Unduh
0 / 0

Seseorang Berubah Menjadi Kaya Kemudian Menikah Lagi Apakah Dia Berarti Telah Mendzalimi Istrinya Yang Pertama ?

Pertanyaan: 149047

Saya sebelumnya termasuk orang yang menengah ke bawah dari sisi ekonomi, kemudian saya menikah dengan istri pertama, ia tinggal di rumah keluarga saya, ia bersabar dalam menjalani kehidupan bersama saya, suka duka dihadapi bersama. Sekarang Alloh telah memberikan karunia kekayaan kepada saya hingga menjadi milyarder yang dapat mencukupi nafkah secara utuh –dengan izin-Nya-, saya sekarang ingin menikah lagi.

Pertanyaan saya: “Apakah poligami saya nantinya pada saat saya sudah menjadi kaya termasuk kedzaliman bagi istri pertama saya yang telah hidup bersama saya pada masa sulit sebelumnya ?, jazakumullah khoiran dan saya menunggu jawaban yang terperinci anda.

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama:

Menikah dengan istri kedua –pada
hakekatnya- bukanlah termasuk perbuatan dzalim kepada istri pertamanya,
menikah lagi dengan istri ketiga bukan berarti mendzalimi istri pertama dan
keduanya, menikah lagi dengan istri keempat bukan berarti mendzalimi para
istri sebelumnya. Barang siapa yang berkata demikian, maka berarti ia telah
menisbahkan kepada syariat yang suci ini dengan kedzaliman, dan ini sangat
mustahi !. Kedzaliman itu buruk dan diharamkan secara ijma’. Kedzaliman
adalah mengambil hak orang lain, mana ada hak istri pertama yang diambil
secara dzolim oleh suaminya dengan menikah lagi ?!

Berpoligami pada dasarnya dan
menurut syari’at bukanlah bentuk kedzaliman, akan tetapi kedzaliman itu jika
hak-hak dari istri pertamanya terabaikan, suami tidak menunaikan apa yang
telah Alloh –Ta’ala- wajibkan kepada istrinya, bentuk kedzaliman seperti ini
bisa jadi juga terjadi kepada istri kedua, kedzaliman pun bisa juga terjadi
kepada istri yang tidak dimadu suaminya, bahkan yang monogami inilah yang
banyak mengalami kedzaliman, pengadilan agama banyak menerima aduan dalam
masalah rumah tangga yang kebanyakan terjadi dari mereka yang monogami (yang
beristri tunggal), kedzaliman terjadi berasal dari tingkah laku seorang
suami bukan dalam hukum asal pernikahannya. Barang siapa yang lebih
cenderung kepada istri keduanya dengan menelantarkan hak-hak istri
pertamanya dalam hal pembagian hari, nafkah dan tempat tinggal, maka dia
telah berlaku dzalim. Begitu juga sebaliknya, barang siapa yang memberikan
hak kepada masing-masing istrinya maka dia telah berlaku adil.

Ulama Lajnah Daimah menjawab
pertanyaan yang menyatakan bahwa jika seorang suami menikah lagi dengan
istri kedua maka suami tersebut telah berbuat dzalim kepada istri
pertamanya:

“Tidaklah pernikahan poligami
tersebut merupakan kedzaliman kepada istri pertama; karena Alloh –Ta’ala-
telah menghalalkan poligami dalam firman-Nya:

( فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى
وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ

(

“…maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat”. (QS. An Nisa’:
3)

(Syeikh Abdul Aziz bin Baaz –
Syeikh Abdullah bin Ghadyan – Syeikh Sholeh al Fauzan – Syeikh Abdul Aziz
Alu Syeikh – Syeikh Bakr Abu Zaid)

(Fatawa Lajnah Daimah:
18/444-445)

Kedua:

Adapun jika seorang suami
menikah lagi setelah berubah menjadi kaya –dengan izin Alloh-, mampu berlaku
adil kepada kedua istrinya, maka tidak masalah, tidak ada kedzaliman
sedikitpun dalam hal ini, kecuali jika suami tersebut memperlakukan istri
pertamanya dengan buruk, atau mengingkari keutamaan dan kesabarannya dalam
menjalani rumah tangga sebelumnya.

Syeikh Abdurrahman as Sa’di –rahimahullah-
berkata:

“Dalam masalah tersebut dia
boleh menikah lagi dengan syarat bisa mengendalikan dirinya untuk tidak
berlaku dzalim, merasa mampu untuk menunaikan hak-hak mereka, namun jika dia
merasa hawatir dari semua itu maka cukup dengan satu istri saja atau dengan
milku yamin (budak wanita yang kamu miliki); karena milku yamin tidak berhak
mendapatkan giliran hari.

ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ ٣

“Dzalika” (Mencukupkan diri
dengan satu istri atau dengan “milku yamin”(budak wanita yang dimiliki))

“Adnaa an laa Ta’uuluu” (Agar
kalian tidak mendzalimi)

Dalam hal ini seorang hamba
dihadapkan kepada perkara yang dihawatirkan akan berbuat dzalim dan tidak
mampu mengamalkan kewajiban –meskipun hukum poligami mubah- ; karena
sebaiknya tidak dihadapkan pada perkara yang seperti itu, bahkan sebaiknya
dia merasa dalam kelapangan dan kesehatan, karena kesehatan adalah
sebaik-baik perkara yang diberikan kepada seorang hamba”. (Tafsir as Sa’di:
163)

Sedangkan permusuhan yang
terjadi antara para istri, hal itu juga terjadi antar personal dalam satu
keluarga bahkan terkadang lebih jelas lagi permusuhannya, maka yang demikian
itu tidak menjadi penghalang bagi orang-orang yang berakal untuk mewujudkan
kemaslahatan yang diharapkan dari pernikahan keduanya, jika dia
menginginkannya atau membutuhkannya.

Sedangkan apa yang
diperkirakan oleh istri pertamanya bahwa suaminya telah mendzaliminya karena
hati dan hartanya menjadi terbagi dengan istri keduanya, maka masalah rizki
telah dijamin oleh Alloh –Ta’ala-, Dialah penciptanya, Dialah yang membagi
kepada seluruh hamba-hamba-Nya.

وما يدري الفقيرُ متى غِناه … وما يدري الغَنيُّ متى يَعيلُ

“Tidaklah seorang yang fakir
mengetahui kapan masa kayanya tiba #

dan tidaklah seorang yang
kaya mengetahui kapan dia menjadi fakir ?!”

Adapun masalah rasa cinta
hati yang terbagi; siapakah yang mengklaim bahwa hati itu tidak bisa
menampung rasa cinta kepada dua istri atau lebih, kecuali hanya dalam
bayangan mereka para penyair, ucapan para pencinta, dan mereka yang
tepengaruh oleh mereka ?!

Tidakkah seorang bapak mampu
membagi hatinya kepada kedua anaknya atau lebih, sesuai dengan kehendak
Alloh ?!, maka apa yang menjadikan hatinya sempit untuk kedua istrinya atau
lebih sesuai yang dihalalkan oleh Alloh ?!, 

Syeikh Muhammad al Amin asy
Syinqithi –rahimahullah- berkata:

“Apa yang diklaim oleh mereka
orang-orang kafir yang menjadi musuh agama Islam bahwa berpoligami itu
sumber permusuhan dan konflik terus menerus yang menyebabkan kesengsaraan
hidup; karena setiap kali suami berempati kepada salah satu istrinya, maka
istrinya yang lain akan marah, dia selalu akan hidup di antara dua kemarahan.
Hal ini bukanlah termasuk sikap yang bijak, bahkan pendapat ini lemah,
kelemahannya pun bisa ditebak oleh semua orang yang berakal; karena
permusuhan dan fitnah dalam rumah tangga sulit untuk bisa dihindari
selamanya, bisa saja terjadi antara seorang laki-laki dengan ibunya, antara
dia dengan ayahnya, antara dia dengan anak-anaknya, antara dia dengan
istrinya (monogami), hal ini perkara yang biasa yang tidak perlu
dibesar-besarkan. Di balik semua fitnah yang ada terdapat kemaslahatan besar
yang telah kami sebutkan, di antaranya untuk menjaga kehormatan para wanita,
mempermudah semua pernikahan mereka, memperbanyak jumlah umat yang
diharapakan menjadi garda terdepan untuk menghadang musuh-musuh Islam;
karena kemaslahatan besar harus didahulukan meraihnya dari pada mencegah
kerusakan yang kecil.

Kalau  misalnya fitnah atau
keburukan yang diklaim dalam berpoligami merupakan kerusakan, atau bahwa
menyakiti hati istri pertama dengan adanya istri kedua merupakan kerusakan, 
maka tetap didahulukan kemaslahatan yang telah kami sebutkan sebelumnya.

Al Qur’an telah membolehkan
poligami untuk kemaslahatan wanita agar tidak terhalang dari pernikahan, dan
untuk kemaslahatan laki-laki
agar manfaat yang dimilikinya
tidak tertahan pada saat istrinya berhalangan, juga untuk kemaslahatan umat
agar jumlahnya menjadi banyak hingga memungkinkan untuk menghalau musuh
mereka agar kalimat Alloh menjadi yang tertinggi. Poligami itu merupakan
syari’at Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui, tidaklah ada yang
mencederainya kecuali mereka yang Alloh butakan mata hatinya dengan gelapnya
kekufuran”. (Adhwaul Bayan: 3/23-24)

Ketiga:

Wahai seorang istri yang
mulia hendaknya anda ketahui bahwa banyaknya harta akan menjadi fitnah, dan
bahwa pemikiran suami anda untuk melampiaskan syahwatnya melalui pernikahan
yang disyari’atkan termasuk yang sebaiknya didukung karena dihawatirkan akan
terjerumus kepada fitnah yang banyak menimpa mereka para orang kaya, dengan
adanya beberapa rumah tangga bagi laki-laki kaya tersebut dan beberapa anak
dari masing-masing istrinya akan mampu mengendalikan syahwat dan perilakunya;
karena tidak mempunyai banyak waktu sebagaimana yang dimiliki oleh para
hartawan untuk memalingkannya kepada yang tidak dihalalkan dan tidak
dibolehkan. Maka pendapat kami terkait pemikiran seorang suami yang telah
Alloh –Ta’ala- berikan nikmat harta kepadanya untuk menikah lagi dengan
istri kedua, ketiga, … hal ini untuk kebaikan agamanya maka tidak sebaiknya
dicela dan dihalangi niatannya untuk meraih tujuannya dengan menikahi wanita
sesuai dengan kitab dan sunnah.

Syeikh Nashiruddin al Baani –rahimahullah-
pernah ditanya:

Seorang laki-laki ketika
hartanya menjadi banyak, maka pikiran pertamanya adalah menikah lagi namun
tidak untuk membangun rumah tangga tapi untuk bersenang senang ?

Maka Syeikh –rahimahullah-
menjawab:

“Boleh (mubah), akan tetapi
kami menyarankan agar ditingkatkan dari mubah menjadi mustahab (sunnah),
yaitu; dengan memperbanyak umat Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
mengharap dan memperbanyak pahala dari Alloh dengan mendidik diri sendiri
dan keturunannya”. (Asyrithah Silsilah al Huda dan An Nuur: 521)

Kesimpulan:

Seorang suami menikah lagi
dengan istri kedua setelah Alloh –Ta’ala- memberikan kekayaan kepadanya
bukanlah bentuk kedzaliman kepada istri pertamanya, dengan syarat
memberlakukan keduanya dengan adil sebagaimana yang telah diwajibkan oleh
Alloh –Ta’ala-: Adil dalam nafkah, pembagian hari, tempat tinggal dan
pakaian. Baca juga rincian penjelasan tersebut pada jawaban nomor:
10091, 13740 dan
20455.

Wallahu a’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android