Unduh
0 / 0
544425/11/2010

BERISTRI TIGA WANITA. KELUARGANYA MEMBUTUHKAN KEBERADAANNYA DIANTARA MEREKA SEMENTARA DIA INGIN BERI’TIKAF SEBULAN RAMADAN PENUH

Pertanyaan: 155577

Pertanyaanku tentang i’tikaf. Dimana suamiku berniat i’tikaf selama bulan Ramadan. Sementara kami membutuhkannya dimana dia beristri tiga wanita. Salah satu diantaranya mengandung sembilan bulan dan dia bukan di daerah yang kami tinggal. Dia mempunyai beberapa anak. Kami tidak ingin dia pergi sejak awal bulan. Apakah dia berhak untuk pergi tanpa kerelaan dari kami padahal kami sangat membutuhkan akan keberadaannya bersama kami. Tolong minta jawabannya. Terima kasih

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

I’tikaf adalah ibadah nan agung, seorang
hamba memutuskan dari kesibukan dunia untuk intropeksi diri. Menyembah
Tuhannya. Barangsiapa yang belum bisa melaksanakan hal itu sebelumnya,
hendaknya dia kosongkan untuk itu sekarang. Kalau dahulu kurang maksimal,
maka sekarang ada waktu untuk melengkapinya. Tidak ada perbedaan diantara
para ulama’ bahwa hal itu adalah sunnah. Telah dinukil oleh AL-Hafidz Ibnu
Hajar di Fathul Barie, 4/272 dari Imam Ahmad pendapatnya, ‘Saya tidak tahu
dari satupun dari kalangan para ulama’ yang berbeda bahwa hal itu adalah
sunnah. Akan tetapi ibadah ini, dalam satu waktu tidak boleh mengurangi
kewajiban syar’i. Seperti menunaikan (kewajiban) kepada keluarganya, merawat
istri, merawat bapak atau ibu. Kalau hal itu harus dilakukan oleh seorang
hamba yang mana tidak ada orang lain yang dapat melakukannya. Kalau
sekiranya ada dari saudara atau saudarinya yang dapat melakukannya, maka
untuk mendidik anaknya tidak boleh orang lain. Bagitu juga untuk menjaga
istrinya tidak boleh selain dia.

Dari sini, sesuai yang disebut dalam
pertanyaan, maka kami melihat tidak diperbolehkan suami beri’tikaf sebulan
penuh, bahkan kurang dari sebulan. Karena hal itu dapat melalaikan kewajiban
syar’i yang Allah wajibkan kepadanya. Kami lihat mungkin untuk menggabungkan
antara dua hal. Dia memperhatikan kebutuhan keluarganya dengan melengkapi
kebutuhannya, kemudian dia beri’tikaf beberapa hari. Kemudian pulang ke
rumah untuk menunaikan kewajiban yang Allah wajibkan kepadanya. Kemudian
kembali beri’tikaf yang baru lagi. Dan begitulah tidak terjadi pelanggaran
syar’i dan tidak seorangpun yang akan mencelanya.

Syekh Abdullah bin Jibrin rahimahullah
ditanya, ‘Apa (batasan) banyak dan sedikit dalam beri’tikaf?

Beliau menjawab, ‘Tidak ada (batasan) paling
banyak kecuali makruh kalau terlalu lama jikalau seorang hamba melalaikan
keluarganya dan sibuk darinya. Telah ada hadits, ‘Cukuplah seseorang itu
berdosa ketika melalaikan orang yang menjadi tanggungannya.’ Barangsiapa
yang terlalu lama, maka hal itu mengharuskan meninggalkan mencari
penghidupan, membebani orang lain untuk berinfak kepadanya, adanya kepayahan
dengan menghadirkan makan dan minumannya ke masjid dan selain dari keperluan
itu. ‘Risalah ‘Hiwar Fil I’tikaf, soal no. 2.

Beliau rahimahullah juga ditanya, ‘Kalau dia
ingin beri’tikaf akan tetapi dia penanggung jawab di rumahnya dan tidak ada
orang lain. Maka mana yang lebih utama, bertanggung jawab terhadap keluarga
di rumahnya atau beri’tikaf di masjid pada sepuluh malam akhir Ramadan?

Maka beliau menjawab, ‘Kami memilih melakukan
kewajiban kepada keluarganya dan menunaikan keperluannya, tinggal bersamanya
seperti sebagai mahram dan pelindung melindungi mereka, rumah dan jiwa
mereka. Berusaha untuk memberi makan kepadanya. Karena ketika beri’tikaf
dengan meninggalkan mereka tanpa wali (pelindung), rawan pencurian,
perusakan atau keperluannya terbengkalai. Atau berat mendatangkan
keperluannya dari pasar. Atau membebankan kepada orang lain untuk membeli
keperluannya. Dan hal itu jadi beban bagi mereka terkadang tidak sanggup
menahannya. Telah diriwayatkan oleh Muslim dari Abdullah bin Umar
radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
‘Cukup seseorang itu berdosa, ketika melalaikan orang yang menjadi
tanggungannya.’ Maka masuk di dalamnya, tidak memberi infak kepadanya,
membiarkan tanpa berusaha padahal dia mampu. Kalau mendapatkan orang yang
memenuhi keperluannya, memeliharanya  dan menjaga dari keperluannya dari
kerabatnya. Maka diperbolehkan beri’tikaf, bahkan hal itu disunnahkan karena
tidak ada yang menyibukkannya. Risalah ‘Hiwar Fil I’tikaf, soal no. 11.

Mungkin anda dapat melihat secara sempurna di
sini:


http://ibn-jebreen.com/book.php?cat=3&book=10&toc=328

telah ada peringatan atas kesalahan orang
yang sibuk melalaikan keluarga dan melaksanakan urusannya dengan alasan
sibuk berdakwah dan belajar. Hal itu bukan uzur bagi mereka yang melalaikan
apa yang telah menjadi kewajiabnnya. Silahkan melihat jawaban hal itu di
soal, 3043,
6913,
23481,
110591.

Wallahu’alam
.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android
at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android