Seseoarng menjamin pinjaman dengan sejumlah untuk membeli rumah di samping masjid agar dapat digunakan sebagai sisi masjid. Kemudian setelah itu orang ini menaruh rumah ini atas namanya sebagai pengganti atas nama masjid. Apa yang perlu dilakukan sekarang? Hak rumah apakah untuk masjid atau untuk orang itu?
Tidak Harus Wakaf Hanya Dengan Niat
Pertanyaan: 146753
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Wakaf tidak harus dilaksanakan sekedar hanya niatan pemiliknya bahwa itu wakaf. Akan tetapi dilaksanakan dengan mengucapkan (seperti ini wakaf) atau dengan prilaku yang menunjukkan itu adalah wakaf. Seperti dia membangun suatu tempat dan diizinkan melakukan shalat di dalamnya. Ini menunjukkan bahwa dia telah mewakafkan untuk masjid.
Telah ada dalam ‘Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, (44/119, 120), “Para ulama fikih berbeda pendapat terkait keharusan wakaf. Jumhur fuqaha dari Malikiyah, Syafiiyyah, Mazhab Hanabilah, Abu Yusuf dan Muhammad dari Hanfiyah berpendapat bahwa wakaf ketika keluar dari orang yang berhak mempergunakan, terpenuhi syarat-syaratnya. Maka (wakaf) menjadi lazim (harus dilaksanakan). Pemilik wakaf terputus dalam mempergunakan sesuatu yang diwakafkan dengan penggunaan apa saja yang mengurangi maksud dari wakaf. Maka tidak boleh dijual, dihibahkan dan diwariskan. Hal itu berdasarkan sabda Nabi sallallahu alaih wa sallam kepada Umar bin Khottob radhiallahu anhu:
(تصدق بأصله ، ولا يباع ولا يوهب ولا يورث)
“Bersedakah dengan pokoknya, dan tidak boleh dijual, dihibahkan dan diwariskan.”
Karena wakaf adalah sumbangan yang dilarang untuk menjual, menghibah dan mewariskan, maka berlaku langsung ketika keluar kata-kata dari orang yang mewakafkan seperti memerdekakan. Berbeda dengan hibah, ia memiliki secara umum. Wakaf menahan pokoknya dan membiarkan manfaatnya maka lebih dekat dengan memerdekaan budak, dan memasukkan dengannya lebih tepat.
Sementara menurut Abu Hanifah, wakaf itu boleh dan tidak langsung dilaksanakan. Orang yang mewakafkan diperbolehkan menarik lagi (wakafnya) dalam masa hidupnya tapi dimakruhkan dan ia dapat diwariskan. Akan tetapi fatwa menurut Hanafiyah sesuai pendapat Abu Yusuf dan Muhammad adalah langsung dilaksanakan. Ibnu Abidin menukil dari ‘Al-Fath’ mengatakan, “Yang benar adalah menguatkan pendapat mayoritas ulama dengan melaksanakan secara langsung. Karena hadits dan atsar sangat banyak terkait hal itu. Dan melanjutkan amal para shahabat dan tabiin serta generasi setelahnya, maka dikuatkan pendapat keduanya (Abu Yusuf dan Muhammad).
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Hilang kepemilikan dan langsung terlaksana wakaf hanya sekedar mengucapkannya. Karena wakaf didapatkan seperti itu. Dari Ahmad rahimahullah dan riwayat lainya mengatakan, “Tidak lazim (langsung terlaksana) kecuali dengan dipegang dan pewakaf mengeluarkan dari tangannya. Kemudian berdalil akan keabsahan pendapat pertama dengan mengatakan, “Dan bagi kami, apa yang kami riwayatkan dari hadits Umar. Karena ia adalah sumbangan yang menghalangi penjualan, hibah dan warisan. Maka langsung terlaksana hanya sekedar (ucapan) seperti memerdekaan (budak). Berbeda dengan hibah, ia memiliki secara umum. Wakaf menahan pokoknya dan membiarkan manfaatnya maka lebih dekat dengan memerdekaan budak, dan memasukkan dengannya lebih tepat. (Al-Mugni, 6/208).
Dari sini, Kalau pemilik rumah berniat (sekedar niatan) menjadikan rumah sebagai wakaf untuk Allah dengan diikutkan masjid maka tidak diharuskan melakukan itu. Bahkan ia adalah miliknya. Dia diperbolehkan menarik niatannya. Akan tetapi kalau dia dengan jelas mewakafkan setelah dia membeli rumah dengan mengatakan, “Ia adalah wakaf untuk Allah Ta’ala. Maka dia tidak dihalalkan mengambil kembali wakafnya, bahkan dia harus menjadikan wakaf seperti apa yang diucapkan. Kalau dia telah menjanjikan kepada anggota masjid menjadikan rumahnya sebagai wakaf karena Allah diikutkan dengan masjid, maka lebih baik baginya menepati janjinya. Karena hal itu termasuk akhlak muslim yang mulia.
Ulama Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta’ pernah ditanya: yang terhormat gubenur Abdurrohman bin Abdullah Ali Saud menjanjikan akan memberi sebidang tanah kosong di sisi desa ‘Dhubai’ah’ untuk dibangun sekolah. Akan tetapi pelaksanaan itu bersyarat dengan diperbolehkannnya menarik janji sebelumnya dengan memberikan janji akan dibangun masjid ied di atasnya. Dan beliau yang mulia memohon kepada kami agar ditanyakan kepada para ulama akan hal itu. Apakah memilih pemberian masjid ied untuk menepati janji terdahulu atau memberikan kepada instansi pendidikan untuk dibangun sekolahan di atasnya? Perlu diketahui sekarang sudah ada masjid ied di sebelah barat desa Dhubai’ah.
Mereka menjawab, “Kalau yang terhormat gubenur Abduurahman bin Abdullah Ali Saud telah menjanjikan sebidang tanah dengan benar untuk dibangun di atasnya masjid ied, maka ia untuk masjid ied. Dia tidak diperbolehkan menarik pemberiannya. Kalau yang terjadi adalah sekedar menjanjikan untuk memberi sebidang tanah untuk didirikan masjid di atasnya, maka lebih bagus bagi beliau untuk menunaikan apa yang dijanjikan sebagai bentuk menepati janjinya.” Selesai
Syekh Abdul Aziz bin Baz, Sykeh Abdurrozaq Afifi, Syekh Abdullah bin Gudayyan
Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 16/93, 94.
Silahkan melihat jawaban soal no. 125101.
Wallahua’lam.
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam
Tema-tema Terkait