Unduh
0 / 0
36,02122/09/2009

SIAPAKAH YANG SHALATNYA DAPAT MENINGGALKAN KEKEJIAN DAN KEMUNGKARAN

Pertanyaan: 138805

Dalam Al-Qur’anul Karim Allahberfirman ‘Sesungguhnya shalat itu dapat menahan dari perbuatan keji dan kemungkaran’ (QS. Al-Ankabut: 45). Sementara saya dapatkan banyak orang-orang yang shalat berakhlak buruk. Ada yang menyogok, mencuri, membohong atau prilaku yang semacamnya. Saya merasakan keanehan dalam hal ini. Saaya mohon kepada anda untuk dapat menjelaskannya.

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Kami rasa anda, saudara penanya, tidak perlu
heran. Shalat yang dapat menahan dari perbuatan keji  dan munkar adalah
shalat yang benar. Dilaksanakan oleh pelakunya dengan hati, ruh dan jiwanya.
Menundukkan diri di hadapan Allah, menampakkan ubudiyah dan mengakui
kekurangan di hadapan-Nya. Kondisinya adalah mengharapkan apa yang ada
pada-Nya Azza Wajalla, jujur bertaubat dan kembali (kepadaNya) serta ikhlas
di hatinya hanya untukNya semata.  Barangsiapa yang hatinya tidak
melaksanakan hal tersebut ketika berdiri di hadapan Allah saat shalat, maka
shalatnya tidak akan berbuah seperti yang diharapkannya dimana yang
terpenting adalah mengingat Allah serta menahan dari (berbuat) keji dan
munkar. Pahala shalat sangat tergantung dengan  makna dan tujuan yang telah
direalisasikan dalam shalat.

Allah Azza Wajalla berfirman:

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلاةَ إِنَّ
الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ
أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ  (سورة العنكبوت:
45)

“Bacalah
apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji
dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar
(keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut: 45)

“Dari Abu Hurairah
radhiallahu’anhu berkata:

‘Seseorang bertanya, Wahai Rasulullah !
Seseungguhnya fulanah yang terkenal dengan disebutkan shalat, puasa dan
shodaqahnya dikenal pula suka menyakiti tetangganya dengan mulutnya?
(Rasulullah sallallahu’alaih wa sallam) bersabda: ‘Dia di dalam neraka.’
Lalu orang tersebut berkata lagi, “Wahai Rasulullah! seungguhnya fulanah
yang dikenal sedikti berpuasa, shodaqah dan shalat, namun dia bershadaqah
secuil dari keju dan tidak menyakiti tetangganya dengan lisannya. (Beliau
sallallahu’alaihi wa sallam) bersabda: “Dia di surga.’

(HR. Ahmad di Musnad, 2/440. Dishahihkan oleh
Al-Munziri dalam kitab At-Targib wa At-Tarhib, 3/321. Dan syekh Al-Albany
dalam kitab As-Silsilah As-Shahihah, no.190)

Imam Al-Qurthuby rahimahullah berkata:

“Dalam ayat ada penafsiran yang ketiga, yang
disetujui oleh para peneliti, dan pendapat Syekh Sufi, disebutkan oleh para
ahli tafsir. Dikatakan maksud dengan ‘Aqimis sholah’ (tegakkan
shalat) adalah menjalankan dengan terus menerus dan menunaikan
batasan-batasannya.

Kemudian disebutkan latar belakang mengapa
shalat dikatakan dapat menahan pelakunya dari prilaku keji dan munkar. Hal
itu karena di dalamnya terdapat bacaan Al-Qur’an yang mengandung nasehat dan
karena shalat menyibukkan seluruh anggota badan. Jika seorang yang shalat
masuk ke tempat shalat di mihrabnya, lalu dengan khusyu dan tertunduk kepada
Tuhannya, dia teringat bahwa dirinya sedang  berdiri dihadapan-Nya dan bahwa
Dia memperhatikan serta melihatnya. Maka jiwanya akan baik, tunduk dan
senantiasa merasa diawasi oleh Allah. Maka seluruh tubuhnya akan melihat
kewibaan shalat. Hal  itu terus berlangsung sampai datang waktu shalat
berikutnya dan kembali dalam kondisi yang lebih baik lagi.

Ini maksud arti dari ayat tersebut, karena
shalat seorang mukmin seharusnya begitu.

Saya berkata –yakni Al-Qurthuby-  apalagi
kalau dirinya merasa ini adalah akhir dari amalannya. Dan ini yang lebih
mengena dalam maksud (shalat), lebih sempurna dari yang diinginkan. Karena
kematian tidak mempunyai umur tertentu, waktu khusus dan sakit diketahui.
Hal ini yang tidak ada perbedaannya.

Diriwayatkan dari sebagian ulama salaf,
ketika menunaikan shalat, dia gemetar dan berubah menjadi pucat pasi. Ketika
ditanyakan hal itu, beliau berkomentar: ‘Saya berdiri dihadapan Allah
Ta’ala, kalau saya dapat mengalami hal seperti ini di hadapan raja dunia,
bagaimana lagi kalau di hadapan Raja seluruh kerajaan.’  Tidak diragukan
lagi, shalat seperti inilah yang dapat menahan perbuatan kejia dan mungkar.

Barangsiapa yang shalatnya sebatas sahnya
saja, tidak khusu’, tidak mengingat dan tidak memenuhi  keutamaan-keutamaan
–seperti shalat kita-, maka dia akan ditinggalkan shalatnya dalam kondisinya
saat itu. Kalau jalan yang dia tempuh adalah kemaksiatan yang menjauhkan
dari Allah Ta’ala, maka shalatnya meninggalkannya semakin jauh. Inilah
penafsiran hadits yang diriwayatkan olah Ibnu Abbas, Hasan dan Al-Akmasy
dengan ungkapan “Barangsiapa shalatnya tidak mampu menahannya dari perbuatan
keji dan munkar. Maka tidak bertambah darinya kecuali semakin jauh kepada
Allah.”

Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, 13/348. Hadits
yang disebutkan terakhir tadi dilemahkan oleh Syekh Al-Albany dalam kitab
‘As-Silsilah Ad-Dha’ifah, no. 2.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata: “Jika
shalat dilakukan seperti yang diperintahkan, maka ia dapat mencegah
perbuatan keji dan mungkar. Kalau tidak dapat mencegah, maka hal itu
menunjukkan (bahwa shalatnya) telah lalai dalam menunaikan hak-haknya.

Allah Ta’ala telah berfirman, ‘Maka
datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat’
(QS. Maryam:  59)

Yang dimaksud
menyia-nyiakan adalah meremehkan kewajibannya meskipun dia menunaikan
(shalat). ” Majmu Fatawa, 22/6.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:
“Kalau ada orang yang mengatakan, ‘Bagaimana shalat  menjadi penolong
seseorang?’

Maka jawabannya adalah akan menolong kalau
dia laksanakan dengan sesempurna mungkin. Yaitu dengan  menghadirkan hati
dan menunaikan apa yang seharusnya dilakukan (kewajiban). Sementara
kebanyakan shalat pada waktu sekarang, sekedar shalat gerakan tubuh bukan
shalat yang keluar dari hati. Oleh karena itu kita dapatkan, semenjak
seseorang bertakbir, maka dibukakan pintu yang luas sekali dari
lintasan-lintasan yang tidak ada faedahnya dan baru hilang ketika dia salam.
Akan tetapi shalat yang benar adalah bahwa seseorang merasakan berdiri di
hadapan Allah, bahwa ia seperti olah raga pada setiap hasil dari ibadah. Dan
ia merupakan hiburan saat galau, karena saat itu dia  berkomunikasi dengan
Allah Azza Wajalla yang dicintainya dan yang sangat dicintainya. Oleh karena
itu Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

جعلت قرة عيني في الصلاة

“Dan dijadikan shalat sebagai penyejuk
mataku.”

Sedangkan yang shalat untuk mendapatkan
hiburan, akan tetapi hatinya sibuk dengan lainnya, maka shalatnya tidak akan
menolong dirinya. Karena shalatnya kurang, maka dampaknya berkurang
sebanding dengan kekurangan yang ada pada (shalatnya).

Sebagaimana firman Allah Ta’ala, ‘Bacalah
apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji
dan mungkar.” (QS. Al-Ankabut: 45)

Kebanyakan orang ketika
masuk dan keluar shalat, hatinya tidak berubah untuk mencegah perbuatan keji
dan munkar, tapi masih tetap pada kondisi semula. Hatinya tidak melunak
dengan zikir dan tidak berubah untuk cinta pada ibadah.’ Tafsir Surah
Al-Baqarah, 1/164, 165. Silahkan lihat ‘Al-Liqa As-Syahry karangan Syekh
Ibnu Utsaimin rahimahullah, 1/soal no. 17.

Syekh Shaleh Al-Fauzan
hafizahullah berkata:

“Shalat yang benar akan
berdampak pada prilaku seorang hamba dan amalan-amalan lainnya. Allah
berfirman ‘Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya
shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan munkar.”
(QS. Al-Ankabut: 45)

Orang yang shalat dengan
menghadirkan hati, khusyu dan menghadirkan keagungan Allah, akan keluar dari
shalatnya dengan mendapatkan faedah yang bermanfaat, menahan dari kekejian
dan kemunkaran serta mendapatkan kemenangan. Sedangkan orang yang shalatnya
asal-asalan tanpa menghadirkan hati, tanpa khusyu, hatinya di suatu tempat
dan jasadnya di tempat lain, maka shalatnya tidak mendapatkan keutamaan.’
(Al-Muntaqa Min Fatawa Syekh Al-Fauzan, 3/53, 54)

Silakan lihat Fatawa
Al-Lajnah Ad-Daimah, 26/86 .

Wallahu’alam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android
at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android