Unduh
0 / 0

Di Antara Nama Allah Ta’ala Adalah Al-Qahhar dan Al-Qahir, Tidak Bertentangan Dengan Kasih Sayang-Nya

Pertanyaan: 153663

Saya ada pertanyaan tentang nama Allah Ta’ala Al-Qahir. Disebutkan bahwa maknanya adalah ‘Bahwa Dia yang memaksa hamba-Nya atas apa yang Dia ciptakan untuk mereka, seperti sakit, kematian, kefakiran, kehinaan. Tidak ada seorang pun yang dapat menolak pengaturannya dan keluar dari takdirnya” Ada juga penafsiran dari Syekh Ratib An-Nablusi tentang nama ini, yaitu bahwa Allah Ta’ala ‘Sempurna, tidak menghinakan kecuali orang-orang zalim dan sesat dan lalim.’ Pertanyaan saya adalah, ‘Apakah orang-orang yang terpaksa mendapatkan sakit, kematian, fakir, rendah, apakah mereka pada dasarnya orang-orang zalim, sesat dan lalim?’ Jika demikian halnya, bagaimana halnya dengan anak-anak yang sakit atau musibah yang menimpa kita di dunia ini. Apakah terjadi pada kita karena kezaliman dan kesesatan kita dari jalan yang benar, atau bahwa Allah Ta’ala memiliki hikmah yang lain. Nama-nama Allah seperti Al-Qahir dan Al-Qahhar, menyebabkan kebingungan yang sangat, karena di satu sisi Dia memaksakan kehendaknya, di sisi lain Dia adalah Maha bijaksana dan pengasih penyayang.

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama:

Allah Ta’ala berfirman,

وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ الْحَكِيمُ
الْخَبِيرُ   (سورة الأنعام: 18)

“Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. dan
Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-An’am: 18)

قُلِ اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ الْوَاحِدُ
الْقَهَّارُ  (سورة الرعد: 16)

“Katakanlah: “Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan
Dia-lah Tuhan yang Maha Esa lagi Maha Perkasa”. (QS. Ar-Ra’d: 16)

قُلْ إِنَّمَا أَنَا مُنْذِرٌ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا اللَّهُ
الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ (سورة ص: 65)

“Katakanlah (ya Muhammad): “Sesungguhnya aku hanya seorang
pemberi peringatan, dan sekali-kali tidak ada Tuhan selain Allah yang Maha
Esa dan Maha Mengalahkan.” (QS. Shaad: 65)

Al-Qahhar

(القهار)
merupakan sighat mubalaghah (bentukan kalimat yang berarti sangat) dari isim
fa’il Al-Qahir

(القاهر).
Dia adalah “Yang mengalahkan segala sesuatu dan mengaturnya sebagaimana Dia
kehendaki dan bagaimana Dia kehendaki. Dia menghidupkan makhluknya jika Dia
kehendaki, mematikannya jika dia kehendaki, tidak ada satupun yang dapat
mengalahkan-Nya dan memaksa-Nya.”

(Tafsir Ath-Thabary, 17/52)

Yang dapat memaksakan segala sesuatu adalah Yang Maha Esa dan
tidak tandingan-Nya.

Hanya Dia-lah yang berhak disembah, sebagaimana hanya Dia
yang mengalahkan segala sesuatu. Dia memaksa dengan kekuasaan-Nya segala
sesuatu, lalu langit dan bumi memenuhi perintahnya. Tidak ada yang tercipta
kecuali dia tunduk di bawah kekuasaan dan ketentuan-Nya. Mereka lemah dalam
genggaman-Nya.”

Dialah yang perkasa di atas seluruh makhluknya, maha tinggi
dalam keperkasaan dan kekuatannya, tidak ada yang dapat mengalahkannya dan
menandinginya. Segala sesuatu berada di bawah keperkasaannya dan
kekuasaannya.

Al-Baihaqi rahimahullah  berkata, “Al-Qahhar adalah Al-Qahir
dalam makna mubalaghah (sangat).
Dia yang maha
kuasa. Maka maknanya kembali kepada sifat qudrah (kuasa) yang merupakan
sifat berdiri sendiri.

Ada yang mengatakan bahwa Dialah yang menundukkan makhluk
atas apa yang Dia kehendaki.” (Al-I’tiqad, hal. 56)

Al-Halimi berkata, “Dialah yang perkasa dan tidak ada yang
mengalahkannya sama sekali.” Al-Khattabi berkata, “Dialah yang memaksa para
penguasa lalim dan keras di antara makhluknya dengan menurunkan hukuman-Nya,
dia memaksa makhluk-Nya dengan kematian.” (Al-Asma wa As-Sifat, Al-Baihaqi,
1/164)

Ibnu Manzhur rahimahullah berkata, “Al-Qahhar termasuk sifat
Allah Azza wa Jalla.” Al-Azhari berkata, Allah adalah Al-Qahir Al-Qahhar.
Dia menundukkan makhluk-Nya dengan kekuasaan-Nya dan ketetapan-Nya serta
mengarahkan mereka atas apa yang Dia kehendaki, baik mereka suka maupun
enggan. Al-Qahhar adalah mubalaghah. Ibnu Atsir berkata, “Al-Qahir adalah
Yang mengalahkan seluruh makhluk.” (Lisanul Arab, 5/120)

Makna tersebut juga diisyaratkan oleh Ibnu Qayim rahimahullah
dalam bait syairnya yang dikenal dengan istiah An-Nuniyah,

وكذلك القهار من أوصافه …
فالخلق مقهورون بالسلطان
لو لم يكن حيا عزيزا قادرا … ما كان من قهر ومن سلطان

Demikian pula Al-Qahhar termasuk dalam sifat-Nya

Makhluknya dikalahkan dalam kekuasaan-Nya.

Seandainya Dia tidak hidup, mulia dan berkuasa

Maka Dia tidak kan dapat mengalahkan dan berkuasa.

Kedua:

Al-Qahr merupakan salah satu sifat Allah Ta’ala. Dia bukan
sinonim balas dendam terhadap musuh-musuhnya, maknanya bukan pula menyiksa
para pendurhaka, agar jangan dikatakan bahwa yang Dia tundukkan hanyalah
kaum yang zalim dan jumawa, sebagaimana ada yang mengatakan demikian. Itu
pandangan keliru. Karena sifatnya yang menundukkan orang-orang zalim, itu
termasuk sifat penundukannya terhadap makhluknya, akan tetapi tidak terbatas
pada itu. Sifat penundukannya berlaku pada seluruh makhluk-Nya, baik yang
taat atau yang bermaksiat kepada-Nya. Karena hal tersebut merupakan indikasi
rububiyah-Nya terhadap makhluk-Nya dan kekuasaan-Nya terhadap mereka serta
petunjuk kekuasaan dan kekuatannya yang sempurna. Ini juga merupakan
petunjuk keesan-Nya dalam uluhiyah-Nya terhadap hamba-hamba-Nya.

Ibnu Jarir rahimahullah berkata dalam tafsirnya  (11/288)

tentang firman Allah Ta’ala,

وَهُوَ الْقَاهِرُ
فَوْقَ عِبَادِهِ  (سورة الأنعام: 18)

Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya.” (QS.
Al-An’am: 18)

Maksud dari kata

(القاهر)
adalah yang menundukkan dan merendahkan makhluk-Nya, yang tinggi di atas
mereka. Dikatakan ‘di atas hamba-Nya’, karena Dia mensifati dirinya
menundukkan mereka, dan sifat setiap yang menundukkan sesuatu itu berarti
dia berada di atasnya.

Makna ucapan ini jika demikian adalah “Allah menundukkan
hamba-hamba-Nya, merendahkan mereka, Dia maha tinggi di atas mereka yang
telah Dia tundukkan dan Dia ciptakan.

Dia ada di atas mereka, karena Dia yang menundukkan mereka
dan mereka dibawah-Nya.”

Ibnu Qayim rahimahullah berkata,

“Al-Qahhar tidak akan ada pada sesuatu kecuali dia esa dan
mustahil memiliki sekutu.
Al-Qahr
(menundukkan) dan Al-Wihdah (esa) adalah dua hal yang saling berkaitan.
Al-Mulk (kerjaan), Al-Dudrah (kekuasaan), Al-Quwwah (kekuatan), Al-Izzah
(kemuliaan), semuanya milik Allah yang Esa dan Menundukkan.

Selain dari-Nya berarti dia makhluk dan ditundukkan, ada
lawan, ada yang meniadakan dan ada tandingan. Allah menciptakan angin dan
menundukkannya satu sama lain, menghantamnya dan menceraiberaikannya. Dia
menciptakan air, lalu air ditundukkan oleh angin yang mengalirinya dan
mencerai beraikannya. Dia menciptakan api, lalu api ditundukkan oleh air
yang dapat memadamkannya. Dia menciptakan besi, lalu besi ditundukkan oleh
api yang meleburnya dan menghilangkan kekuatannya. Dia menciptakan batu,
lalu batu ditundukkan oleh besi yang dapat menghancurkannya
berkeping-keping. Dia menciptakan Adam dan keturunannya, lalu Iblis dan
keturunannya menguasainya. Dia ciptakan Iblis dan keturunannya, lalu Iblis
ditundukkan malaikat yang mengusir dan mengejar-ngejar mereka.

(Thariqul Hijratain: 233)

As-Sa’dy rahimahullah berkata, “Setiap makhluk diatasnya ada
makhluk lagi yang mengalahkannya. Di setiap makhluk yang mengalahkan,
adalagi yang lebih tinggi yang mengalahkannya. Hingga akhirnya yang
menundukkan adalah yang Maha Esa dan Maha Perkasa. Keperkasaan dan tauhid
adalah dua perkara yang berkaitan dan ditentukan milik Allah semata.”

(Tafsir As-Sa’dy, hal. 415)

Dengan demikian, hilanglah keraguan dalam masaah sakitnya
anak kecil atau kematiannya, serta terjadinya musibah dan ujian bagi sang
hamba, karena maknanya tidak terkait dengan hukuman, maksudnya bahwa Allah
tidak bermaksud merendahkan mereka atau mengazab mereka, akan tetapi itu
semua merupakan tanda kekuasaannya yang sempurna terhadap makhluk-Nya. Dia
Allah subhanahu wa ta’ala maha bijaksana, tidak meletakkan sesuatu di
tempatnya kecuali hal itu cocok baginya.

Allah berfirman,

لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ  (سورة
الأنبياء: 23)

“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan
merekalah yang akan ditanyai.” (QS. Al-Anbiya: 23)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang maknanya, “Bukan sekedar
karena kekuasaannya dan keperkasaannya, akan tetapi untuk menunjukkan
kesempurnaan ilmunya, kekuasaannya dan, kasih sayang dan kebijaksanaanya.
Dia adalah sebaik-baik yang bersikap bijak dan kasih sayang. Dia lebih
sayang kepada hamba-Nya dari orang tua terhadap anaknya. Dia telah berbuat
baik terhadap segala sesuatu yang Dia ciptakan.”

(Majmu Fatawa, 8/79)

Dengan demikian, jelaslah bagi kita, bahwa tidak ada masalah
dalam masalah ini. Karena yang dimaksud Al-Qahr, tidak dikhususkan bagi
orang-orang maksiat dan zalim saja. Demikian pula, kemaksiatan dan ujian,
tidak berarti balasan dan azab terhadap makhluk yang mengalaminya. Boleh
jadi Allah menurunkan penyakit kepada hambanya, untuk mengujinya, bukan
untuk mengazabnya, justeru Dia hendak meninggikan derajatnya. Dia menguji
seseorang dengan kefakiran, bukan agar dia terus fakir, tapi agar dia
menjadi kaya.

Tirmizi meriwayaktan (2398) dan dia menyatakan shahih, dari
Saad bin Abi Waqqash radhiallahu anhu dia berkata, aku berkata, “Ya
Rasulullah, siapakah orang yang paling berat ujiannya?” Beliau bersabda,
“Para Nabi, lalu berikutnya orang-orang yang mulia. Seseorang diuji
berdasarkan kekuatan agamanya. Sebuah ujian menimpa seseorang dan baru
meninggalkannya sehingga orang terebut berjalan dimuka bumi dalam keadaan
tiada dosa.” (HR. Al-Albany dalam Shahih Tirmizi)

Ibnu Majah (4024) meriwayatkan dari Abu Said Al-Khudry
radhiallahu anhu, dia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah, siapa orang
yang paling berat ujiannya?’ Beliau bersabda, “Para nabi” Aku berkata lagi,
“Kemudian siapa?” Dia berkata, “Kemudian orang-orang saleh.

Ada orang yang diuji dengan kefakiran, sehingga dia tidak
memiliki kecuali baju yang dikenakan. Adapula orang yang senang dengan ujian
sebagaimana dia senang dengan kesejahteraan.” Dishahihkan oleh Al-Albany
dalam Shahih Ibnu Majah.

Untuk mengetahui hikmah dari ujian terhadap anak-anak dengan
berbagai penyakit di dunia, perhatikan jawaban soal no.
13610,
150016

Ketiga:

Tidak ada keraguan dan tidak ada masalah bahwa Allah Ta’ala
Maha Esa, Maha Menundukkan.

Dia kuat dan perkasa, agung, besar, tinggi hingga akhir
nama-nama dan sifat-sifat yang mengagungkannya. Tidak ada problam pada semua
itu dengan sifat Allah bahwa Dia yang paling memiliki kasih sayang dari
pemiik kasih sayang, yang paling bijaksana di antara yang memiliki sifat
bijaksana, Dia suka berbuat baik dengan penuh belas kasih, maha pengampun,
maha penerima taubat, pemaaf, sabar, bersyukur, maha suci Dia. Bahkan itu
semua menunjukkan kesempurnaan keesaan-Nya dan kekuasaannya. Sebab Allah
Ta’ala meskipun kuat, menundukkan, seluruh makhluk berada di genggaman dan
kekuasaan-Nya, namun dengan semua kekuatan tersebut Dia maha pemaaf, tidak
segera menurunkan azab, Dia memberi penundaan kepada hamba-Nya, tidak segera
menurunkan azabnya, padahal Dia mampu melakukannya. Dia membentangkan
tangannya  di malam hari untuk menerima taubat orang yang berdosa di siang
hari dan membentangkan tangannya di siang hari untuk menerima taubat orang
yang berdosa di malam hari. Dia bergembira dengan taubat makhuk-Nya, Dia
tetap kasih sayang dengan orang yang keluar dari syariat-Nya, Dia sabar
dengan keburukan, kemaksiatan dan kesyirikan serta cercaan hamba-Nya
kepada-Nya. Mereka mengatakan bahwa Tuhannya memiliki isteri, memiliki anak,
atau ada yang syirik dalam kekuasaannya, Maha suci Dia. Jika Allah
menurunkan azabnya kepada sebagian makhluknya, tak lain karena mereka berhak
mendapatkan itu, karena dosa dan kemaksiatannya. Meskipun demikian, banyak
yang telah  Dia maafkan, akan tetapi maaf itu bersumber dari yang Maha Kuasa
berkehendak dan menentukan, bukan maaf dari pihak yang lemah dan
terkalahkan, Maha Agung kedudukannya.

Allah berfirman,

نَبِّئْ
عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ * وَأَنَّ عَذَابِي هُوَ
الْعَذَابُ الْأَلِيمُ  (سورة الحجر: 49-50)

“Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa Sesungguhnya
Aku-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan bahwa Sesungguhnya
azab-Ku adalah azab yang sangat pedih.” (QS. Al-Hijr: 49-50)

Syekh As-Sa’dy rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah, Allah
telah mengabarkan kepada mereka dengan khabar yang kuat berdasarkan
bukti-bukti “Sungguh Aku Maha Pengampun Maha Penyayang” Jika mereka
mengetahui kesempurnaan kasih sayangnya, ampunan-Nya, niscaya mereka akan
berusaha mencari sebab yang dapat mengantarkan mereka menuju rahmat-Nya dan
meninggalkan dosa-dosa serta taubat untuk meraih ampunan-Nya.

Meskipun demikian, tidak layak bagi seseorang terus menerus
raja’ (berharap) hingga pada kondisi telah merasa aman sama sekali, maka
(orang seperti itu) kabarkan kepada mereka, “Sesungguhnya azab-Ku adalah
azab yang pedih.” Maksudnya adalah bahwa tidak ada azab yang hakiki selain
azab dari Allah yang kekuasaannya tidak terhingga dan tidak terkira. Kita
berlindung dari azab-Nya. Jika mereka mengetahui bahwa, “Maka pada hari itu
tiada seorangpun yang menyiksa seperti siksa-Nya. dan tiada seorangpun yang
mengikat seperti ikatan-Nya.” (QS. Al-Fajr: 25-26) niscaya mereka
berhati-hati dan menjauh dari segala sesuatu sebab yang dapat mengundang
azab kepada mereka.

Maka seorang hamba, hendaknya hatinya berada di antara takut
dan harap. Jika dia meihat kasih sayang-Nya, ampunan, kebaikan dan
kedermawanan-Nya, maka hal tersebut akan melahirkan harap dan keinginan-Nya.
Jika dia meihat dosa-dosanya dan kelalaiannya terhadap Tuhan-Nya, maka hal
itu akan melahirkan sifat takut (khouf) dan meninggalkannya.” (Tafsir
As-Sa’dy, hal. 431)

Untuk mengetahui pentingnya Asmaul Husna, perhatikan jawaban
soal no. 4043.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android