Di bulan yang mulia ini, bulan Ramadan. Setelah saya baru saja menikah. Saya ingin meminta penjelasan yang menjadi beban pikiranku. Dimana istriku terkadang terlentang dan saya memegangnya. Kemudian saya kembali lagi ke ranjang dan terkadang saya memeluknya. Apakah hal itu dapat merusak puasaku? Tolong diberi penjelasan sekitar masalah ini, apa-apa yang dibolehkan dan yang diharamkan untuk dilakukan.
Seseorang Memeluk Istrinya Saat Bepuasa
Pertanyaan: 14315
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Seharusnya seorang muslim menjaga puasanya dari sesuatu yang membatalkannya. Dan mengharap pahala dengan meninggalkan keinginan makan, minum dan berstubuh. Sebagaimana telah ada dalam hadits tentang keutamaan puasa "Meninggalkan makanan, minuman dan nafsunya karena Diri-Ku." (HR. Bukhari, puasa, no. 1761).
Akan tetapi jika dirinya dapat menahan diri dan menguasai dirinya tidak sampai terjerumus ke sesuatu yang dapat merusak puasanya dengan keluar mani atau bersetubuh. Atau berkurang puasanya dengan keluar mazi. Maka dalam kondisi seperti ini, dia dibolehkan bercumbu dengan istrinya. Karena Nabi sallallahu alaihi wa sallam dahulu mencumbui Aisyah radhiallahu anha dan beliau paling bisa mengendalikan diri dari nafsunya.
Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “Mencium, bercumbu dan memeluk istri tanpa bersetubuh sementara saat berpuasa, kesemuanya itu dibolehkan dan tidak mengapa. Karena Nabi sallallahu alaihi wa sallam dahulu mencium dalam kondisi berpuasa, mendekap dalam kondisi berpuasa. Akan tetapi kalau khawatir terjerumus ke sesuatu yang diharamkan oleh Allah karena cepat (bangkit) syahwatnya. Maka hal itu dimakruhkan. Kalau keluar mani, maka dia diharuskan menahan (puasa) dan diharsukan mengqada dan tidak diharuskan kafarat menurut mayoritas ulama. Adapun mazi, tidak merusak puasa menurut pendapat terkuat dikalangan para ulama. Karena asalnya adalah sah dan tidak membatalkan puasa. Karena hal itu sulit terlepas darinya. Wallahu waliyyut taufiq
(Fatawa Syekh Ibn uBaz, juz/4 hal/202.).
Refrensi:
Syekh Muhammad Sholeh Al-Munajid