Unduh
0 / 0

APAKAH ORANG YANG HAFAL AL-QUR’AN DI HARI KIAMAT AKAN INGAT AYAT YANG DIA LUPA

Pertanyaan: 169485

Allah Azza Wajalla berfirman ‘Pada hari (ketika) manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya.’ Saya tahu bahwa manusia akan mengingat segala sesuatu yang dilakukannya di dunia pada hari kiamat atas perintah Allah Azza Wajallah. Akan tetapi bagaimana dengan orang yang hafal Al-Qur’an laki-laki maupun perempuan. Kalau keduanya meninggal dunia tanpa mengulang-ulang (hafalan) Al-Qur’annya. Dan dia telah lupa sebagian ayat atau kata. Sementara dalam hadits yang diriwayatkan oleh Amr bin Ash radhiallahu anhuma sesungguhnya Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

( يقال لقارئ القرآن يوم القيامة : اقرأ وارق ورتل كما كنت ترتل في الدنيا ، فإن منزلتك عند آخر آية كنت تقرأها )

“Dikatakan kepada pembaca Al-Qur’an pada hari kiamat, ‘Bacalah, tunaikanlah dan tartillah sebagaimana anda (membaca secara) tartil di dunia. Sesungguhnya posisi anda adalah di akhir ayat yang pernah anda baca.”
Pertanyaannya adalah apakah mungkin orang yang hafal Al-Qur’an teringat dengan apa yang pernah dihafalkannya dari Al-Qur’an di dunia. Walaupun saat meninggal dunia dia sempat mengulang-ulang hafalannya atau lupa sebagiannya?

Pertanyaan kedua adalah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiallahu anhu sesungguhnya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

( عُرِضَتْ عَلَيَّ أُجُورُ أُمَّتِي حَتَّى الْقَذَاةُ يُخْرِجُهُ الرَّجُلُ مِنَ الْمَسْجِدِ ، وَعُرِضَتْ عَلَيَّ ذُنُوبُ أُمَّتِي فَلَمْ أَرَ ذَنْبًا أَعْظَمَ مِنْ سُورَةٍ مِنَ الْقُرْآنِ أَوْ آيَةٍ أُوتِيهَا رَجُلٌ ثُمَّ نَسِيَهُ )

“Diperlihatkan padaku pahala umatku, termasuk (pahala) sampa h yang dikeluarkan seseorang dari masjid. Dan ditampakkan kepadaku dosa umatku. Saya tidak melihat dosa yang lebih besar dibandingkan seseorang yang telah diberi (hafalan) surat Al-Qur’an atau ayat kemudian dia melupakannya.”

Tolong dijelaskan kepadaku. Terima kasih.

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama,

Ayat yang
mulia:

 فَإِذَا جَاءَتِ الطَّامَّةُ الْكُبْرَى . يَوْمَ يَتَذَكَّرُ
الْإِنْسَانُ مَا سَعَى   (سورة النازعات: 34-35)

“Maka
apabila malapetaka yang sangat besar (hari kiamat) telah datang. Pada hari (ketika)
manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya.”
(QS. An-Naziat: 34-35)

Ayat ini berbicara tentang manusia yang teringat akan apa
yang telah dikerjakannya, maksudnya pekerjaan yang telah dia lakukan di
dunia, baik kebajikan atau keburukan. Kegentingan saat dihisab, menjadikan
setiap pelaku teringat dengan apa yang dilakukannya. Sehingga perbuatannya
yang telah dia lakukan terlintas cepat dalam benaknya dari secara cepat.
Sehingga dia berhadap kepada Allah agar dibalas kebaikannya dan dimaafkan
dari semua keburukan dan kekeliruannya. Maka ayat tersebut menjelaskan
ingatnya manusia dengan amalan dan apa yang dilakukan di dunia. Tidak ada
korelasinya dengan teringatnya (seorang penghafal) apa yang dia lupa dari
Al-Qur’an Al-Karim. Hal tersebut keluar dari konteks susunan ayat. Padahal
memperhatikan kontek susunan ayat termasuk salah satu komponen penafsiran
yang shahih.

Al-Hafid Ibnu Katsir  rahimahullah mengatakan, “Pada
hari (ketika) manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya) yakni pada
waktu itu, anak Adam teringat semua amalannya, yang baik maupun yang jelek.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu ‘Dan pada hari itu diperlihatkan neraka
Jahannam; dan pada hari itu ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi
mengingat itu baginya.” (QS. Al-Fajr: 23.) (Tafsir Al-Qur’an Al-Azim,
8/317).

Al-Allamah As-Sa’di rahimahullah
mengatakan, “Pada hari (ketika) manusia teringat akan apa yang telah
dikerjakannya) di dunia kebaikan dan kejelekan.
Dia mengangankan  kebaikannya bertambah berat. Dan bersedih
dikala kejelekannya bertambah berat. Saat itu dia mengetahui bahwa hakekat
keuntungan dan kerugiannya  adalah tergantung perbuatan apa yang dilakukan 
di dunia. Semua sebab dan perantara yang bermanfaat di dunia, menjadi
terputus kecuali amalan-amalannya.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 910)

Dengan demikian jelas, bahwa tidak ada dalil agama yang
menunjukkan bahwa seorang muslim akan ingat kembali hafalan Al-Qur’an yang
dia lupa di hari kiamat. Kami telah mencari di buku-buku tafsir yang
memperhatikan pendapat berbeda dalam penafsiran ayat, seperti Mawardi dan
Ibnu Al-Jauzi. Akan tetapi kami tidak mendapatkan dalam ayat pendapat yang
berbeda dengan apa yang telah kami sebutkan.

Kedua,

Di antara
hadits nan agung yang ada terkait dengan keutamaan penghafal Al-Qur’an
adalah hadits Abdullah bin Amr dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam
bersabda:

يُقَالُ – يَعْنِي لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ -: اقْرَأْ وَارْتَقِ
وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِي الدُّنْيَا ، فَإِنَّ مَنْزِلَتَكَ
عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَأُ بِهَا (رواه الترمذي، رقم  2914  وقال : هذا حديث
حسن صحيح ، وصححه الألباني في  صحيح الترمذي)

“Dikatakan –yakni
penghafal Al-Qur’an-, bacalah, mendakilah. Bacalah dengan tartil sebagaimana
engkau (membaca) secara tartil di dunia. Karena kedudukanmu (pada hari
kiamat) di akhir ayat yang engkau abaca.” (HR. Tirmizi, no. 2914, dia
mengatakan, ‘Hadits ini hasan shahih. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam
Shahih Tirmizi)

Mayoritas
ulama mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan ‘Shohibul Al-Qur’an’ adalah
orang yang dapat merealisasikan dua hal; Menghafal dan mengamalkan. Bukan
sekedar orang yang menghafal saja tanpa diamalkan, bukan juga orang yang
bagus bacaannya tanpa menghafal.

Ketiga,

Ada dua
perkara penting terkait disyaratkan memiliki hafalan Al-Quran untuk
mendapatkan keutamaan yang ada dalam hadits:

  1. Jika
    keutamaan itu mencakup setiap orang yang membaca AL-Qur’an dari mushaf,
    maka hal tersebut bukan merupakan keutamaan pada kebanyakan orang.
    Karena membaca lewat mushaf, masing-masing orang umumnya mampu, tidak
    ada yang lebih utama –kebanyakan- kecuali dengan tajwid yang terbaik.
    Mengaitkan keutamaan semacam
    ini dengan tajwid yang baik, sangat jauh sekali. Karena dalam hadits,
    keutamaan dikaitkan dengan (bacaan) dan mengaitkan kedudukan yang
    semakin tinggi (dengan ayat terakhir yang dibacanya) bukan karena
    kemahiran dalam tajwid.
  2. Secara umum,  istilah qari (pembaca) diartikan sebagai
    orang yang hafal (Al-Qur’an), sudah terkenal penggunaannya sejak zaman
    Nabi sallallahu alaihi wa sallam dan para shahabatnya,

وَكَانَ الْقُرَّاءُ أَصْحَابَ مَجَالِسِ عُمَرَ
وَمُشَاوَرَتِهِ كُهُولًا كَانُوا أَوْ شُبَّانًا   (رواه البخاري، رقم 4276)

“Dahulu para Qari (penghafal AL-Qur’an) temasuk orang
terdekat dalam majlis Umar dan orang yang diajak untuk bermusyawarah. Baik
dari kalangan tua maupun muda.” (HR. Bukhari, 4276)

  1. Kemudian menghafal Al-Qur’an menuntut, kesungguhan, kesabaran dan
    kelebihan, sehingga layak mendapatkan keutamaan dibanding mereka yang
    hanya sekedar membacanya. Apalagi hafalan ini termasuk fardu kifayah
    untuk umat. Maka selayaknya para penghafal Al-Qur’an diberi pahala –
    karena menanggung kewajiban umatnya- dengan mendapatkan pahala yang
    banyak.

Kemudian yang tampak dalam hadits ini juga menunjukkkan bahwa
penghafal Al-Qur’an yang baik berbeda dengan penghafal yang tidak baik. Maka
diangkatnya derajat sesuai dengan sampai dimana bacaan dari hafalannya. Maka
bacaan penghafal Al-Qur’an yang baik akan bertambah (kedudukanna) ayat
perayat dibandingkan dengan bacaan penghafal yang kurang baik. Kemahiran ini
tiada lain dia dapatkan dengan  begadangnnya waktu malam hari dan susah
payah di siang hari, serta kesabarannya dalam lelah saat menghafalnya dan
mengulang-ulang ayat dan kata. Timbangan yang adil memutuskan bahwa pahala
penghafal yang baik lebih tinggi dibandingkan dengan pahala (penghafal) yang
kurang baik. Dan masing-masing mendapatkan janji Allah yang baik.

Ibnu Hajar Al-Haitsami  rahimahullah berkata, “Hadits yang
disebutkan tadi, khusus bagi orang yang hafal Al-Qur’an. Bukan orang yang
sekedar membaca mushaf. Karena kalau sekedar membaca
huruf, tidak ada perbedaan dengan orang-orang. Tidak ada perbedaan
sedikit dan banyaknya. Yang ada perbedaan dalam hal itu adalah karena dari
hafalan di hati. Oleh karena itu
posisi mereka berbeda-beda di surga sesuai dengan perbedaan hafalannya.

Untuk menguatkan pendapat tersebut, bahwa
hafalan Al-Qur’an (hukumnya) fardu kifayah untuk umat. Sementara hanya
sekedar bacaan di mushaf yang bukan hafalan, tidak  menggugurkan tuntutan
dan tidak begitu besar keutamaan seperti keutamaan orang yang menghafal.
Maka ditegaskan –yakni hafalan di luar kepala- adalah yang dimaksud dalam
hadits  ini. Kesimpulan inilah yang tampak saat memahami hadits ini dengan
sedikit perenungan.

Ucapan para Malaikat kepadanya

( اقرأ
وارتق ), tidak diragukan
lagi secara jelas menunjukkan hafalan di luar kepala.” (Diringkas dari
Al-Fatawa Al-haditsiyyah, karangan Ibnu Hajar Al-Haitsami, hal 113)

Al-Adhim Al-Abadi rahimahullah
mengatakan, “Disimpulkan dari hadits, bahwa  pahala yang agung ini tidak
didapatkan kecuali orang yang hafal Al-Qur’an, mahir dalam menunaikan serta
membacanya sesuai yang diharapkan.” (Aunul Ma’bud, 4/237)

Syekh Al-Albany rahimahullah mengatakan,
“Ketahuilah bahwa maksud perkataan           
( صاحب
القرآن )  adalah penghafal (Al-Qur’an) di luar
kepala. Sesuai dengan sabda Nabi sallallahu’alalihi wa sallam: “Yang menjadi
imam suatu kaum adalah orang yang paling bagus bacaan Kitabullah.” maksudnya
yang paling banyak hafalannya. Maka perbedaan keutamaan derajat di surga itu
sesuai dengan hafalannya di dunia. Bukan karena bacaannya waktu (di
dunia) dan memperbanyak bacaan, sebagaimana yang disangka oleh sebagian
orang. Di dalamnya juga ada keutamaan yang tampak bagi penghafal Al-Qur’an.
Akan tetapi dengan syarat, hafalannya hanya mencari keridoan Allah Tabaraka
Wa Ta’ala, bukan untuk dunia, dirham dan dinar. Kalau tidak, maka Nabi
sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

أكثر
منافقي أمتي قراؤها

“Kebanyakan orang munafik dari ummatku adalah para pembaca (penghafal
Al-Qur’an).” (Silsialh Al-Ahadits As-Shahihah, 5/284)

Keempat,

Adapun terkait disyaratkannya mengamalkan Al-Qur’an untuk
mendapatkan pahala yang agung ini, hal itu juga sangat tampak petunjuknya.
Terdapat ancaman keras bagi orang
yang tidak mengamalkan Al-Qur’an Al-Karim. Hal tersebut ditunjukkan  dalam
hadits panjang , oleh Samurah bin Jundub dari Nabi sallahu alaihi wa sallam
terkait dengan mimpi berkata,

أَمَّا
الَّذِي يُثْلَغُ رَأْسُهُ بِالحَجَرِ ، فَإِنَّهُ يَأْخُذُ القُرْآنَ
فَيَرْفِضُهُ ، وَيَنَامُ عَنِ الصَّلاَةِ المَكْتُوبَةِ   (رواه البخاري،  
رقم 1143)

“Adapun orang yang kepalanya dipukul dengan batu, hal itu
karena dia mengambil (menghafal) Al-Qur’an namun dia molaknya, serta
serta tertidur meninggalkan shalat wajib.” (HR.
Bukhari, no. 1143)

Ibnu Bathal
mengatakan, “(menghafal Al-Qur’an namun menolaknya) maksudnya adalah
meninggalkan hafalan huruf-hurufnya dan tidak beramal dengan maknanya.
Adapun jika dia hanya meninggalkan hafalan huruf-hurufnya namun dia beramal
dengan maknanya, maka dia bukan termasuk menolaknya.” (Syarh Shahih Bukhari,
3/135)

Adapun hadits
yang disebutkan, telah diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu anhu,
dia berkata, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Ditampakkan
padaku pahala umatku, hingga sampah yang dikeluarkan seseorang dari masjid.
Dan ditampakkan kepadaku dosa umatku. Aku tidak melihat dosa yang lebih
besar dibandingkan seseorang yang telah diberi (hafalan) surat Al-Qur’an
atau ayat, kemudian dia melupakannya.” (HR. Tirmizi, 2916 dan lainnya)

Semua riwayat
ini dari jalur Abdul Majid bin Abdul Aziz dari Ibnu Juraij dari Al-Matlab
bin Abdullah bin Hantob dari Anas bin Malik sampai kepada Rasulullah
sallallahu alaihi wa sallam (marfu).

Akan tetapi hadits ini lemah berdasarkan kesepakan para ulama
hadits. Di dalamnya terdapat banyak cacat. Misalnya dibicarakan  perawi
Abdul Majid bin Abu Ruwad yang meriwayatkan hadits ini seorang diri, juga
tentang terputusnya sanad antara Ibnu Juraij dengan Al-Muththalib dan antara
Al-Muththalib dengan Anas bin Malik.

Tirmizi
rahimahullah mengatakan, “Hadits ini asing. Kami tidak mengenalnya kecuali
dari jalan ini. Muhammad bin
Ismail menyebutkannya tapi beliau tidak mengenal dan merasa asing dengannya.
Muhammad mengatakan, “Saya tidak mengetahui bahwa Al-Muththalib bin Abdullah
bin Hanthob mendengar salah seorang pun dari para shahabat Nabi sallallahu
alaihi wa sallam. Kecuali dia mengatakan, menyampaikan kepadaku  orang yang
menyaksikan khutbah Nabi sallallahu alaihi wa sallam.

Dia juga berkata, “Aku mendengar Abdullah bin Abdurrahman
–yaitu Ad-Darimi pemilik Musnad- mengatakan, “Kami tidak mengetahui bahwa
Al-Muththalib mendengarkan (hadits) dari salah seorang pun para shahabat
Nabi sallallahu alaihi wa sallam. Abdullah mengatakan, ‘Ali bin Al-Madini
mengingkari Al-Muthtahlib mendengarkan dari Anas.”

Ibnu Abdul Bar rahimahullah mengatakan, “Hadits ini termasuk
yang tidak dapat dijadikan hujjah karena lemahnya.” (At-Tamhid, 14/136)

Ad-Daruquthni rahimahullah mengatakan, “Hadits ini tidak
kuat. Karena Ibnu Juraij tidak mendengar apapun dari Al-Muththalib.
Dikatakan, dahulu dia memanipulasi dari Ibnu Abi Saburah atau lainnya dari
orang-orang dilemahkan (dhu’afa).” (Al-‘Ilal,
12/171)

An-Nawawi
rahimahullah mengatakan, “Dalam sanadnya ada yang lemah.” (Al-Khulashah,
1/306). Dilemahkan juga oleh Ibnu Hajar di Fathul Bari, 9/70. Dan Al-Albany
dalam Dhaif Abu Daud, 1/164-167.

Wallahu’alam
.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android