhanahu dalam rangka menggabungkan diantara kebaikan dunia dan akhirat. Untuk itu semua dibutuhkan mengetuk pintu Raja (Allah Subahanahu wa ta’ala). Tidak ada yang lebih bermanfaat dibandingkan dengan shalat dan doa. Karena di dalamnya ada pengagungan kepada Allah, menyanjung kepada-Nya serta merendah kepadanya baik ucapan maupun sikap. Kemudian setelah istikharah, dia melakukan apa yang terasa nyaman di dada.
Pembahasan keempat: Sebabnya
Sebabnya istikharah, dalam empat madzhab disepakati bahwa istikharah dilakukan pada urusan yang seorang hamba tidak mengetahui sisi kebenaran di dalamnya. Sementara kalau yang sudah dikenal kebaikan atau keburukan seperti berbagai macam ibadah, melakukan kebaikan dan kemaksiatan serta kemungkaran, maka tidak membutuhkan istikharah di dalamnya. Kecuali kalau dia ingin penjelasan kekhususan waktu seperti haji pada tahun ini karena ada kemungkinan ada musuh atau fitnah. Dan teman-temannya apakah dia akan menemani si fulan atau tidak? Dari sini maka istikharah tidak dibutuhkan dalam hal yang wajib, haram atau makruh. Akan tetapi boleh pada perkara sunnah dan mubah, itupun bukan pada pokoknya karena perkara sunah asalnya memang dianjurkan. Akan tetapi ketika terjadi kontradiksi maksudnya kalau pada dirinya terjadi kontradiksi mana di antara keduanya yang dimulai duluan atau ditunda. Adapun kalau yang mubah, maka pada asalnya (dianjurkan) berisikhoroh.
Pembahasan kelima: kapan memulai istikharah
Hendaknya orang yang akan beristikharah menjernihkan hatinya, tidak berkeinginan kuat pada urusan tertentu. Maka sabda Nabi sallallahu alaihi wa salalm dalam hadits, “Kalau seseorang ingin melakukan suatu urusan.’ Memberikan isyarat bahwa istikharah permulaannya ketika terbetik dalam hati, maka akan nampak keberkahan dalam shalat dan doa untuk suatu kebaikan. Berbeda dengan suatu urusan yang sudah mantap pada dirinya dan telah kuat keinginan dan kebutuhannya. Maka akan condong dan cinta pada yang diinginkannya itu. Dikhawatirkan tidak nampak baginya yang tepat karena lebih dominan kecenderungannya terhadap apa yang sudah menjadi keinginan kuatnya. Ada kemungkinan maksudnya itu adalah keinginan kuat. Karena sekedar lintasan pikiran itu tidak kokoh maka tidak akan berjalan terus kecuali apa yang telah menjadi kuat keinginannya untuk dilakukan tanpa ada kecondongan. Kalau tidak, maka seseorang akan istikharah setiap ada lintasan pikiran, itu adalah hal yang dia tidak mampu lakukan dan menghabiskan waktunya.
Pembahasan keenam: Berkonsultasi sebelum istikharah
Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dianjurkan berkonsultasi terlebih dahulu sebelum beristikharah dari orang yang diketahui dapat memberi nasehat, berilmu dan pengalaman dan terpercaya agama dan pengetahuannya. Allah ta’ala berfirman:
وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ
“Maka bermusyawarahlah pada suatu urusan.
Kalau dia meminta pendapat dan nampak baginya suatu kemaslahatan, maka waktu itu dia beristikharah kepada Allah akan hal itu,
Ibnu Hajar Al-Haistami mengatakan, “Hendaknya mendahulukan musyawarah dahulu, jika ketenangan mengikuti pendapat orang yang memberi masukan lebih kuat ke jiwa dibanding mengikuti kata hatinya dan lintasan pikirannya. Namun jika dia telah mantap dan obyektif dengan keinginannya, maka bisa dahulukan istikharah.
Pembahasan ketujuh: Bacaan dalam shalat istkhoroh
Bacaan dalam shalat istikharah ada tiga pendapat:
- Pendapat Hanafiyah, Malikiyan dan Syafi’iyyah mengatakan, “Dianjurkan membaca pada rakaat pertama setelah membaca Al-Fatihah adalah membaca ‘قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ ‘ (Surat Al-Kafirun). Dan pada rakaat kedua membaca ‘قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ‘ (surat Al-Ikhlas). An-Nawawi rahimahullah menyebutkan sebab hal itu seraya mengatakan, “Bertepatan membaca dua surat tersebut dalam shalat, maksudnya adalah agar ikhlas dalam keinginan dan jujur dalam menyerahkan (urusannya) serta memperlihatkan kelemahannya. Dibolehkan menambah dari dua surat tadi, surat lain dalam Al-Qur’an Karim.
- Sebagian ulama salaf pada rakaat pertama shalat istikharah menganjurkan setelah membaca Al-Fatihah menambah bacaan dengan firman Allah ta’ala:
وَرَبُّك يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ . مَا كَانَ لَهُمْ الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ . وَرَبُّك يَعْلَمُ مَا تُكِنُّ صُدُورُهُمْ وَمَا يُعْلِنُونَ . وَهُوَ اللَّهُ لا إلَهَ إلا هُوَ لَهُ الْحَمْدُ فِي الْأُولَى وَالْآخِرَةِ وَلَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ .
“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia). Dan Tuhanmu mengetahui apa yang disembunyikan (dalam) dada mereka dan apa yang mereka nyatakan. Dan Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, bagi-Nyalah segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nyalah segala penentuan dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Qasas: 68-70)
Sementara pada rakaat kedua membaca firman Allah ta’ala:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمْ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)
- Sementara dalam madzhab Hanabilah dan sebagian ulama fikih, mereka mengatakan, “Tdak perlu membaca ayat tertentu dalam shalat istikharah.”
Pembahasan kedelapan: Tempat doa Istikharah
Ulama Hanafiyah, Malaikiyah, Syafiiyyah dan Hanabilah mengatakan, “Doanya setelah shalat.” Hal ini sesuai dengan nash hadits yang mulia dari Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam. (Silahkan melihat kitab ‘Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah vol. 3 hal. 241)
Syeikhul Islam dalam kitab ‘A-Fatawa Al-Kubro, (2/265) mengatakan, “Permasalahan dalam doa Istikharah, apakah dibaca dalam shalat? Ataukah setelah salam?
Jawabannya adalah boleh dibaca doa dalam shalat istikharah dan lainnya sebelum dan sesudah salam. Sementara doa sebelum salam itu lebih utama. Karena Nabi sallallahu alaihi wa sallam memperbanyak doanya sebelum salam. Orang yang shalat sebelum salam itu belum selesai. Dan ini yang lebih utama.
Wallahuta’ala a’lam.
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam
Tema-tema Terkait