Unduh
0 / 0
491801/11/2010

Seseorang Menikah Melalui Internet Tanpa Wali dan Menolak Untuk Mentalaknya

Pertanyaan: 153671

Saya telah menikah dengan dengan seorang laki-laki melalui internet dengan mengatakan: “Saya menikahkan diri sendiri kepadamu di atas sunnah Allah dan Rasul-Nya”. Hanya bercanda dan saya tidak berniat sebenarnya, saya bermesraan dengan melalui dunia maya, kemudian saya menyesal memintanya untuk menceraikan saya, namun ia menolak dan berkata: “Jika kamu menikah dengan selainnya maka pernikahanmu bathil; karena pernikahannya dahulu ada saksinya”. Namun saya tidak melihat dan tidak mengetahui saksi tersbut di internet. Sekarang ada seorang pemuda baik yang mau melamar saya, apakah saya boleh menikah dengannya dengan izin wali saya tanpa cerai dengan pernikahan yang awal ?, atau saya dianggap telah menggabungkan dua pernikahan ?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Disyaratkan bagi sahnya
pernikahan menurut jumhur ahli fikih adanya wali dari mempelai wanita,
berdasarkan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- :

لا نكاح إلا بولي)

رواه أبو داود

(2085)

والترمذي

(1101)

وابن ماجه

(1881)

من حديث أبي موسى الأشعري ، وصححه الألباني في صحيح الترمذي.

“Tidak ada pernikahan kecuali
dengan adanya wali”. (HR. Abu Daud: 2085 dan Tirmidzi: 1101 dan Ibnu Majah:
1881 dari hadits Abu Musa al Asy’ari, dan dishahihkan oleh al Baani dalam
Shahih Tirmidzi).

Sabda Nabi –shallallahu
‘alaihi wa sallam- yang lain:

)أَيُّمَا
امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ،
فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌُ)

رواه أحمد

(24417)

وأبو داود

(2083)

والترمذي

(1102)

وصححه الألباني في صحيح الجامع برقم

(2709) .

“Wanita manapun yang menikah
tanpa seizin walinya maka pernikahannya adalah bathil, maka pernikahannya
adalah bathil, maka pernikahannya adalah bathil”. (HR. Ahmad: 24417 dan Abu
Daud: 2083 dan Tirmidzi: 1102 dan dishahih oleh al Baani dalam “Shahih al
Jami’: 2709)

Atas dasar inilah, maka
pernikahan yang telah disebutkan tidak sah; karena tidak ada wali dan saksi,
dan perkataan laki-laki tersebut bahwa di sana ada yang menyaksikan hanyalah
perasangka saja atau bahkan sebuah kebohongan. Kalaupun dianggap ada dua
orang saksi haruslah saksi tersebut saksi yang adil. Kebanyakan tidaklah
persaksian dalam permainan tersebut kecuali mereka orang-orang fasik, dan
pernikahan tidak sah dengan persaksian dari keduanya.

Pernikahan yang rusak
–seperti halnya pernikahan yang disaksikan oleh dua orang saksi, namun tanpa
wali- jika dilaksanakan oleh hakim atau wakilnya, meskipun dianggap rusak
maka wanita tersebut tidak bisa lepas kecuali dengan perceraian menurut
sebagian para ulama, karena memperhatikan adanya perbedaan pendapat dalam
masalah tersebut.

Sedangkan pernikahan yang
dilaksanakan tanpa wali dan saksi, maka pernikahan tersebut adalah bathil
bukan rusak. Pernikahan bathil tidak dianggap ada sesuai dengan kesepakatan
para ulama dan tidak membutuhkan talak (prosesi perseraian).

Disebutkan dalam al Mughni al
Muhtaj: 4/245: “Adapun persetubuhan dari pernikahan tanpa wali dan saksi
mewajibkan adanya hukuman dera kepada pelakunya; karena tidak adanya syubhat
menurut para ulama”.

Dan di dalam Hasyiyatul
‘Ithar ‘ala Jam’il jawami’ (2/442) disebutkan:

“Al Isnawi menukil dari kitab
Tamhidnya dari al Qarafi dalam syarah al Mahshul bahwa menjadi syarat
bolehnya mengikuti madzhab yang lain, hendaknya tidak pada perkara yang
disepakati kebatilannya baik menurut imamnya yang pertama maupun menurut
imamnya yang kedua, sebagai contoh: Barang siapa yang mentaklid (mengikuti)
madzhab Malikiyah dalam hal menyentuh wanita tanpa syahwat tidak membatalkan
wudhu, maka ia harus memijat badannya dan mengusap semua kepalanya, kalau
tidak maka shalatnya batal menurut kedua imam.

Al Isnawi berkata: “Dan di
antara cabang dari masalah ini adalah jika seseorang menikah tanpa wali
untuk mengikuti pendapat Abu Hanifah saja, atau menikah tanpa saksi untuk
mengikuti Imam Malik saja, lalu ia pun mensetubuhinya, maka ia tidak kena
had (hukuman dera). Namun jika ia menikah tanpa wali dan tanpa saksi juga,
maka ia kena hukuman dera sebagaimana yang dikatakan oleh ar Rafi’i; karena
kedua imam di atas telah bersepakat akan kebatilannya”.

Kesimpulannya adalah apa yang
telah terjadi antara anda dengan laki-laki tersebut tidak dianggap sebagai
pernikahan yang sah; karena tidak adanya wali dan dua orang saksi yang adil,
maka anda berdua tidak membutuhkan talak. Dan anda boleh menikah dengan
laki-laki yang melamar anda belakangan di sertai taubat kepada Allah karena
telah melakukan hubungan yang diharamkan.

DR. Muhammad Ra’fat Utsman,
dosen fikih perbandingan pada fakultas syari’ah dan hukum di Universitas al
Azhar berkata:

“Akad nikah itu sama dengan
akad-akad yang lain yang memiliki rukun dan syarat sahnya yang harus
terpenuhi agar akad tersebut sah. Dan di antara syarat akad nikah adalah
redaksi akad, misalnya wali dari mempelai wanita mengatakan: “Saya
menikahkan anak perempuanku atau saudariku denganmu”, lalu dijawab oleh
mempelai pria: “Saya terima nikahnya”.

Redaksi akad tersebut harus
menunjukkan adanya keinginan dari kedua belah pihak yang berakad, dan
termasuk dari rukun akad adalah adanya wali dari mempelai wanita, bahwa
walilah yang bertanggung jawab dalam proses akad nikah tersebut, baik
dilakukan sendiri atau diwakilkan, contoh: “Saya menikahkan anakku denganmu
atau saya menikahkan seorang anak perempuan yang perwaliannya diwakilkan
kepadaku”, pihak laki-laki menjawab: “Ya, saya terima”. Hal ini berdasarkan
beberapa hadits yang dalam masalah ini yang menjelaskan bahwa di dalam akad
nikah harus ada wali dari mempelai wanita sebagaimana sabda Nabi
–shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

لا نكاح إلا بولي

“Tidak ada pernikahan kecuali
dengan adanya wali”.

Dan sabda Nabi –shallallahu
‘alaihi wa sallam- yang lain:

)أيما
امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل(

“Wanita manapunn yang menikah
tanpa izin walinya maka pernikahannya adalah bathil”. (diulangi tiga kali)

Termasuk syarat sahnya adalah
agar penikahan tersebut disaksikan oleh minimal dua orang saksi, dan
beberapa syarat yang lain, seperti: terbebasnya mempelai wanita dari
beberapa halangan yang syar’i yang menghalangi sahnya akad nikah, seperti:
sebagai anak perempuannya, atau termasuk mahram secara umum, atau saudari
sesusuan, atau ibunya, atau bibi baik dari jalur ayah maupun dari jalur ibu,
juga tidak boleh menikah ketika masih berada pada masa iddah karena cerai
maupun karena suaminya meninggal dunia dan lain-lain yang termasuk
syarat-syarat yang terkenal dalam fikih Islam.

Dan jika telah terpenuhi
dalam akad nikah tersebut rukun dan syarat sahnya, maka akad tersebut
dianggap sah. Dari sisi hukum syar’i sahnya akad tidak membutuhkan
pencatatan resmi yang dikhususkan negara tertentu, namun hal itu sifatnya
dibolehkan saja.

Akad nikah pada zaman
Rasulullah dan para sahabat tidak dicatat secara resmi, demikian juga pada
masa tabi’in dan setelahnya. Di Mesir baru dicatat pada tahun 1936 ketika
peraturan tentang penertiban kasus-kasus peradilan, yang dalam peraturan
tersebut disyaratkan adanya pencatatan resmi dari negara tentang pernikahan
agar semua sengketa rumah tangga bisa didengar oleh pengadilan.

Namun akad nikah tanpa
pencatatan resmi sebenarnya sudah sah sebagaimana yang telah saya sampaikan
tadi, tujuan undang-undang di Mesir dan di beberapa negara Islam dan Arab
bahwa harus ada pencatatan nikah adalah agar jika tejadi sengketa rumah
tangga bisa didengar oleh pengadilan untuk menetapkan hak-hak dari
masing-masing mempelai. Pada era belakangan ini justru pencatatan tersebut
menyebabkan banyak tersebarnya kedustaan dan persaksian palsu. Bisa jadi
seorang laki-laki mengklaim bahwa ia telah menikahi wanita tertentu dan
meminta persaksian palsu dari dua orang, atau bisa jadi pihak wanitanya yang
mengklaim bahwa laki-laki tersebut telah menikahinya dan meminta persaksian
palsu juga dari dua orang. Maka sebagai langkah pencegahan yang akan membuka
lebar pintu pengklaiman pernikahan, bisa jadi klaim tersebut dari seorang
laki-laki yang mengaku sebagai keluarga wanita dan mengklaim telah terjadi
akad nikah, maka undang-undang menetapkan bahwa syarat agar dakwaan mereka
didengar pada saat ada perselisihan, harus ada catatan resmi akad nikah.

Atas dasar pemaparan di atas,
pernikahan adat yang sebagaimana saya jelaskan bukan yang terjadi belakangan
ini, yaitu; apa yang terjadi di antara para mahasiswa di sebagian kampus
mereka menikahkan diri mereka sendiri tanpa adanya wali dari mempelai
wanita, dan bergantian di antara mereka sendiri sebagai saksi, maka
pernikahan model ini adalah pernikahan bathil dan rusak.

Maka yang demikian itu wajib
ditindak dengan keras untuk mencegah kejadian tersebut. Jika para pemuda
memahami hukum syar’i dengan model pernikahan bathil tersebut, maka mereka
sama dengan berzina; karena mereka mengetahui kebatilannya namun tetap
melakukannya. Adapun jika mereka belum mengetahui bathilnya pernikahan
tersebut, maka kita wajib menjelaskan kepada mereka bahwa akad model ini
tidak sah menurut agama, dan wajib dipisahkan antara mereka yang menikah
dengan model ini yang sia-sia”. (islamonline)

Wallahu a’alam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android