Apakah dibolehkan bagi sepasang suami isteri untuk menggunakan pil penunda kehamilan selama 5-6 bulan. Karena keduanya hendak melaksanakan ibadah haji dan tidak ingin sang isteri akan merasakan berat karena kehamilannya atau adanya anak kecil. Perlu diketahui bahwa keduanya belum lama menikah.
HUKUM MENUNDA KEHAMILAN AGAR DAPAT MENUNAIKAN HAJI
Pertanyaan: 144543
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Alhamduilllah
Suami istri diperbolehkan mempergunakan sesuatu untuk menunda kehamilan selama enam bulan atau semisalnya untuk tujuan seperti ini, yaitu (agar) memungkinkan menunaikan ibadah haji. Karena diperbolehkan menunda kehamilah untuk kemaslahatan sesuai yang dilihat oleh sepasang suami istri.
Dinyatakan dalam keputusan Konvesi Fiqih Islam, “Sesungguhnya Majlis Konvensi Fiqih Islam, setelah meneliti kajian-kajian yang diajukan para anggotanya dan para pakar tentang pengaturan kelahiran, juga setelah mendengar diskusi yang membicarakan seputar masalah itu. Maka berdasarkan tujuan pernikahan dalam syariat Islam yaitu mendapatkan keturunan, serta memelihara kelanjutan populasi manusia dan bahwa tidak boleh mengabaikan tujuan ini, karena mengabaikannya bertentangan dengan nash-nash syariat serta ajaran-ajarannya yang menyerukan untuk memperbanyak keturunan serta memelihara dan memperhatikannya. Juga dengan pertimbangan bahwa memelihara keturunan merupakan salah satu dari lima perkara pokok yang sangat mendapatkan perhatian syariat, Konvesi menetapkan hal berikut ini;
Pertama:
Tidak boleh mengeluarkan peraturan yang berlaku secara umum yang membatasi suami isteri untuk melahirkan.
Kedua:
Diharamkan mematikan fungsi melahirkan pada pria maupun wanita. Atau apa yang disebut dengan vasektomi dan tubektomi, selama tidak ada kondisi darurat berdasarkan batasan syariat.
Ketiga:
Dibolehkan mengatur waktu kelahiran yang bersifat sementara dengan tujuan menjarangkan jarak kehamilan, atau menghentikannya untuk sementara waktu, jika secara syar’i ada tuntutan untuk hal tersebut berdasarkan perkiraan pasangan suami isteri dan musyawarah serta kesepakatan di antara mereka. Dengan syarat bahwa hal tersebut tidak menimbulkan bahaya dan dengan cara yang disyariatkan serta bukan bertujuan menggugurkan kandungan yang ada.”
(Majalah Majma’ Al-Fiqh, edisi 5, vol. 1, hal. 748)
Wallahua’lam.
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam