Unduh
0 / 0
28,85227/04/2001

SAUDARA LAKI-LAKI YANG MENIKAHKANNYA TANPA RESTU BAPAK, KEMUDIAN SETELAH SATU TAHUN BARU BAPAK MERESTUINYA

Pertanyaan: 13929

Saya telah menikah sejak setahun lalu. Saudara laki-laki saya menjadi wali bagi saya menggantikan ayah yang menolak pernikahan saya. Setelah setahun berlalu, ayahku baru menerima perkawinankanku, bahkan beliau merasa berbahagia. Akan tetapi, kadang saya masih ragu akan keabsahan pernikahanku, apakah sesuai dengan syariat?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama. 

Nasehat kami untuk para bapak.

Seharusnya para bapak segera menikahkan
wanita yang berada dalam wilayahnya apabila  ada laki-laki sekufu (sepadan)
yang melamarnya dan wanita tersebut rela. Barangsiapa yang tidak
melakukannya, maka dia telah menyalahi apa yang diperintahkan oleh Nabi
sallallahu’alaihi wa sallam.

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata,
Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

إذا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ
تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ إِلا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ
فِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ  (رواه الترمذي، وحسَّنه الألباني في صحيح سنن
الترمذي برقم 865)

“Apabila ada orang yang engkau rela agama dan
akhlaknya datang melamar (puteri) mu, nikahkanlah dia. Kalau tidak, maka
akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang luas.” (HR. Tirmizi.
Dihasankan oleh Al-Albany dalam Shahih Sunan Tirmizi, no. 865)

Tidak diperkenankan menghalanginya dengan
tujuan yang tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-NYa.

Kata ‘Al-Adhlu /menghalangi’ sebagaimana yang
didefinisikan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah beliau berkata, ‘Arti adhl
adalah mencegah wanita untuk menikah dari orang yang sepadan ketika wanita
itu ada yang melamarnya, dan masing-masing di antara keduanya telah saling
mencintai.”

Silakan lihat Al-Mughni, 7/24.

Maka hendaklah para wali segera menikahkan
orang yang dibawah perwaliannya (apabila sudah ada calon yang cocok dan
baik), karena hal itu dapat menjaga para wanita terjerumus dalam perkara
Allah haramkan. Juga agar para wali tidak terjatuh kepada yang Allah
haramkan karena dosa menghalanginya. Prinsipnya, tindakan wali yang enggan
menikahkan  orang yang berada di bawah perwaliannya dengan orang yang setara
adalah haram. Karena hal itu termasuk kezaliman dan menyakiti wanita serta
menghalangi haknya untuk menikah dengan orang yang disukai. Hal itu termasuk
larangan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firmanNya ketika mengarahkan
kepada para wali, :Maka janganlah
kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya.” (QS.
Al-Baqarah: 232)

Kedua,

Hukum dalam masalah ini
dapat dilihat dari dua sisi.

1. Kalau wali terdekat menghalangi wanita
–telah dijelaskan definisi menghalangi- maka wali berikutnya sah
menikahkannya meskipun (wali) terdekat masih ada. Karena waktu itu tidak ada
wilayah baginya.

Al-Mardawaih berkata, perkataan ‘Kalau (wali)
terdekat menghalangi, maka wali berikutnya yang menikahkannya’ Ini adalah
pendapat yang sahih dalam mazhab dan dipilih banyak pengikut mazhab. Syekh
Taqiyuddin rahimahullah berkata, ‘Di antara gambaran menghalangi adalah
ketika pelamar terhalangi dari pinangannya karena sikap keras wali.‘ 
(Al-Inshaf, 5/74)

Syaikhul Islam rahimahullah berkata: “Kalau
wanita rela dengan seorang laki-laki yang sekufu dengannya, maka wajib bagi
walinya seperti saudara laki-laki, kemudian paman dari bapaknya untuk
menikahkannya. Kalau pernikahannya dihalangi dan dipersulit, maka wali
berikutnya boleh menikahkannya.” (Al-Fatawa Al-Kubro, Vol. 3 hal. 83)

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Kalau
wali terdekat menghalanginya, maka perwalian berpindah kepada wali
berikutnya. Hal itu telah ditegaskan oleh Imam Ahmad.” (Al-Mughni, Ibnu
Qudamah, 7/24)

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:
“Kalau seorang ayah tidak bersedia menikahkan putrinya dengan orang yang
sepadan dengannya, maka perwalian berpindah kepada kerabat ashobah
setelahnya secara berurutan.” (Fatawa Islamiyah, 3/149)  

2. Apabila wali berikutnya menikahkan padahal
wali terdekat masih ada dan tidak menghalanginya. Mardawi berkata: “Kalau
wali berikutnya menikahkan tanpa ada alasan yang dibenarkan, padahal wali
terdekat masih ada, atau orang lain yang menikahkannya, maka (nikahnya)
tidak sah. Al-Insof, 8/82.

Al-Bahuti berkata: “Kalau wali berikutnya
menikahkan, tanpa ada alasan dari wali terdekat, maka pernikahnya tidak sah.
Karena wali berikutnya tidak memiliki wewenang apabila wali terdekat masih
ada.” (As-Syaful Qanna, 5/56).

Permasalahan ini menjadi bercabang, kalau
wali terdekat mengizinkan nikah. Maka apa hukumnya? Kalau wali terdekat
mengizinkan pernikahan, apakah perizinannya dibolehkan dalam nikah ataukah
tidak?

Para ulama berpendapat, kalau dia dinikahkan
oleh orang lain yang lebih utama sementara (walinya) ada dan tidak
menghalanginya, maka nikahnya rusak. Masalah ini mencakup tiga hukum.

Salah satunya adalah kalau wali berikutnya
menikahkannya padahal wali terdekat hadir. Kemudian wanita menerima untuk
menikahkannya tanpa izinya, maka (nikahnya) tidak sah. Ini adalah pendapat
Syafi’i.

Malik berkata: “Sah (nikahnya), karena dia
adalah wali, maka sah baginya untuk menikahkan dengan izinya seperti (wali)
terdekat.

Hukum kedua, bahwa akad ini rusak. Tidak
tergantung dengan izin, adanya izin tidak menjadikannya sah. Maka nikah pada
semua bentuk ini adalah tidak sah dalam salah satu riwayat yang terkuat. Hal
ini dikuatkan oleh Ahmad di beberapa tempat. Ini adalah pendapat Syafii, Abu
Ubaidah dan Abu Tsaur.

Dari Ahmad ada pendapat dalam riwayat lain,
yaitu tergantung izin. Kalau diizinkah, boleh (sah nikahnya) kalau tidak
diizinkan, maka rusak (nikahnya).

Pernikahan oleh Fudhuli.

Fudhuli dalam istilah para ahli fiqih
dikaitkan dengan orang yang bertindak atas  hak orang lain tanpa izin
syar’i. Misalnya tindakannya tanpa kepemilikan, tanpa wakalah (perwakilan)
dan tanpa wilayah (perwalian). (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah. Vol. 32 hal. 171)

Para ahli fiqih berbeda pendapat terkait
dengan pernikahan oleh fudhuli  terhadap orang yang tidak punya wali atau
tidak ada yang mewakilinya, menjadi beberapa pendapat.

Hanbali dan Syafii dalam pendapatnya yang
baru berpendapat bahwa pernikahan oleh fudhuli tidak sah. Tidak terpengaruh
dengan izin wali (yakni harus mengulangi akad baru lagi)

Kedua, Ahmad dalam salah satu riwayatnya dan
Abu Yusuf berpendapat bahwa pernikahan oleh fudhuli adalah sah. Akan tetapi
tergantung izin wali. Kalau diizinkan, maka pernikahannya dapat diteruskan,
tapi kalau ditolak, maka pernikahannya batal. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah,
32/175)

Kesimpulannya, sebagian ulama menyatakan
bahwa akad (nikah), kalau walinya mengizinkan -sebagaimana anda lihat-
adalah sah. Namun, jika anda ingin lebih tenang dan keluar dari perbedaan
ulama, maka lebih bagus anda mengulangi akad nikah. Untuk itu, yang
diharuskan hanyalah penyerahan (ijab) dari wali anda –yaitu bapak- dan
penerimaan (qabul) dari suami, kemudian adanya dua orang laki-laki muslim
sebagai saksi disertai dengan taubat atas apa yang telah terjadi sebelum
itu.

Kami berdoa kepada Allah agar anda
mendapatkan taufiq.

Refrensi

Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android
at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android