Mohon kesediaannya memberikan tafsir pada ayat 1-3 surat An-Nur. “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.”
TAFSIR FIRMAN ALLAH TA’ALA: “LAKI-LAKI YANG BERZINA TIDAK MENGAWINI MELAINKAN PEREMPUAN YANG BERZINA, ATAU PEREMPUAN YANG MUSYRIK.”
Pertanyaan: 122639
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Ulama tafsir berbeda pendapat terkait firman Allah Ta’ala, “”Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (QS. An-Nur: 3) Tentang apakah laki-laki yang baik-baik diharamkan menikahi wanita pezina sebelum taubatnya atau wanita yang baik-baik diharamkan laki-laki pezina sebelum taubatnya. Dalam masalah ini terdapat dua pendapat;
Pendapat Pertama: Ayat tersebut menunjukkan keharaman. Ini merupakan pendapat Ahmad bin Hambal rahimahullah, sebagaimana kami dapatkan dalam Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 7/108. Syaikhul Islam, Ibnu Taimiah dan muridnya Ibnu Qoyim menguatkan pendapat ini dengan dalil-dalil yang banyak. Lihat Majmu Fatawa, 15/315, 32/113, Ighatsatul-Lahafan, 1/65. Telah disebutkan di situs kami ini dipilihnya pendapat ini dalam jawaban soal no. 85335, 96460, 104492. Begitu pula halnya ucapan Imam Syafi’I rahimahulah. Hanya saja Imam Syafi’i berkata bahwa hukum tersebut mansukh (terhapus), lalu beliau membolehkan pernikahan dengan laki-laki pezina dan wanita pezina.
Beliau rahimahullah berkata, “Ahli tafsir berbeda pendapat dalam masalah dengan perbedaan yang mencolok. Yang lebih dekat menurut kami adalah apa yang dinyatakan oleh Ibnu Musayyab bahwa hukum ini telah terhapus. Dihapus oleh ayat, “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu,” maka wanita tersebut termasuk orang-orang yang sendirian di kalangan kaum muslimin. Ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Ibnu Musayyab insya Allah. Dalilnya terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah.
Al-Umm, 5/158
Pendapat Kedua; Pada dasarnya ayat tersebut tidak menunjukkan keharaman. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Al-Hafiz Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini merupakan khabar (informasi) dari Allah Ta’ala bahwa seorang laki-laki pezina tidak berjimak kecuali dengan wanita pezina atau wanita musyrik. Maksudnya adalah tidak ada yang menyambut keinginannya untuk berzina kecuali wanita pezina yang suka maksiat atau wanita musyrik yang tidak memandang keharaman zina.
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, “Yang dimaksud bukanlah nikah, tapi jimak. Maka maknanya adalah, tidaklah laki-laki pezina berzina kecuali dengan wanita pezina.” Sanadnya shahih, juga diriwayatkan darinya dari jalur yang lain. Begitu juga telah meriwayatkan hal serupa Mujahid, Ikrimah, Said bin Zubair, Urwah bin Zubai, Adh-Dhahhak, Makhul, Muqatil bin Jiyan serta yang lainnya.
Tafsir Al-Quranul Adzim, 6/9
Ketika mendiskusikan kedua pendapat ini, Al-Amin Asy-Syinqity dalam Kitabny Adhwa’ul Bayan, 5/417-428, menjelaskan dan munguraikannnya panjang lebar. Kami akan ketengahkan perkataannya di sini dengan sedikit diringkas, “Termasuk macam-macam penjelasan yang terkandung dalam Kitab yang diberkahi ini, pendapat sebagian ulama dalam satu ayat, dan pada ayat yang sama terdapat petunjuk yang menunjukkan tidak benarnya pendapat tersebut. Di antaranya adalah ayat yang mulia ini. Penjelasannya adalah, pada ulama berbeda pendapat dengan apa yang dimaksud dengan pernikahan dalam ayat ini. Sekelompok ulama berpendapat bahwa yang dimaksud ‘nikah’ dalam ayat ini adalah bersetubuh dalam arti berzina. Sementara sekelompok ulama lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan nikah dalam ayat ini adalah ‘akad pernikahan’. Maka mereka berpendapat tidak boleh bagi orang baik-baik menikahi wanita pezina, begitu juga sebaliknya. Pendapat ini, bahwa yang dimaksud nikah dalam ayat ini adalah ‘menikah’ bukan bersetubuh, pada ayat yang sama terdapat petunjuk yang menunjukkan ketidabenarannya. Yaitu petunjuk disebutkannya laki-laki musyrik dan wanita musyrik dalam ayat ini. Karena orang laki-laki muslim tidak boleh menikah dengan wanita musyrik. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَلاَ تَنْكِحُواْ الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ (سورة البقرة: 221)
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.” (QS. Al-Baqarah: 221)
Juga firman Allah Ta’ala,
لاَ هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلاَ هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ (سورة الممتحنة: 10)
“Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS. Al-Mumtahanah: 10)
Juga firman Allah Ta’ala,
وَلاَ تُمْسِكُواْ بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ
“Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir.” (QS. Al-Mumtahanah: 10)
Demikian pula, wanita muslimah pezina, tidak dihalalkan menikah dengan laki-laki musyrik, berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَلاَ تُنكِحُواْ الْمُشِرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُواْ
“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.” (QS. Al-Baqarah: 221)
Menikah dengan wanita musyrik dan laki-laki musyrik tidak halal sama sekali. Maka hal tersebut menjadi petunjuk bahwa yang dimaksud ‘nikah’ (dalam ayat tersebut) adalah bersetubuh yang berarti berzina, bukan akad nikah. Karena jika diartikan akad nikah menjadi tidak sesuai dengan disebutkannya laki-laki musyrik dan wanita musyrik.
Sisi kedua adalah pendapat mereka bahwa yang dimaksud dengan ‘nikah’ dalam ayat tersebut adalah ‘perkawinan’. Hanya saja, ayat ini, ‘ Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina’ telah dimansukh (dihapus) dengan firman Allah Ta’ala, “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu.” (QS. An-Nur: 32). Yang berpendapat bahwa ayat tersebut telah dihapus adalah Sa’id bin Musayyab dan Asy-Syafi’i.
Al-Qurthubi dalam tafsirnya berkata tentang ayat ini, “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan para shahabatnya bahwa yang dimaksud ‘nikah’ dalam ayat ini adalah bersetubuh. Dan Ibnu Abbas radhiallahu anhuma termasuk shahabat yang paling mengetahui tafsir Al-Quranul Azim serta tidak diragukan lagi ilmunya tentang bahasa Arab. Maka pendapatnya yang mengatakan bahwa yang dimaksud ‘nikah’ dalam ayat ini adalah bersetubuh, bukan akad, menunjukkan bahwa hal tersebut berlaku dalam gaya bahasa yang fasih. Maka dugaan bahwa penafsiran ini (mengartikan ‘nikah’ dalam ayat tersebut sebagai ‘setubuh’) tidak sah dari sudut pandang bahasa Arab, terbantahkan oleh pendapat Ibnu Abbas.
Sekelompok ulama lain ada yang berpendapat, tidak boleh menikahkan seorang laki-laki pezina dengan wanita baik-baik, tapi tidak sebaliknya (boleh menikahkan laki-laki baik-baik dengan wanita pezina). Ini adalah pendapat dalam mazhab Ahmad. Diriwayatkan pula pendapat tersebut dari Al-Hasan dan Qatadah. Mereka yang berpendapat seperti ini berdalil dengan beberapa ayat dan hadits.
Di antara ayat yang mereka jadikan dalil adalah ayat yang sedang kita bahas ini, yaitu firman Allah Ta’ala,
الزَّانِى لاَ يَنكِحُ إِلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لاَ يَنكِحُهَا إِلاَّ زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرّمَ ذالِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.”
Mereka berkata, “Yang dimaksud ‘nikah’ dalam ayat ini adalah perkawinan. Allah telah menjelaskan tentang pengharamannya dalam firman-Nya, ” dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” Mereka berkata, ‘Isyarat dengan kata ‘yang demikian itu’ kembali kepada perkawinan laki-laki pezina dengan selain wanita pezina dan wanita musyrik. Berarti secara tekstual Al-Quran telah menyatakan diharamkannya menikahkan laki-laki pezina dengan wanita baik-baik, begitu juga sebalinya.
Di antara ayat yang mereka jadikan dalil adalah firman Allah Ta’ala,
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِى أَخْدَانٍ (سورة المائدة: 5)
(Dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. (QS. Al-Maidah: 5)
Mereka berkata, firman Allah Ta’ala, ” dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina” maksudnya adalah menjaga dirinya dengan tidak melakukan zina. Maka, pemahaman kebalikan dari ayat ini adalah tidak dibolehkan menikahkan seorang laki-laki pezina dengan wanita mukmin yang menjaga kehormatannya, tidak juga dengan wanita yang baik-baik dari kalangan Ahli Kitab.
Firman Allah Ta’ala,
فَانكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَءاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَات غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلاَ مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ (سورة النساء: 25)
“Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; (QS. An-Nisa: 25)
Yang dimaksud dengan ‘wanita yang memelihara diri bukan pezina’ adalah wanita yang menjaga kehormatannya, bukan wanita pezina. Maka pemahaman kebalikan dari ayat ini adalah bahwa seandainya mereka wanita pezina yang tidak memelihara dirinya, niscaya tidak boleh menikah dengannya.
Termasuk dalil dari pendapat ini adalah bahwa semua hadits yang diriwayatkan tentang turunnya ayat,
الزَّانِى لاَ يَنكِحُ إِلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik.”
Semuanya berbicara tentang akad nikah, tidak satupun yang berbicara tentang bersetubuh. Sedangkan yang telah ditetapkan dalam Ushul fiqh, bahwa gambaran yang terdapat dalam sebab turunnya ayat harus menjadi bagian dari hukum dalam ayat tersebut. Begitu pula terdapat dalam sunnah yang mendukung benarnya pendapat mereka dalam ayat tersebut,yaitu bahwa yang dimaksud ‘nikah’ dalam ayat tersebut adalah ‘perkawinan’ dan bahwa seorang laki-laki pezina tidak boleh menikah kecuali dengan wanita pezina semacamnya.
Abu Hurairah radhiallahu anhu meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliau berkata,
الزاني المجلود لا ينكح إلا مثله
“Seorang pezina laki-laki yang telah di(hukum) cambuk, tidak boleh menikah kecuali dengan (wanita pezina) semisalnya.”
Ibnu Hajar berkata dalam Kitab Bulughul Maram dalam hadits Abu Hurairah ini; Riwayat Ahmad dan Abu Daud, para perawinya tsiqoh.
Adapun hadits yang diriwayatkan tentang sebab turunnya ayat ini. Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr bin Ash, bahwa seorang laki-laki muslim minta izin kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang seorang wanita yang dikenal dengan nama Ummu Mahzul, dia dikenal sebagai pezina. Wanita tersebut minta dia menikahinya dengan syarat dia (sang wanita) yang memberi nafkah kepadanya. Maka ketika dia minta izin kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, atau menyebutkan permasalahannya, Nabi membaca ayat, “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik.”
Di antaranya juga hadits Amr bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya, bahwa Martsab bin Abu Martsad Al-Ghanawi membawa tawanan di Mekah. Dahulu di Mekah terdapat pelacur yang dipanggil ‘Inaq’ yang dahulunya merupakan kekasihnya. Dia berkata, “Maka aku datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, lalu aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah aku boleh menikah dengan Inaq?’ Beliau diam tidak menjawabku, lalu turun ayat,
وَالزَّانِيَةُ لاَ يَنكِحُهَا إِلاَّ زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ
“Wanita pezina tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik.
Maka kemudian beliau memanggilku, lalu membacanya di hadapanku. Lalu beliau berkata, “Jangan nikahi dia.” Riwayat Abu Daud, Nasa’I dan Tirmizi. Dia berkata, ‘Hadits ini hasan gharib, tidak kami ketahui kecuali jalur periwayat ini.”
Mereka berkata, “Hadits-hadits ini dan semacamnya menunjukkan bahwa yang dimaksud ‘nikah’ pada ayat الزَّانِى لاَ يَنكِحُ إِلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً adalah perkawinan, bukan bersetubuh. Dan sebab turunnya ayat seudah semestinya termasuk bagian dari hukum dalam ayat tersebut, sebagaimana telah ditetapkan dalam ilmu Ushul Fiqh.
Ibnu Qoyim berkata dalam Kitab Zadul Ma’ad, redaksinya sebagai berikut, “Adapun menikahi wanita pezina, telah Allah tegaskan keharamannya dalam surat An-Nur. Dia menjelaskan bahwa yang menikahinya, kalau tidak dia seorang laki-laki pezina atau laki-laki musyrik. Maka, dia boleh jadi berpegang teguh dengan hukum Allah Ta’ala dan meyakini kewajibannya atau tidak. Apabila dia tidak melaksanakannya dan tidak meyakininya, maka dia musyrik. Apabila dia melaksanakannya dan meyakini kewajibannya, namun dia menyalahinya, maka dia pezina. Kemudian Allah menjelaskan keharamannya, ” dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”
Pendapat bahwa ayat tersebut dihapus oleh ayat, ‘Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu.” (QS. An-Nur: 32), tak diragukan lagi sebagai pendapat yang paling lemah. Lebih lemah dari itu, pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud ‘nikah’ adalah zina. Karena, dengan demikian, makna ayatnya adalah ‘Pezina laki-laki tidak berzina kecuali dengan wanita pezina dan musyrik. Pezina wanita tidak bezina kecuali laki-laki pezina dan musyrik. Kalamullah harus dipelihara dari pendapat seperti itu. Begitu pula memahami ayat tersebut sebagai wanita pelacur dari kalangan musyrik, adalah pendapat yang sangat jauh maknanya dari segi bahasa dan susunan kalimatnya. Bagaimana tidak, karena Allah Ta’ala membolehkan menikahi orang-orang merdeka dan budak semata-mata dengan syarat terjaga kehormatan.
Dia berfirman, “Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya,” (QS. An-Nisa: 25)
Allah membolehkan menikahinya karena kondisi tersebut, bukan karena yang lainnya. Petunjuk ini bukan berdasarkan pemahaman, tapi asal dari bersetubuh adalah haram, maka membolehkannya hanya terbatas pada apa yang telah dijelaskan dalam syariat. Selain ini hukum tetap kembali kepada asalnya, yaitu haram.” Demikin kesimpulan dari pernyataan Ibnu Qoyim.
Dalil-dalil yang telah kami sebutkan adalah argumen orang-orang yang berpendapat dilarangnya menikahkan laki-laki pezina dengan wanita yang baik-baik, begitu juga sebaliknya. Jika anda telah mengetahui pendapat-pendapat para ulama dan dalil-dalil mereka tentang pernikahan perempuan dan laki-laki pezina, maka berikutnya kita akan mendiskusikan dalil-dalil mereka.
Adapun ucapan Ibnu Qoyim, bahwa pemahaman ‘nikah’ sebagai ‘bersetubuh’ hendaknya Kitabullah dipelihara dari pemahaman semacam itu, terbantahkan oleh pendapat Ibnu Abbas, padahal dia adalah orang yang memahami bahasa Arab dan makna Al-Quran, yang berdasarkan riwayat shahih darinya bahwa ‘nikah’ yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah bersetubuh. Seandainya makna seperti ini Kitabullah harus dipelihara darinya, niscaya Ibnu Abbas telah lebih dahulu menjaganya. Namun dia tidak mengatakan demikian dan tidak akan tersembunyi baginya jika memang Al-Quran hendaknya dipelihara dari pemahaman secaman itu.
Ibnu Al-Arabi berkata terkait penafsiran Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud nikah tersebut adalah zina, ‘Ini adalah makna yang benar’. Demikian Al-Qurthubi mengutip darinya.
Adapun perkataan Said bin Musayyab dan Asy-Syafii, bahwa ayat
الزَّانِى لاَ يَنكِحُ إِلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً
telah dimansukh (dihapus) oleh ayat
( وَأَنْكِحُواْ الايَامَى مِنْكُمْ ).
Kemungkinan tersebut cukup jauh. Karena ketetapan yang terdapat dalam kaidah mazhab Syafi’i, Malik dan Ahmad adalah bahwa dalil yang bersifat khusus tidak dapat dihapus oleh dalil yang bersifat umum, dan bahwa dalil yang khusus secara mutlak masuk dalam perkara yang umum. Apakah diturunkannya lebih dahulu atau belakangan. Sebagaimana diketahui bahwa ayat
( وَأَنْكِحُواْ الأيَامَى مِنْكُمْ )
lebih bersifat umum secara mutlak ketimbang ayat
( الزَّانِى لاَ يَنكِحُ إِلاَّ زَانِيَةً )
maka pendapat yang mengatakan bahwa ayat tersebut dihapus, terlarang dengan sendirinya berdasarkan prinsip yang telah ditetapkan dalam mazhab imam yang tiga tersebut. Akan tetapi hal tersebut dibolehakn berdasarkan kaidah yang terdapat dalam mazhab Hanafi rahimahullah. Sebagaimana telah kami jelaskan dalam surat Al-An’am.
Sudah dijawab tentang pendapat Said bin Musayyab dan Syafii tentang penghapusan ayat tersebut bahwa keduanya memahaminya dari tanda yang terdapat dalam ayat, yaitu bahwa orang merdeka yang belum menikah tidak dibatasi dengan kesalehan. Pembatasan kesalehan tersebut hanya menjadi batas bagi hamba laki-laki maupun perempuan. Karena itu Allah berkata setelah ayat tersebut
( وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمائِكُمْ )
Dia berkata, batasannya adalah ‘Allah memaafkan dan mengampuninya.’
Ayat yang mulia ini merupakan ayat yang paling sulit pemahamannya. Karena jika memahami nikah sebagai perkawinan, tidak sesuai dengan kata ‘wanita musyrik’ dan ‘laki-laki musyrik’. Sedangkan jika ‘nikah’ dipahami sebagai ‘bersetubuh’ tidak sesuai dengan hadits-hadits yang berkaitan dengan ayat tersebut. Maka dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa yang dimaksud dengan ‘nikah’dalam ayat tersebut adalah perkawinan.
Saya tidak mengetahui solusi yang jelas tentang pemahaman ayat ini kecuali sedikit mengabaikan beberapa hal. Yaitu bahwa pendapat yang paling shahih menurut kalangan ahli ushul, sebagaimana diterangkan oleh Abul Abbas Ibnu Taimiah dalam tesisnya dalam ilmu Al-Quran dan dia katakan sebagai pendapat ulama mazhab yang empat, bahwa dibolehkan memaknai kalimat yang memiliki makna berbeda dengan dua makna atau beberapa makna. Maka jika dikatakan,
‘عدا اللصوص البارحة على عين زيد’
(Para pencuri itu malam tadi telah melakukan kejatan terhadap ‘mata’ zaid) maka dapat kita katakan bahwa yang dimaksud adalah bahwa mereka telah melukai mata penglihatannya, merusak mata airnya yang mengalir dan mencuri ‘mata’ yang terdapat dalam emas dan peraknya.
Jika hal tersebut telah anda terapkan, maka ketahuilah bahwa kata ‘nikah’ memiliki kandungan makna yang sama antara bersetubuh dan perkawinan. Berbeda dengan yang mengaku bahwa hakekat maknanya adalah salah satunya saja, sedang makna lainnya bersifat majaz (kiasan), sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya.
Jika dibolehkan satu kata mengandung dua makna yang berbeda, maka kata ‘nikah’ dalam ayat ini dapat bermakna perkawinan dan bersetubuh sekaligus. Sedangkan disebutkannya wanita musyrik dan laki-laki musyrik dalam penafsiran kata ‘nikah’ dengan bersetubuh saja, bukan akad perkawinan. Ini yang disebut sebagai tindakan sedikit mengabaikan prinsip tadi, sebagaimana telah kami nyatakan. Ilmu hanya di sisi Allah Ta’ala. Mayoritas ulama berpendapat dibolehkannya menikah dengan wanita pezina, sedangkan yang melarangnya lebih sedikit. Dalil-dalil semua pihak telah saya jelaskan.
Ketahuilah bahwa mereka yang berpendapat dibolehkannya orang laki-laki baik-baik menikah dengan wanita pezina, tidak berarti sang suami pezina tersebut yang dikenal orang baik, sebagai dayyuts, karena dia menikahinya semata-mata untuk melindunginya dan menjaganya serta mencegahnya dari perbuatan nista, yaitu dengan memantaunya selalu, dan jika dia keluar, pintu rumah ditutup, diringi kecemburuan yang sangat serta menghindar dari dari hal yang dapat menimbulkan prasangka. Jika terjadi sesuatu diluar pengetahuannya sementara dia telah sungguh-sungguh memeliharanya, maka tidak ada dosa padanya, dan dia tidak disebut dayyuts, sebagaimana diketahui.
Lebih baiknya menurut kami dalam masalah ini adalah bahwa seorang muslim seyogyanya tidak menikah kecuali dengan wanita yang baik-baik dan menjaga kehormatannya, berdasarkan ayat-ayat dan hadits yang telah kami sebutkan. Hal ini dikuatkan dengan hadits
فاظفر بذات الدين تربت بداك
“Pilihlah wanita yang memiliki agama yang baik, niscaya kamu beruntung.” Wallahua’lam. Demikian penjelasan dari Syekh Amin Asy-Syinqithy, rahimahullah.
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam