Unduh
0 / 0

Menikah Sebelum Berakhirnya Masa Iddah Dari Suami Pertama, Bagaimanakah hukumnya ?

Pertanyaan: 153793

Suami saya telah menjatuhkan talak kepada saya sebanyak tiga kali, kemudian saya menikah dengan laki-laki lain, karena saya tidak mempunyai kerabat maka saya menikahkan diri saya sendiri, namun telah terjadi kesalahan dalam menghitung masa iddah ternyata kurang 10 hari, namun suami saya yang kedua belum menyentuh saya kecuali setelah dua minggu karena suatu safar yang dilakukan olehnya, apakah pernikahan saya tersebut adalah benar atau tidak dan apa yang harus saya lakukan ?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama:

Masa iddah seorang wanita
yang masih haid adalah tiga kali haid, berdasarkan firman Allah –Ta’ala-:

)وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ) البقرة/228

“Wanita-wanita yang ditalak
hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’”. (QS. Al Baqarah: 228)

Dan jika wanita tersebut
tidak haid atau sudah behenti haid, maka masa iddahnya adalah 3 bulan, dan
jika sedang hamil maka masa iddahnya adalah sampai melahirkan, berdasarkan
firman Allah –Ta’ala-:

(وَاللَّائِي
يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ
ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ
أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ) الطلاق/4

“Dan perempuan-perempuan yang
tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu
ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan
begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan
yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya”. (QS. ath Thalaq: 4)

Para ahli fikih telah
bersepakat bahwa wanita yang masih berhaid maka masa iddahnya adalah 3 quru’
berdasarkan ayat di atas, kemudian mereka berbeda pendapat terkait kata quru’,
apakah bermakna haid atau masa suci ?, sesuai dengan beberapa dalil yang
merupakan madzhab Hanafiyah dan Ahmad bahwa al quru’ adalah haid, jika masa
haidnya telah terulang tiga kali, maka masa iddahnya berakhir dan dibolehkan
menikah lagi dengan laki-laki lain.

Adapun pendapat yang
menyatakan bahwa al quru’ adalah masa suci dari haid, yang merupakan madzhab
Malikiyah dan Syafi’iyyah maka berakhirnya masa iddah seorang wanita adalah
jika dia melihat darah pada haid yang ketiga, jika dia telah dicerai pada
masa suci, atau dengan melihat darah haid pada haid yang keempat, jika
suaminya menceraikannya pada saat dia haid”.  (al Mughni: 8/81-84)

Kedua:

Jika akad nikah telah
dilakukan setelah berlalunya masa haid, maka pernikahan tersebut adalah sah.

Dan jika akad nikah yang
kedua dilakukan sebelum masa iddah berakhir, maka pernikahan tersebut adalah
batil, kedua mempelai wajib dipisahkan, kemudian anda harus menyempurnakan
masa iddah anda dari suami yang pertama anda.

Disebutkan dalam al Mausu’ah
al Fiqhiyah (29/346) :

“Para ahli fikih bersepakat
bahwa tidak boleh bagi seseorang untuk menikahi wanita yang masih berada
pada masa iddah dengan semua penyebabnya, karena dicerai, atau karena
suaminya meninggal dunia, atau karena dipisahkan atau karena adanya syubhat,
baik talak yang masih bisa rujuk (raj’iy) atau talak tidak bisa rujuk (bain),
baik bain sugro maupun bain kubro. Yang demikian itu untuk menjaga
percampuran nasab satu sama lain, menjaga hak dari suami sebelumnya. Jika
akad nikah dilakukan pada masa iddah maka solusinya wajib dipisahkan kedua
mempelai tersebut, mereka berhujjah dengan firman Allah –Ta’ala-:

( ولا تعزموا
عقدة النكاح حتى يبلغ الكتاب أجله )
 

“Dan janganlah kamu ber`azam
(bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis `iddahnya”. (QS. Al
Baqarah: 235)

Maksud dari ayat di atas
adalah sempurnanya masa iddah, yaitu; jangan pernah mempunyai keinginan
untuk menikahinya selama masa iddah atau janganlah mengadakan akad nikah
sampai masa iddah yang telah ditetapkan oleh Allah berlalu.

Di dalam al Muwatha’
disebutkan: Bahwa Thulaihah al Asadiyah sebelumnya adalah istri dari Rasyid
ats Tsaqafi lalu dia menceraikannya, kemudian dia menikah pada masa iddahnya,
maka Umar bin Khattab memukulnya dan memukul suaminya dengan pukulan kasih
sayang dan beliau memisahkan antara keduanya. Kemudian Umar berkata:

“Wanita manapun yang menikah
pada masa iddahnya, maka jika yang menikahinya belum mensetubuhinya maka
keduanya harus dipisah, kemudian dia melanjutkan masa iddahnya dari suami
sebelumnya, lalu jika dia masih mau maka dia boleh menjadi peminang kembali,
dan jika dia telah mensetubuhinya maka wajib dipisahkan kemudian dia
melanjutkan masa iddahnya dari suami pertamanya, kemudian dia menjalani masa
iddahnya dari suami keduanya kemudian dia tidak boleh menikahinya lagi
selamanya”.

Atsar yang diriwayatkan dari
Umar bin Khattab –radhiyallahu ‘anhu- di atas mempunyai arti bahwa jika dia
menikah sebelum selesainya masa iddahnya, maka dia berada di antara dua hal:

Pertama: Melaksanakan akad
nikah namun belum bersetubuh: Wajib dipisahkan, menyempurnakan masa iddahnya,
dan bagi suami yang kedua (baru) boleh menikahinya.

Kedua: Melaksanakan akad
nikah dan sudah bersetubuh, maka wajib pula dipisahkan, lalu dia
menyelesaikan masa iddahnya dari suami pertamanya, lalu melanjutkan masa
iddah dari suami yang kedua, dan diharamkan baginya untuk menikahinya lagi
selamanya, pendapat ini adalah madzhab Malikiyah dan salah satu pendapat
Hanabilah, sedangkan menurut jumhur ulama dari madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah
dan Hanabilah mereka berpendapat bahwa bagi suami yang kedua (baru) masih
boleh menikahinya lagi setelah masa iddahnya berlalu”.

Namun Hanabilah menambahkan
dan berkata: “Tidak boleh menikahinya lagi kecuali setelah berlalunya kedua
masa iddah, iddah dari suami sebelumnya dan iddah dari suami keduanya”.
Disebutkan dalam Mathalib Ulin Nuha: “Bagi suami kedua yang telah
menikahinya pada masa iddahnya (dari suami sebelumnya) dan telah
mensetubuhinya, bisa menikahinya lagi setelah berlalunya dua masa iddah;
karena sebelum selesainya masa iddah dari suami pertamanya dia telah
menikahinya dan masuk pada masa iddah orang lain, sedangkan menunggu
selesainya masa iddah suami kedua karena iddah tersebut bukan menjadi haknya,
dan pernikahan tersebut tidak berdampak apapun, akan tetapi masa iddah
tersebut adalah hak anak maka dia tidak boleh menikah pada masa tersebut
seperti pada masa iddah orang lain”.

Baca: Al Muntaqa/Al Baji
(3/317), Mathalib Ulin Nuha (5/97, 577), Ahkamul Qur’an/Al Jashshash (1/580)
dan Fatawa Lajnah Daimah (18/248).

Pendapat yang kuat adalah
jika pihak wanita telah menyempurnakan masa iddahnya dari suami sebelumnya,
maka dibolehkan bagi laki-laki lain untuk menikahinya dan tidak membutuhkan
masa iddah darinya. (Asy Syarhul Mumti’: 13/387)

Kesimpulannya adalah:

Jika akad nikah dilaksanakan
sebelum selesainya masa iddah dari suami sebelumnya, maka pernikahan
tersebut adalah batil, maka anda wajib dipisahkan dari suami anda yang kedua,
dan menyelesaikan masa iddah dari suami pertama anda, kemudian setelah itu
baru dibolehkan bagi suami kedua anda untuk melaksanakan akad nikah lagi
jika anda setuju dengannya, semua itu wajib melalui wali anda, dengan
dihadiri oleh kedua orang saksi yang adil, tidak boleh seorang wanita
mengakadkan dirinya sendiri pada pernikahannya.

Untuk penjelasan lanjutan
bisa dibaca jawaban soal nomor: 89582 dan
2127

Wallahu a’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android