Unduh
0 / 0

HUKUM MENGHIAS MASJID DAN HUKUM MENULIS DOA DAN AYAT (AL-QUR’AN) DI DINDINGNYA

Pertanyaan: 127987

Kami sekarang dalam proses pembangunan dan renovasi masjid yang berada di daerah kami, di Amerika. Sebagian donatur (muhsinin) menawarkan kepada kami akan menanggung hiasan dinding dalam masjid dengan sebagian ayat-ayat Qur’an serta hiasanan agama. Yang mana nantinya –dengan izin Allah- jauh dari pandangan orang-orang shalat –agar tidak mengganggu atau melalaikan dari shalat, sebagaimana lukisan ini merupakan ungkapan sebagian doa-doa, ayat-ayat untuk membantu bagi yang belum hafal doa-doa dan ayat-ayat (bisa) langsung membacanya di dinding. Lebih dari itu akan akan menambah keindahan masjid yang dapat diperkenalkan kepada sebagian pengunjung non muslim bagaimana umat Islam mempunyai perhatian terhadap tempat-tempat ibadah. Disamping itu, dengan adanya ornamen khusus, akan menarik antara anak-anak kita terhadap bangunan islami. Apalagi mereka hidup di sini tidak mengenal sedikit pun tentang wawasan bangunan. Apa hukum masalah ini?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama:

Memakmurkan masjid, membangun, mengagungkan
dan memeliharanya termasuk ibadah yang agung dan pendekatan yang mulia di
sisi Allah. Namun, bukan merupakan memakmurkan (masjid) yang diharapkan
dengan menulis ayat, hadits, doa-doa di dinding. Karena maksud tulisan
adalah hiasan untuk pamer, yang mengganggu orang-orang shalat dalam
shalatnya. Menjadikan masjid (seperti) museum, tempat-tempat rekreasi.
Sebagaimana yang terjadi –amat disayangkan sekali- di kebanyakan negara. Hal
ini bukan sebagai kebanggaan umat Islam. Akan tetapi prilaku dia menunjukkan
kecenderungan kepada dunia, dan ingin mengungguli bangunan orang kafir, atau
memamerkan pemerintah lain. Sesungguhnya memakmurkan masjid menurut kami
adalah mendirikan shalat, beri’tikaf, mengajar dan zikir kepada Allah. Bukan
dengan menghiasi berbagai macam bebatuan, tidak juga dengan berbagai macam
warna cat, tidak juga berbagai ornamen bentuk tulisan ayat, dan ditulis di
dalamnya hadits dan doa-doa.

Kedua:

Menggantungkan ayat-ayat Qur’an di dinding
rumah atau masjid adalah bid’ah makruh. Imam Malik rahimahullah ditanya
tentang masjid, apakah dimakruhkan menulis di kiblat (dinding) dengan cat
seperti ayat kursi, ‘qul huwallahu ahad, Al-Mu’awizataini (Al-falaq dan
An-Nass) atau yang semisalnya. Beliau mengatakan, saya memakruhkan untuk
menulis sesuatu dari Al-Qu’ran dan membuat dekorasi (ornamen) di kiblat
masjid, dan (beliau menambahkan dengan) berkata bahwa hal itu mengganggu
orang shalat. Begitu juga hendaklah menyingkirkan apa yang mereka perbuat
dengan dengan menempelkan tiang ke dinding kiblat, apa yang ditulis di
dinding dan tiang. Begitu juga hendaknya menyingkirkan sobekan kiswah (kain
penutup) Ka’bah yang ditempelkan di mihrab dan lainnya. Karena kesemuanya
itu termasuk bid’ah dan  belum pernah dilakukan orang sebelumnya.
(Al-Madkhol , Ibnu Muflih, 2/215)

Karena Al-Qur’an diturunkan oleh Allah Ta’ala
bukan sebagai hiasan di dinding. Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Tidak
diperkenankan menulis Al-Qur’an dengan sesuatu yang najis. Dan dimakruhkan
menulisnya di dinding menurut (madzhab) kami.” (At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil
Qur’an, hal. 110)

Ibnu Hamam Al-Hanafi juga berkata:
“Dimakruhkan menulis Qur’an dan Nama-nama Allah Ta’ala di dirham (mata
uang), mihrab (tempat imam), di dinding dan apa yang dihamparkan.”(Fathul
Qadir, 1/310, ditegaskan juga oleh As-Safarini Al-Hanbali dalam kitab
‘Ghiza’ul-Albab, 2/211)

Syekh Ibnu Al-Utsaimin rahimahullah ditanya:
“Apa huku menulis ayat dan hadits di dinding masjid?’

Beliau menjawab: “Ini mengganggu orang,
sementara tulisan ayat baik di dinding masjid atau lainnya, adalah  bagian
dari bid’ah. Tidak ada contoh dari shahabat bahwa mereka mengukir dinding
(masjid) dengan ayat. Disamping mengukir ayat di dinding, dapat menjadi
semacam penghinaan terhadap Kalamullah. Oleh karena itu mereka menulias ayat
bagaikan di istana atau tempat azan atau masjid atau semisal itu, mengukir
tulisan bagaikan di istana. Tidak diragukan lagi ini termasuk menyia-nyiakan
terhadap kitab Allah Azza Wa jalla. Kemudian kalau kita terima ditulis
dengan tulisan arab yang difahami, maka hal itu bukan termasuk petunjuk
(ulama’) salaf. Apa faedahnya dari tulisan di dinding? Sebagian orang
mengatakan, sebagai pengingat untuk orang-orang. Maka kami katakan,
mengingatkan dengan ucapan bukan dengan tulisan ayat.

Kemudian terkadang ditulis di dinding

( وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضاً ) الحجرات/ 12
“Dan janganlah sebagian kamu mengguncing sebagian lainnya.” SQ. Al-Hujurat:
12. Engkau jumpai yang dibawahnya mengguncing orang. Maka bagaikan menghina
terhadap ayat-ayat Allah. Jadi tulisan ayat di masjid dan di dinding rumah
semuanya adalah bid’ah yang belum dikenal waktu zaman salaf.

Sedangkan tulisan hadits, kalau di kiblat
masjid, maka tidak diragukan lagi itu pasti mengganggu, karena dapat
menyebabkan sebagian makmum melirik tulisan itu dalam shalat. Para ulama
rahimahumullah memakruhkan seseorang menulis sesuatu di kiblat masjid.
Sementara kalau di rumah, tidak mengapa menulis hadits jika ada faedahnya.
Seperti tulisan doa penutup majelis,

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا
وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَن لاَ إِلَهَ إَِلاَّ أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكً
وًأًتٌوبٌ إِِلَيهِ

Karena hal itu dapat
menjadi
pengingat. (Liqa Bab Al-Maftuh, 197/ soal no. 8)

Syekh Shaleh
AL-Fauzan hafizahullah ditanya: “Apa hukum menggantungkan ayat Al-Qur’an di
dinding?” Beliau menjawab: “Seharusnya, menghormati Al-Qur’an Al-Karim
adalah dengan membaca, mentadaburi dan mengamalkannya. Adapun kalau
digantung/ditempel di dinding merupakan kesia-siaan, dapat berakibat
melecehkannya.

Teriadang dinding
dihias dengan berbagai dekorasi, gambar dan tulisa, lalu Al-Qur’an
dijadikan  bagian dari itu. Terkadang ditulis dengan cara diukir, maksudnya
hanya sebagai pemandangan semata.

Prinsipnya
Al-Qur’an harus dijaga dari perkara yang sia-sia ini. Dahulu para salaf
tidak pernah melakukan hal ini. Al-Qur’an diturunkan bukan untuk ditulis di
dinding. Akan tetapi diturunkan untuk ditulis dalam hati dan terlihat
dampaknya pada prilaku dan sikap sehari-hari.  (Al-Muntaqa Min Fatawa Syekh
AL-Fauzan, 2/77)

Silakan lihat
perincian yang bermanfaat dalam soal jawab no.
254 dan no.97497

Ketiga:

Adapun tulisan
hadits dan doa di dinding masjid, yang lebih selamat adalah meninggalkannya.
Karena tujuannya tiada lain –umumnya- hanya untuk hiasan. Tapi kalau
tujuannya ingin memberikan manfaat kepada oranga agar dapat menghafal dan
mengingat lafaz-lafaznya, maka hal itu dibolehkan, jika memenuhi
syarat-syarat berikut ini:

1.
Jangan menuliskan hadits dan doa-doa di dinding secara
langsung, karena tulisan seperti itu tidak dapat dihilangkan dan tidak dapat
dimanfaatkan serta dipindah dari tempatnya kalau orang-orang yang  shalat
telah menghafalnya. Akan tetapi, hendaknya ditulis di kertas dinding yang
mudah ditempel dan dicopot.  Tulisan diutamakan berisi pengetahuan yang
dibutuhkan umat Islam sesuai dengan musim-musim tertentu.

2.
Tidak diletakkan di arah kiblat shalat agar tidak mengganggu
jamaah shalat.

3.
Tidak menggunakan hiasan dalam menulis yang dapat
menghilangkan keagungan hadits dan doa.

4.
Menjauhi tulisan yang tidak dapat dibaca, atau menjadikan
seperti bentuk burung atau orang sujud dan semisalnya

5.
Rutin menggantinya sesuai dengan kebutuhan orang, untuk
menghilangkan kebodohan atau mengingatkan keutamaan atau menguatkan hafalan.

Keempat:

Adapun hiasan di
dinding masjid, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Pendapat yang
kuat adalah melarangnya. Terutama apabila hiasan tersebut diambil dari dana
wakaf atau dapat melalaikan dan mengganggu orang yang shalat, atau
mengeluarkan dana besar untuk (membuat) seperti itu.

Dari Anas
radhiallahu anhu, sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَقُومُ
السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِى الْمَسَاجِدِ   

(رواه أبو داود،
رقم  449 ، والنسائي، رقم  689،  وابن ماجه، رقم   739 وصححه الألباني في صحيح
أبي داود)

“Tidak (akan)
terjadi hari kiamat, sampai orang-orang saling membanggakan masjidnya.”

(HR.
Abu Daud, no. 449, Nasa’i, no. 689, Ibn Majah, no. 739 di shahihkan oleh
Al-Al-bany dalam Shahih Abu Daud)

Dan diriwayatkan oleh Bukhari, 1/171 dari
Anas bin Malik radhiallahu anhu:

 ” يَتَبَاهَوْنَ
بِهَا ، ثُمَّ لاَ يَعْمُرُونَهَا إِلاَّ قَلِيلاً   (والأثر وصله ابن أبي شيبة
في المصنف ،  1 / 309 ، وفيه رجل مجهول)

“Mereka saling
membanggakannya, kemudian tidak ada yang memakmurkan melainkan sedikit.”

(Atsar ini
disambungkan sampai kepada Nabi sallallahu’alaihi wa sallam oleh Ibnu Abi
Syaibah dalam kitab Al-Mushannaf, 1/309. Di dalamnya ada perawi yang tidak
dikenal)

Badruddin Al-Aini
rahimahullah berkomentar: ”Ungkapan ‘Yatabahaun’ dengan baris fathah  huruf
ha’ berasal dari kata ‘Al-Mubahah’ yaitu ‘Al-Mufakharah’, artinya adalah
mereka memperelok dan menghiasi mesjid kemudian mereka duduk, lewat dan
saling membanggakan dan tidak disibukkan dengan zikir, bacaan AL-Qur’an dan
shalat. Ungkapan ‘Biha’ yakni ‘Bil masajid (dengan masjid-masjid)’,
konteknya menunjukkan seperti itu.” (Umdatul Qari, 4/205)

Diriwayatkan oleh
Bukhari, 1/171 dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma ungkapan ‘Sungguh (mereka)
akan menghiasanya sebagaimana orang Yahudi dan Nashrani menghiasinya.’

Atsar ini
disambungkan sampai ke Nabi sallallahu’alihi wa sallam oleh Ibn Abi Syaibah
dalam kitab ‘Al-Mushonnaf, 1/309 dan juga ulama lain. Dishahihkan oleh
Al-Albany dalam kitab ‘Tahqiq Islah Al-Masajid Minal Bida’i Wal ‘Awaid,
karangan Jamaluddin Al-Qasyimi, 94, dan dalam Shahih Abu Daud yang lengkap,
2/347.

Al-Baghawi
rahimahullah berkata: “Ungkapan Ibnu Abbas ‘Sungguh (mereka) akan
menghiasnya sebagaimana orang Yahudi dan Nashrani menghiasnya.’ Maknanya
bahwa orang-orang Yahudi dan Nashrani mulai meghiasi masjid setelah mereka
merubah ajaran agamanya, dan kalian kondisinya akan menjadi seperti mereka.
Kalain akan saling pamer masjid, saling membanggakan dengan keelokan dan
hiasannya.” (Syarh As-Sunnah, 2/350)

Dalam Al-Mausu’ah
AL-Fiqhiyyah, 11/275 dinyatakan: “Diharamkan menghias dan memahat masjid
atau mendekorasinya dengan dana wakaf menurut (madzhab) Hanafiyah dan
hanbaliyah. Ulama kalangan Hanbali dengan tegas mewajibkan mengganti dana
wakaf yang dipakai untuk itu, karena hal itu tidak ada kemaslahatan di
dalamnya. Sedangkan dari kalangan ulama Syafi’iyyah, yang tampak dari
perkataan mereka adalah melarang menggunakan dana wakaf untuk itu. Jika ada
orang yang mewakafkan untuk keduanya –memahat dan mendekorasi masjid- (maka
wakafnya) tidak sah menurut pendapat terkuat di kalangan mereka. Adapun 
kalau memahat dan mendekorasi dari dana orang yang memahat, maka itu
dimakruhkan            –dengan sepakat- secara mutlak jika menyebabkan orang
shalat menjadi lalai, misalnya jika terletak di mihrab dan di dinding
kiblat.” 

Para Ulama dalam
Al-Lajnah Ad-Daimah ditanya, tentang proyek untuk membangun hiasan masjid.
Mereka menjawab: “Pekerjaan ini tidak dianjurkan, berdasarkan hadits shahih
yang melarang menghiasi masjid. Dan karena hal itu menganggu orang shalat
dalam shalatnya dengan memandang dan termenung dengan hiasan dan pahatan
itu.

Syekh Abdul Aziz
Ali Syekh, Syekh Abdullah Gadyan, Syekh Sholeh AL-Fauzan Syekh Bakr Abu Zaid

(Fatawa Al-Lajnah
Ad-Daimah, jilid kedua, 5/191)

Masalah tulisan
ayat dan hiasan masjid telah dikumpulkan dalam satu fatwa dalam Fatawa
Al-Lajnah d-Daimah, dengan mengatakan: “Tidak diperkenankan menghiasi
masjid, dan tidak juga menulis ayat Qur’an di dindingnya. Karena hal itu
mengarah kepada penistaan Al-Qur’an, juga (mengarah) kepada hiasan masjid
yang terlarang, serta mengganggu orang shalat dari shalatnya dengan melihat
tulisan dan pahatan itu.”

Syekh Abdul Aziz
bin Baz, Syekh Abdul Aziz Ali Syekh, Syekh Abdullah Gudyan, Syekh Sholeh
Al-Fauzan, Syekh Bakr Abu Zaid

(Fatawa Al-Lajnah
Ad-Daimah, jilid kedua, 5/190)

Wallallahu’alam

.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android