Apakah orang yang shalat menggenggam kelingking dan jari manisnya, lalu memberi isyarat dengan telunjuk seperti dalam tasyahud?
Menggenggam Telapak Tangan Dan Menggererakkan Telunjuk Dalam Duduk Di Antara Dua Sujud
Pertanyaan: 131579
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Masalah ini termasuk masalah yang diperselisihkan oleh para fuqoha (ahli fikih). Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa orang yang shalat hendaknya menggenggam telapak tangan kanannya seraya memberi isyarat dengan telunjuknya sebagaimana dia lakukan dalam tasyahud. Di antara mereka ada yang berkata, ‘Hendaknya dia membuka tangannya, tidak menggenggamnya.’
Ibnu Qayim rahimahullah berkata, “Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengangkat kepalanya (dari sujud pertama) seraya bertakbir tanpa mengangkat kedua tangannya, lalu dia bangun dari sujud seraya mengangkat kepalanya sebelum kedua tangannya. Kemudian dia duduk dengan cara iftirosya, duduk di atas telapak kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya.
Dan beliau meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua pahanya dan menjadikan sikunya di atas pahanya sementara ujung tangannya di atas lututnya. Dia menggenggam kedua jemarinya dan membuat lingkaran (antara jari tengah dan ibu jari), kemudia mengangkat telunjuknya berdoa dengannya dan menggerakkannya. Demikianlah dikatakan oleh Wail bin Hujr. Kemudian hendaknya dia membaca di antara dua sujudnya,
اللهم اغفر لي وارحمني واجبرني واهدني ، وارزقني
“Ya Allah, ampuni aku, rahmati aku, tutuplah musibahku, berilah aku petunjuk dan berilah aku rizki.”
Demikianlah sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abas radhiallahu anhuma dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Huzaifah meriwayatkan bahwa beliau membaca,
رب اغفر لي ، رب اغفر لي
(diringkas dari kitab Zaadul Ma’ad, 1230)
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Adapun bagi tangan kiri, hendaknya dibuka dengan merapatkan seluruh jari serta menghadap ke arah kiblat, sedangkan ujung sikutnya berada di ujung pahanya, maksunya dirapatkan ke paha, tidak renggang.
Adapun tangan kanan, maka sunahnya adalah menggenggam antara kelingking dan jari manis, lalu membentuk lingkaran dengan ibu jari dan jari tengah, kemudian mengangkat telunjuknya dan menggerakkannya saat berdoa. Demikianlah seperti diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari hadits Wail bin Hujur dengan sanad yang dikatakan oleh pengarang Al-Fathur-Robbani sebagai sanad yang baik. Berkata juga penelitit kitab Zaadul Ma’ad bahwa sanadnya shahih. Dan inilah pendapat Ibnu Qayim.
Adapun para fuqoha, mereka berpendapat bahwa telapak tangan kanan diletakkan terbuka saat duduk di antara dua sujud seperti telapak tangan kiri. Akan tetapi, mengikuti sunah lebih utama. Tidak terdapat dalam sunah, apakah dalam hadits shahih, juga hadits lemah juga hadits hasan bahwa tangan telapak tangan kanan diletakkan terbuka di atas kaki kanan, akan tetapi yang ada riwayatnya adalah bahwa telapak tangan kanan digenggam, yaitu menggenggam jari kelingking dan jari manis, lalu jari tengah dan ibu jari membentuk lingkaran atau jari tengah ikut digenggam, dan digenggam pula ibu jarinya jika duduk dalam shalat. Demikianlah hal itu berlaku secara umum. Dalam sebagian riwayat disebutkan, ‘Jika duduk tasyahud’. Kedua riwayat ini terdapat dalam kitab Shahih Muslim. Adapun jika kita mengambil riwayat ‘jika duduk dalam shalat’ secara umum, maka kita simpulkan bahwa cara ini bersifat umum dalam seluruh shalat. Adapun redaksi ‘Jika duduk dalam tasyahud’ dalam sebagian riwayat, tidak menunjukkan adanya pengkhususan. Karena kita memiliki kaidah yang disebutkan oleh pakar ushul fikih, dan di antara yang selalu menyebutnya adalah Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar dan Asy-Syinqithy dalam kitab Adhwa’ul Bayan, yaitu bahwa jika anggota dari yang umum disebutkan dengan hukum yang sesuai dengan hukum umum, maka hal itu tidak menunjukkan pengkhususan. Yang namanya takhshish (pengkhususan) adalah apabila ketentuan terhadap anggota disebutkan berbeda dengan hukum umum.
Contoh pertama: Saya katakan kepada anda, ‘Muliakan para pelajar”. Ini bersifat umum untuk semua pelajar. Kemudian saya katakan, ‘Muliakan si fulan’ sedangkan dia termasuk pelajar juga. Apakah pernyataan tersebut bermakna bahwa saya tidak memuliakan selain dia? Jawabannya: Tidak. Akan tetapi kesimpulannya adanya perhatian khusus yang karenanya disebutkan secara khusus.
Contoh kedua: “Muliakan para pelajar” kemudian saya katakan, ‘Jangan muliakan si fulan’ sedangkan si fulan termasuk pelajar juga. Maka ini sifatnya takhshish (pengkhususan). Karena yang pertama saya katakan si fulan dengan hukum yang sama secara umum (dimuliakan) karena dia masuk dalam keumuman tersebut (pelajar), sedangkan yang kedua saya sebutkan dia dengan hukum yang berbeda dengan hukum umum (tidak dihormati). Karena itu, mereka mengatakan tentang definisi takhshish; Mekhususkan sebagian anggota dengan hukum yang berbeda, atau mengeluarkan sebagian anggota dari hukum yang berlaku. Maka harus ada ketepan hukum yang berbeda, adapun jika hukumnya sama, maka mayoritas pakar ushul fikih sebagaimana dinyatakan oleh Adhwa’ul Bayan berpendapat bahwa bahwa hal itu tidak menunjukkan pengkhususan. Inilah yang kuat sebagaimana contoh yang kami sampaikan. Maka dengan demikian, sebagian redaksi dalam hadits Ibnu Umar yang menkhususkan masalah menggenggam dalam tasyahud tidak menunjukkan pengkhususan dari redaksi lain yang menunjukkan bahwa hal itu berlaku umum.” (Asy-Syarhul Mumti, 3/177)
Al-Albany rahimahullah memastikan lemahnya riwayat Wail bin Hujr radhiallahu anhu dalam masalah menggerakkan jari telunjuk di antara dua sujud dan bahwa yang shahih adalah menggerakkannya dalam tasyahud.
Lihat kitab Tamamul Minnah, hal. 214-217. Demikian pula yang dilakukan oleh Syekh Bakar Abu Zaid dalam risalahnya, ‘Laa Jadiida Fi Ahkami Ash-Shalah’ (Tidaka Ada Yang Baru Dalam Hukum Shalat)
Yang terpenting, ini adalah bagian dari masalah ijtihad yang diperselisihkan pendapatnya oleh para ulama. Sikap seorang muslim adalah mengambil pendapat yang dalilnya lebih kuat, namun dia tidak mengingkari orang yang berbeda pendapat dengannya. Jika sulit baginya mencari mana yang lebih kuat di antara kedua pendapat tersebut, maka hendaknya dia bertaklid dengan orang yang menurutnya lebih berilmu.
Lihat jawaban soal no. 22652
Wallahu a’lam.
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam