Unduh
0 / 0

Apakah Diperbolehkan Mengambil Gaji Dari Mengajar Ilmu Agama?

Pertanyaan: 134154

Temanku mengkritiku, para syekh dan para imam karena mereka mendapat gaji. Sebagaimana dia menyanggka bahwa disana tidak ada dalil dari Qur’an dan Sunah bahwa para shahabat dahulu memberikan gaji kepada para imam dan syekh dalam menjalankan dakwah. Ketika saya katakan kepadanya, “Bahwa merupakan suatu kelaziman bagi seluruh umat untuk membantu orang yang menunaikan dakwah. Karena mereka telah menghabiskan waktu dalam melaksanakan pekerjaan ini. Dia mengatakan, “Bahwa di sana tidak ada dalil dari Qur’an dan Sunah bahwa para shahabat melakukan hal itu. Mereka mempergunakan ayat-ayat ini untuk menetapkan bahwa mengais rezki dari Qur’an itu haram.

( وءامنوا بما أنزلتُ مصدقا لما معكم ولا تكونوا أول كافر به ولا تشتروا بآياتي ثمنا قليلا وإياي فاتقون ) البقرة/ 41

“Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Quran) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa.” Qs. Al-Baqarah: 41

( اتبعوا من لا يسألكم أجراً وهم مهتدون ) يس/ 21

“Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” QS. Yasin: 21
Apakah diperbolehkan mengais harta dari mengajar Qur’an dan hadits, harap disertakan dengan sebagian dalil.

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama:

Asal dalam ibadah, seorang muslim tidak boleh mengambil gaji sebagai
pengganti apa yang dia lakukan. Siapa yang berkeinginan ketaatannya untuk
(mendapatkan) dunia. Maka dia tidak mendapatkan pahala di sisi Allah
sebagaimana Firman Ta’ala:

( مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا
نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ
أُوْلَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا
صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ ) هود/ 15 ، 16

“Barangsiapa
yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan
kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka
di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh
di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah
mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” QS.
Hud: 15-16.

Kedua:

Kalau ibadah itu manfaatnya untuk orang lain dimana orang selain pelakukanya
dapat mengambil manfaat seperti ruqyah dengan Qur’an atau mengajarkannya.
Atau mengajarkan hadits, maka dia diperbolehkan mengambil upah atasnya
menurut jumhur ulama. Berbeda dengan ulama dahulu dari Hanafiyah. Sebagai
ganti apa yang didapatkan manfaat dari orang lain dengan ruqyah atau
pengajaran.

Telah ada dalam sunah nabawi apa yang menguatkan pendapat jumhur.

فعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما أَنَّ نَفَراً مِنْ
أَصْحَابِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم مَرُّوا بِمَاءٍ فِيهِمْ لَدِيغٌ ،
فَعَرَضَ لَهُمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْمَاءِ فَقَالَ : هَلْ فِيكُمْ مِنْ
رَاقٍ إنَّ فِي الْمَاءِ رَجُلاً لَدِيغًا ؟ فَانْطَلَقَ رَجُلٌ مِنْهُمْ
فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ عَلَى شَاءٍ [أي : مجموعة من الغنم]، فَبَرَأَ
، فَجَاءَ بِالشَّاءِ إِلَى أَصْحَابِهِ ، فَكَرِهُوا ذَلِكَ ، وَقَالُوا :
أَخَذْتَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْراً ؟ حَتَّى قَدِمُوا الْمَدِينَةَ
فَقَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَخَذَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْراً ،
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : (إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ
عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ) رواه البخاري ( 5405
) .

“Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma bahwa sekelompok dari para shahabat Nabi
sallallahu alaihi wa sallam melewati perkampungan yang terkena sengatan.
Maka salah seorang penduduk perkampungan menawarkan seraya mengatakan, “Apa
ada diantara kamu semua orang yang meruqyah. Sesungguhnya ada seseorang
terkena sengatan di perkampungan? Maka ada salah seorang diantara mereka
pergi dan dibacakan Fatihatul Kitab (dengan imbalan) sejumlah kambing dan
sembuh. Maka beliau sambil membawa kambing kembali ke teman-temannya.
Sementara mereka tidak menyukainya. Seraya mengatakan, “Apakah kamu
mengambil upah dari kitabullah? Sampai mereka di Madinah. Mereka bertanya,
“Wahai Rasulullah, mengambil upah dari Kitabullah. Maka Rasulullah
sallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya yang paling berhak anda
mengambil upah itu dari kitabullah.” HR. Bukhori, (5405).

Dikeluarkan oleh Bukhori, (2156) dan Muslim, (2201) dari hadits Abu Said
Al-Khudri. Nawawi rahimahullah membuat bab dalam penjelasan Muslim seraya
mengatakan, “Bab Jawaz Akhdil Ujroh Alar Ruqyah Bil Quran Wal Adzkar (Bab
diperbolehkan mengambil upah atas Ruqyah dengan Quran dan Zikir).

Nawawi rahimahullah mengatakan dalam menjelaskan hadits, “Ini jelas
diperbolehkan mengambil upah atas ruqyah dengan Al-Fatihah dan zikir. Dan
itu halal tidak makruh di dalamnya. Bagitu juga upah dalam mengajarkan
Qur’an. Dan ini mazhab Syafi’I, Malik, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan ulama
salaf lainnya dan ulama setelahnya. (Syarkh Nawawi, (14/188)

Para ulama Lajnah Daimah Lil Ifta’ mengatakan, “Anda diperbolehkan mengambil
upah dari pengajaran Qur’an. Karena Nabi sallallahu alaihi wa sallam
menikahkan seseorang dengan wanita dengan mengajarkannya kepadanya apa yang
dia punya dari Qur’an. Dan hal itu sebagai maharnya. Dan shabat yang
mengambil upah atas kesembuhan orang kafir sakit disebabkan ruqyah kepadanya
dengan Fatihatul Kitab. Dan Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda akan
hal itu, “Sesungguhnya yang paling berhak untuk anda ambil upahnya adalah
Kitab Allah.” HR. Bukhori dan Muslim. Sesungguhnya yang dilarang adalah
mengambil upah atas bacaan Qur’an itu sendiri dan meminta orang dengan
bacaannya.” Selesai

Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Abdurrozaq Afifi, Syekh Abdullah Godyha,
Syekh Abdullah Qa’ud.

Fatawa Lajnah Daimah, (15/96). Silahkan melihat fatawa lain di dua jawaban
soal berikut. 20100 dan 95781.

Ketiga:

Sementara apa yang dibuat dalil teman anda dari ayat (Qur’an). Tidak dapat
diterima karena makna ayat berbeda dengan apa yang dibuat dalil bagi orang
yang melarang menerima upah atas pengajaran Qur’an dan Hadits dan ilmu agama
lainnya. Kita tidak mengingkari bahwa sebagian ahli ilmu melarang mengambil
upah atas pengajaran Qur’an dan ilmu agama berdalil dengan ayat ini dan
semisalnya. Akan tetapi kita tidak dapat menerima dalil itu, penjelasannya
adalah:

1.
Sementara firman Ta’ala:

( وءامنوا بما أنزلتُ مصدقا لما معكم ولا تكونوا أول كافر به
ولا تشتروا بآياتي ثمنا قليلا وإياي فاتقون ) البقرة/ 41

“Dan
berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Quran) yang
membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang
yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku
dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa.” Qs.
Al-Baqarah: 41

Harga disini adalah
meminta keredoan orang umum, bukan mengambil upah atas pengajarannya. Tohir
bin Asyura rahimahullah mengatakan, “Firman-Nya ‘Untuk
memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. QS. Al-Baqarah: 79.
Itu seperti Firman-Nya, “dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan
harga yang rendah.” QS. Al-Baqarah: 41. Maksud tsaman (harga) disini adalah
meminta keredoan orang awam. Agar mereka merubah hukum-hukum agama agar
sesuai dengan hawa nafsunya. Atau mengambil ilmu untuk dirinya padahal
mereka tidak tahu. Sehingga mereka membuat kitab picisan dari kisah-kisah,
informasi ringan untuk dilontarkan di perkumpulan. Karena ilmu mereka belum
sampai kepada ilmu yang benar. Dimana mereka dahulu sudah rakus di depan dan
kepemimpinan bohong. Menghiasanya dengan kebohongan. Dan mereka mengumpulan
tema-tema dan buain kosong tidak tetap dalam kapasitas ilmu yang benar.
Kemudian mereka sebarkan dan disandarkan kepada Allah dan agama-Nnya. Ini
kebiasaan orang jahil yang mengharapkan kepemimpinan yang tidak pada
kapasitasnya. Agar nampak seperti para ulama menurut pandangan orang awam
dan orang yang tidak dapat membedakan antara lemak dan gemuk. Selesai
(Tahrir wat Tanwir, (1/577).

Qurtubi rahimahullah mengatakan, “Para ulama berbeda pendapat terkait
mengambil upah dalam pengajaran Al-Qur’an dan Ilmu karena ayat ini dan yang
semaknanya. Ada yang melarang hal itu, Zuhri, dan ashabur rokyi (Hanafiyah),
mereka mengatakan, “Tidak diperbolehkan mengambil upah atas pengajaran
Qur’an karena mengajarkannya termasuk salah satu kewajiban yang membutuhkan
niatan mendekatkan diri (kepada Allah) dan keikhlasan. Maka jangan mengambil
upah darinya seperti shalat dan puasa. Dimana Allah telah berfirman, “Dan
janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah.” QS.
Al-Baqarah: 41.

Dan yang memperbolehkan mengambil upah atas pengajaran Qur’an adalah Malik,
Syafi’I, Ahmad, Abu Tsaur dan kebanyakan para ulama berdasarkan sabda Nabi
sallallahu alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Abbas hadits ruqyah,
“Sesungguhnya yang lebih berhak anda semua ambil upah adalah Kitabullah.”
HR. Bukhori. Dan ini nash yang dapat mengangkat perbedaan. Seyogyanya
dipakainya.

Sementara apa yang
dijadikan dalil orang yang berbeda dengan mengqiyaskan dengan shalat, dan
puasa itu salah. Karena berhadapan dengan nash. Kemudian diantara keduanya
banyak perbedaan. Yaitu bahwa shalat dan puasa itu ibadah khusus bagi pelaku
sementara pengajaran Qur’an itu ibadah bermanfaat untuk selain pengajar.
Maka diperbolehkan upah karena berusaha mentranfer seperti pengajaran
tulisan Qur’an.

Sementara jawaban
dari ayat, maksudnya adalah bahwa Bani Isroil, sementara syareat kaum
sebelum kita apakah ia syareat untuk kita? Ada perbedaan di dalamnya.  Dan
Abu Hanifah rahimahullah tidak berpendapat dengannya.

Jawaban kedua,
bahwa ayat bagi orang yang ditunjuk dalam pengajaran, dan tidak mau sampai
mengambil upah. Sementara kalau tidak ditunjuk, maka dia diperbolehkan
mengambil upah. Dengan dalil sunah akan hal itu. Terkadang telah ditunjuk
atasnya Cuma dia tidak mempunyai apa-apa untuk menafkahi diri dan
keluarganya, maka tidak wajib baginya pengajaran. Sehingga dia berpaling
dengan memproduksi dan keterampilannya. Sehingga Imam diwajibkan menunjuk
untuk menunaikan agama dan membantunya. Kalau tidak, maka umat Islam (yang
menanggungnya). Karena Siddiq radhiallahu anhu ketika menjadi Kholifah dan
ditugasi, beliau tidak mempunyai sesuatu untuk keluarganya, sehingga beliau
membawa baju dan keluar ke pasar. Sehingga dikatakan kepadanya akan hal itu,
dan beliau menjawab, “Dan dari mana saya dapat menginfaki untuk keluargaku?
Sehingga mereka mengembalikan dan mereka rela untuk kebutuhannya.

Sementara hadits
(maksudnya melarang akan hal itu) tidak ada sesuatu yang selaras. Dan tidak
ada yang sah sedikitpun menurut ahli ilmu dengan naql dan syareat dalam
menakdnya.

Dalam bab tidak ada
hadits yang mewajibkan diamalkan dari sisi naql.” Selesai dengan ringkasan
‘Tafsir Qurtubi, (1/335, 336).

2.  sementara ayat

( اتبعوا من لا يسألكم أجراً وهم مهتدون ) يس/ 21

“Ikutilah
orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk.” QS. Yasin: 21

Dan
ayat semisalnya, sebagian ulama telah berdalil dengannya larangan mengambil
upah terhadap pengajaran Qur’an dan ilmu agama. Dan ini sifatnya para utusan
dan para  pengikutnya. Dan perselisihan terjadi dengan berdalil dengannya.
Hal itu dengan maksudnya bagi orang yang ditunjuk untuk menyampaikan dakawah
dan mengajarkan ilmu bukan kepada orang yang tidak ditunjuk akan hal itu.
Kemungkinan maksud ayat dan semisalnya adalah makruh mengambil upah atas
pengajaran itu bagi orang yang tidak membutuhkan. Itu yang menjadi pendapat
Syekh Muhammad Amin Syinqithi rahimahullah. Beliau mengetengahkan beberapa
ayat yang semakna dengan ayat ini kemudian beliau mengatakan, “Agar
menyampaikan semaksimal mungkin ilmu yang dimilikinya. Dapat diambil
pelajaran dari ayat nan mulia ini, bahwa seharusnya pengikut para rasul dari
kalangan para ulama dan lainnya menunaikan semaksimal mungkin ilmu yang
dimilikinya secara gratis. Tanpa mengambil upah dari hal itu. Dan selayaknya
tidak mengambil upah atas pengajaran Kitabullah  juga pengajaran Aqidah,
halal dan haram.” Selesai (Adhwaul Bayan, (2/179).

Kemudian beliau mengatakan, “Yang nampak bagiku –wallahu a’lam- bahwa
seseorang kalau dia tidak membutuhkan keperluan primer. Yang lebih utama
agar tidak mengambil pengganti (upah) atas pengajaran Qur’an, Aqidah serta
halal dan haram. Berdasarkan dalil tadi. Kalau ada kebutuhan, maka mengambil
upah sesuai dengan kadar kebutuhan pokoknya dari baitul mal muslimin. Karena
yang nampak bahwa pengambilan dari baitul mal dari sisi membantu untuk
menunaikan taklim bukan dari sisi upah. Yang lebih utama, Allah cukupkan
baginya agar menahan diri tidak mengambil apapun pengganti mengajar Qur’an,
aqidah serta halal dan haram. Selesai ‘Adhwaul Bayan, (2/182).

Ini
pilihan Syekh Syinqity rahimahullah dan sebelumnya juga pilihan syeikhul
Islam Ibnu Taimiyah. Beliau ditanya tentang seseorang menolak mengajarkan
ilmu agama kecuali dengan upah, apakah hal itu diperbolehkan?

Maka beliau menjawab,”Alhamdulillah, kalau pengajaran Qur’an dan ilmu tanpa
upah itu amalan yang lebih utama dan paling dicintai oleh Allah. Dan ini
yang diketahui secara pasti dalam agama Islam, dan tidak seorangpun yang
tersembunyi bagi orang yang menyebarkan Al-Quran, Hadits dan fikih di negara
Islam. Baik Para shahabat, para tabiin dan tabiut tabiin dan para ulama
terkenal lainnya dalam umat ini. Dimana mereka mengajarkannya tanpa upah.
Dan asalnya di kalangan mereka tidak ada yang mengampil upah. Karena para
ulama itu pewaris para nabi. Dan para nabi tidak mewariskan dinar dan
dirham. Akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Siapa yang mengambilnya, maka
sungguh dia telah mendapatkan bagian yang banyak. Para Nabi salawatullah
alaihim, sesungguhnya mereka mengajarkan ilmu tanpa upah. Sebagaimana
perkataan Nuh alaihis salam:

(وما أسألكم عليه من أجر أن أجرى إلا على رب
العالمين)                         

“Dan
aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku
tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.” QS. As-Syauro’: 109

Begitu juga Hud, Sholeh, Syuaib, Luth dan lainnya. Bagitu juga sabda Penutup
para Rasul.

قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنْ
الْمُتَكَلِّفِينَ

Dan
Firman-Nya:

(قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِلاَّ مَنْ شَاءَ
أَنْ يَتَّخِذَ إِلَى رَبِّهِ سَبِيلاً)
.

“Katakanlah
(hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas da’wahku dan
bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan.” QS. Shod: 86

Mengajarkan Quran, hadits fikih dan lainnya tanpa upah tidak ada
perselisihan para ulama hal itu termasuk amalan sholeh. Bahkan itu termasuk
fardhu kifayah sebagaimana sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam dalam
hadits shoheh ‘Hendaknya menyampaikan dariku meskipun hanya satu ayat. Dan
sabdanya ‘Agar orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.” Yang
menjadi perselisihan para ulama adalah diperbolehkannya menyewa untuk
mengajarkan Quran, Hadits dan fikih menjadi dua pendapat terkenal. Keduanya
ada riwayat dari Ahmad.

Salah satunya adalah mazhab Abu Hanifah dan lainnya tidak diperbolehkan
menyewa untuk itu.

Kedua, dan itu pendapat Syafii bahwa hal itu diperbolehkan.

Disana ada pendapat ketiga dalam mazhab Ahmad, diperbolehkan kalau ada
kebutuhan bukan yang kaya. Sebagaimana firman Ta’ala terkait wali yatim:

(وَمَنْ كَانَ غَنِيّاً فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيراً
فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ)
.

“Barang
siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari
memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia
makan harta itu menurut yang patut.” QS. An-Nisaa’:
6

Diperbolehkan memberikan untuk mereka dari dana umat islam untuk pengajaran
sebagaimana diberikan kepada para imam, tukang azan dan para qodi. Hal itu
diperbolehkan disertai ada kebutuhan.

Apakah diperbolehkan mencari rizki padahal dia kaya? Ada dua pendapat ulama.

Cara pengambilan (dalil) para ulama tidak diperbolehkan menyewa manfaat ini
bahwa amalan ini khusus pelakunya termasuk orang yang dekat dengan
pengajaran Quran, hadits, fikih, imam dan azan. Tidak boleh dilakukan oleh
orang kafir. Tidak dilakukan kecuali orang islam. Berbeda dengan manfaat
yang bisa dilakukan orang islam maupun kafir seperi tukang bangunan,
penjahit, penenun dan semisal itu. Kalau melakukan amalan dengan upah, maka
tidak menjadi ibadah kepada Allah. Maka tetap berhak mendapatkan pengganti,
karena kerjanya. Dan suatu pekerjaan kalau dilakukan dengan pengganti, maka
tidak menjadi ibadah seperti perusahaan yang kerja dengan upah. Siapa yang
mengatakan tidak diperbolehkan menyewa seperti amalan ini dia berkata bahwa
tidak diperbolehkan terjadi pada selain ibadah kepada Allah sebagaimana
tidak diperbolehkan pelaksanaan shalat, puasa dan bacaan selain dari sisi
ibadah kepada Allah. Dan menyewanya mengeluarkan dari hal itu.

Siapa yang memperbolehkan hal itu mengatakan, “Itu adalah manfaat yang
sampai kepada orang yang menyewa diperbolehkan mengambil upah untuknya
seperti manfaat lainnya.

Siapa yang membedakan antara orang yang membutuhkan dan lainnya itu yang
lebih dekat mengatakan, “Kalau orang yang membutuhkan, kalau dia
melakukannya memungkinkan niatan amalannya untuk Allah dan mengambil upah
membantu untuk beribadah. Karena bekerja untuk keluarga termasuk wajib juga.
Sehingga dia dapat menunaikan kewajibannya dengan ini. Berbeda dengan orang
kaya, karena dia tidak membutuhkannya. Kalau tidak ada yang melakukan
kecuali dirinya, maka hal itu menjadi kewajiban ain (individu) baginya.
Wallahu a’lam. Selesai dengan ringkasan  (Majmu Fatawa , (30/204).

Dari sini, mungkin kita katakan bahwa disana tidak ada dalil Kitab dan sunah
menegaskan akan pengharaman mengambil upah atas ibadah yang manfaatnya bisa
untuk orang lain selain pelakunya. Sementara ayat,sebagaimana yang kita
lihat, ia bukan nash (tegas) dalam hukum. Dan pengambilan dalilnya juga ada
pertentangan. Sementara hadits, itu lemah dari sisi sanadnya. Memungkinkan
untuk memastikan hal itu dengan melihat seperti apa yang kami ketengahkan
dari tafsir Qurtubi.

Perlu diperhatikan yang lebih utama bagi orang yang Allah
cukupkan untuknya agar membersihkan dari mengambil sedikit dari kesenangan
dunia sebagai pengganti apa yang dia usahakan dari nikmat yang Allah berikan
dari ilmu agama.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android
at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android