Jika ada redaksi doa tertera pada hadits dha’if atau maudhu’ (palsu) yang tidak mengandung larangan syar’i, maka apakah boleh berdoa dengannya untuk memanfaatkan redaksi hadits tersebut bukan dalam rangka beribadah ?
Hukum Berdoa Dengan Redaksi Yang Ada Pada Hadits Dha’if
Pertanyaan: 131985
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Doa itu ada dua macam:
Pertama:
Doa yang terikat dengan waktu, tempat, ibadah, jumlah dan keutamaan, seperti; doa istiftah shalat, doa masuk kamar mandi, doa-doa yang dibaca sebelum tidur, doa masuk masjid, dan lain sebagainya.
Doa semacam ini tidak boleh menggunakan redaksi baru dari doa lain kecuali yang sudah tertera di dalam syari’at, demikian juga disyaratkan adanya keikhlasan karena Allah –‘Azza wa Jalla- agar bisa diterima, demikian juga disyaratkan adanya mutaba’ah (mengikuti) Rasul yang mulia –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:
“Adapun menggunakan wirid yang tidak syar’i, mensunnahkan dzikir yang tidak syar’i, maka hal ini termasuk yang dilarang, bersamaan dengan hal itu di dalam doa-doa dan dzikir yang syar’i diminta dengan yang shahih dan dengan tujuan yang tinggi, dan tidaklah bisa diganti dengan dzikir baru yang bid’ah kecuali orang yang bodoh, berlebihan dan melampaui batas”. (Majmu’ Al Fatawa: 22/511)
Al ‘Allamah Al Ma’lami –rahimahullah- berkata:
“Alangkah ruginya bagi orang yang meninggalkan doa-doa yang telah ditetapkan riwayatnya di dalam kitabullah -‘Azza wa Jalla- atau di dalam sunnah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- hampir tidak berdoa dengannya, lalu ia beranjak kepada yang lainnya dan ia pun menjaga dan merutinkannya, bukankah ini termasuk kezhaliman dan permusuhan”. (Al ‘Ibadah: 524)
Yang sebaiknya adalah berkomitmen dengan apa yang dibawa oleh Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dari hadits-hadits yang shahih dan dari doa-doa yang dipanjatkan pada waktu dan keadaan yang berbeda-beda.
Oleh karenanya para ulama memperhatikan doa-doa yang ma’tsur agar (beredar) di tengah-tengah masyarakat, maka mereka mencukupkan diri dengannya dari pada doa-doa bid’ah yang tidak ada riwayatnya.
Imam Thabrani –rahimahullah- berkata di dalam muqaddimah kitabnya Ad Dua’ (22):
“Buku ini aku susun yang mengumpulkan doa-doa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang mendorong saya untuk melakukan hal ini bahwa saya telah melihat banyak orang yang telah berpegang pada doa-doa yang bersajak, dan doa-doa yang dibuat sesuai dengan bilangan hari oleh para jurutulis, tidak diriwayatkan dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, tidak juga dari salah satu dari para sahabat beliau, tidak juga dari salah satu dari para tabi’in, disertai dengan riwayat dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau tidak menyukai sajak dalam berdoa dan berlebih-lebihan dalam hal tersebut, maka saya menyusun buku ini dengan sanad yang ada riwayatnya dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-“.
Baca juga jawaban soal nomor: 11017
Adapun bagian kedua adalah doa umum yang orang berdoa dalam keadaan atau waktu yang tidak ada riwayat doa tertentu di dalam syari’at, seperti doa pada sepertiga malam terakhir dan yang lainnya.
Hal ini tidak ada doa tertentu dan terikat dari syari’at, akan tetapi diserahkan kepada setiap orang yang berdoa meminta kepada Allah Ta’ala kebutuhannya, dalam kondisi seperti ini tidak masalah menggunakan doa-doa dari orang-orang sholeh, atau redaksi doa yang tertera pada sebagian hadits dha’if, karena bisa jadi mengandung jawami’ al kalim (redaksi singkat bermakna dalam), memuji Allah dengan baik, baik dalam memohon yang mendekatkan dengan hati seorang muslim, dengan syarat redaksinya tidak menjadikan orang menjauh, dan tidak meyakini mengandung keutamaan tertentu, dan tidak perlu membiasakan diri selalu membacanya, jika ia kadang-kadang berdoa dengan redaksi tersebut maka tidak masalah; karena dengan membacanya terus menerus akan menjadikannya seperti sunnah.
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam