Unduh
0 / 0

Perbendaan Antara Nyanyian Dan Musik Serta Hukum Masing-masing

Pertanyaan: 171894

Harapan besarku, ketika saya mendapatkan kebimbangan permasalahan dapat keluar dari keraguan menuju keyakinan penuh. Terkait halal dan haramnya musik. Saya dapatkan perbedaan akan hal itu. Topiknya telah dibahas sekelompok ulama dan para syekh. Akan tetapi dari pandangan saya yang lemah, bantahan mereka tidak sesuai seperti yang diinginkan penanya. Tidak teliti, tidak dapat membedakan antara musik dan nyanyian serta lirik nyanyian yang jorok. Umumnya jawabannya membahas tentang campur baur, video clip dan ungkapan seronok dan seterusnya. Kami wahai syekh tidak ragu akan haramnya hal itu. Akan tetapi pertanyaan kami apa itu musik? Apa kedudukannya dari sumber syariat Islam? Apa itu nyanyian? Apa hukum sengaja mendengarkan cuplikan musik. Baik tanpa lirik atau disertai dengan lirik namun tetap terhormat dan menyentuk permasalahan sosial tertentu. Apakah nyanyian dengan alat musik termasuk haram semuanya atau disana ada kondisi-kondisi tertentu? Apakah ada alat musik yang diharamkan Islam dan yang lainnya dihalalkan?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama:

Kita tidak memungkiri disana
ada kerancuan dalam banyak perkataan dan penukilan dikalangan manusia antara
musik dan nyanyian. Sebab kerancuan ada tiga hal.

Pertama, tidak meneliti arti
dua kata dalam Kitab dan Sunah serta perkataan ulama salaf

Kedua, penggunaan sebagian
ahli ilmu kata musik untuk nyanyian. Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullh
mengatakan, “Dikutip dari Al-Qurtubi dari ‘Jauhari’ bahwa musik sama dengan
nyanyian. Ibnu Hajar juga mengatakan, “Istilah ‘nyanyian’ dapat bermakna
alat musik dan semua permainan dengan alat musik.” (Fathul Bari, 10/55).

Ketiga, bahwa nyanyian
sekarang selalu diiringi dengan alat musik. Sehingga dinamakan ‘Nyanyian’
kata ini tanpa ragu mencakup musik (peralatan musik). Sedangkan kata
‘Nasyid’ –seringkali- digunakan untuk yang tidak ada peralatan musik yang
dikenal. Sehingga orang yang berbicara tentang nyanyian tercela maksudnya
adalah lantunan seronok yang diiringi peralatan musik. Dan orang yang
berbicara tentang musik maksudnya adalah berbicara tentang penggunaannya
oleh para penyanyi dalam nyanyiannya.

Perlu diperhatikan adanya
perbedaan dalam penggunaan kata ‘ma’azif’

(المعازف) dan ‘musik’.
Kebanyakan orang menganggap keduanya sebagai hal yang sama. Yang benar bahwa
kata ‘Musik (Ma’azif) dalam bahasa arab dimaksudkan sebagai alat yang
dipukul, yaitu peralatan yang melenakan. Sementara kata ‘musik’ berasal dari
kata Yunani, menunjukkan seni menggunakan peralatan musik. Adapun music
dalam istilah adalah ilmu mengenal lirik dan nada dan tatacara mengarang
nyanyian dan  membuat peralatannya. Sebagaimana tercantum dalam ‘Al-Mausu’ah
Fiqhiyah’ 38/168).

Hubungan antara ma’azif dan
musik adalah bahwa ma’azif digunakan dalam musik, sebagaimana dalam
referensi tadi.

Kedua:

Nash membedakan antara musik
dan nyanyian. Begitu yang dikutip dari para ulama. Kita akan menyebutkan
sebagian dari nash-nash ini setelah menjelaskan perbedaan di antara keduanya
kemudian kita sebutkan hukum masing-masing.

Pengertian nyanyian dan
macam-macamnya

Kata ‘Gina’ (nyanyian) 
maknanya meninggikan suara dan berdendang. Di antara bentuk yang terkenal
adalah nyanyian orang-orang safar dalam perjalannya. Dinamakan dengan ‘Gina
Rukban’ atau ‘Nasbu’ atau apa yang dinyanyikan penggembala ketika
menggembala unta, dinamakan ‘Al-Hida’. Termasuk apa yang didendangkan para
jamaah haji sebagai ungkapan rasa rindu untuk berhaji dan shalat di Mekah.
Juga apa yang didendangkan para ahli syair dalam jihad untuk menggelorakn
semangat bagi para pejuang. Begitu juga didendangkan seorang ibu untuk
anaknya dalam permainannya. Semuanya ini macam nyanyian yang tidak ada
peralatan dan musik. Semuanya termasuk nyanyian yang dibolehkan – seperti
yang akan dijelaskan-.

Ibnu Manzur mengatakan, “Kata
‘An-Nasbu’ adalah salah satu macam nyanyian arab. Jika dikatakan  Qod nasoba
rokibu nasban maksudnya Sang pengendara sudah beryanyi. (Lisanul Arab,
1/758).

Az-Zubaidi –menukil dari
‘Al-Faiq Fi Goribil Hadits’ karangan Az-Zamakhzyari mengatakan, “Arti dari
‘Nasbi’ dinamakan demikian karena suara dikeraskan dan ditinggikan (Tajul
Arus, (1/972).

Al-Hafiz Ibnu Hajar
rahimahullah mengatakan,”Nyanyian dinamakan meninggikan suara dan berdendang
dinamakan oleh orang arab dengan nama An-Nasbu dan Al-Hida. Pelakunya tidak
dinamakan penyanyi, karena yang dinamakan penyanyi adalah orang yang
menyanyikan dengan dibuat-buat, mendayu-dayu serta berdendang mengundang
kerinduan, termasuk di dalamnya ada ajakan kemungkaran, baik secara isyarat
atau terang-terangan. (Fathul Bari, 2/442).

Pengertian musik (Ma’azif)
dan macam-macamnya

Ma’azif  (musik) adalah alat
yang melalaikan ia digunakan dengan nyanyian. Berbeda macam-macamnya
mengikuti zaman yang digunakan. Dibuat –seringkali- dahulu dan sekarang dari
senar, pelepah dan kulit. Fairuz Abadi mengatakan, “Ma’azif adalah yang
melalaikan seperti kayu dan mandolin. Aazif adalah pemainnya dan yang
menyanyi (penyanyi). (Qamus Muhith, 1082)

Ma’azif adalah permainan yang
ditabuh seperti kecapi, mandolin, rebana dan lainnya. Dalam hadits Ummu
Zar’I (Ketika kami mendengarkan suara musik, kami yakin dia akan binasa.
‘Azif adalah pemainnya begitu juga penyanyi. (Tajul Arus, 1/6022).

Mandolin adalah alat tabuh
senar. Panjang punuknya. Ada kotak setengah telur. Ada dua atau tiga senar
–sebagaimana yang dikatakan Al-Albany dalam kitab Tahrim Alat Tharbi, hal.
76.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahulla mengatakan, “Musik (Ma’azif) adalah yang melalaikan (Malahi),
sebagaimana disebutkan pakar Bahasa. Jamaknya ‘Mi’zafah’ yaitu alat yang
digunakan untuk musik. Maksudnya yang dikeluarkan suaranya. (Majmu’ Fatawa,
11/576).

Beliau mengatakan, “Ma’azif (musik)
adalah alat yang melalaikan menurut pakar Bahasa dan ini mencakup semua
peralatan.” (Majmu Fatawa, 11/535).

Ibnu Qoyim bertakata,
“Ma’azif adalah semua alat permainan. Tidak ada perbedaan dikalangan pakar
Bahasa akan hal itu.” (Igotsatul Lahfan, 1/260).

Riwayat yang ada tentang
Ma’azif:

Dari Abu Musa Al-Asy’ari
radhiallahu anhu berkata, Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ
وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ (رواه البخاري في كتاب الأشربة معلقا
مجزوماً بصحته ، وقد وصله البيهقي في السنن، 3/272)

“Akan ada dari umatku suatu
kaum yang akan menghalalkan zina dan sutera. Khamar dan nyanyian.”

(HR. Bukhari di Kitab
Asyribah secara mu’allaq dan dikuatkan keshahihannya. Disambungkan oleh
Baihaqi di Sunannya, 3/272 dan Ath-Thabrani di Mu’jamul Kabir, 3/319, Ibnu
Hibban dalam Ash-Shahihnya, 8/265, 266, dinyatakan shahih oleh Ibnu Qoyim 
dalam Tahzibus Sunan, 5/270-272. Al-Hafiz Ibnu Hajar di ‘Fath, 10/51 dan
Albany dalam Shahihnya, 91)

Ibnu Hazm menyatakan bahwa
hadits terputus (munqathi), diikuti oleh orang yang taklid kepadanya. Tapi
para peneliti membantahnya.

Al-Hafiz Abu Umar bin Sholah
mengatakan, “Ibnu Hazm menyangka hadits ini terputus antara Bukhari dan
Hisyam dan dia menjadikannya sebagai jawaban atas dalil pengharaman nyanyian.
Hal itu keliru dari beberapa sisi. Hadits ini shahih dan sudah diketahui
bersambung dengan syarat shahih. Imam Bukhari terkadang melakukan hal itu
karena beliau telah sebutkan hadits itu di tempat lain dalam kitabnya dengan
sanad yang tersambung. Atau beliau melakukan hal itu dengan sebab lain namun
tidak diiringi cacat terputusnya perawi. (Muqodimah Ibnu Sholah, hal. 36).

Riwayat yang ada tentang
nyanyian.

Dari Anas bin Malik
radhiallahu nahu berkata, “Dahulu Nabi sallallahu alaihi wa sallam mempunyai
seorang pelantun dan dia namakan ‘Anjasyah’. Dia orang yang bagus suaranya.
Beliau mengatakan kepadanya,

رُوَيْدَكَ يَا أَنْجَشَةُ لَا تَكْسِرْ الْقَوَارِيرَ

 “Turunkan suaramu wahai
Anjasyah, jangan membuat kaum wanita terpikat.”

Qatada berkata, “Maksud (qowarir)
adalah kaum wanita yang gemulai.” (HR. Bukhari, no. 5857 dan Muslim, no.
2323).

Ibnu Hajar rahimahullah
mengatakan, “Huda’ adalah menuntun unta dengan memukul secara khusus dalam
nyanyian. Huda’ seringkali dilakukan dengan syair rajaz, terkadang dengan
syair lainnya. Oleh karena itu –Bukhari- menyambungkan antara syair dan
rajaz. Kebiasaannya, unta akan berjalan cepat kalau disenandungkan dengannya.”
(Fathul Bari, 10/538).

Ibnu Qoyim rahimahullah
mengatakan, “Umar bin Abdul Aziz menulis surat ke pendidik anaknya. Agar
pertama kali yang diyakini dari adab anda adalah benci terhadap mainan (yang
melalaikan). Karena hal itu berawal dari setan dan berujung pada kemarahan
Allah (Rahman). Saya diberitahu dari orang terpercaya bahwa suara musik dan
sengaja mendengarkan nyanyian dan permainan itu dapat menumbuhkan kenifakan
dalam hati sebagaimana tumbuhnya rumput di atas air.” (Igotsatul Lahfan,
1/250).

Ketiga:

Hukum Ma’azif (Musik).

Para imam empat tidak berbeda
akan pengharaman penggunaan semua bentuk alat musik. Siapa yang menukil,
bahwa salah satu di antara mereka membolehkan atau (boleh) menggunakannya,
maka dia telah berbohong. Apa yang dikatakan oleh para imam besar adalah
kandungan dari apa yang ada dalam nash jelas shahih. Yaitu apa yang
dinukilkan dari para shahabat Nabi sallallahu alaihi wa sallam dan orang
setelahnya.

Al-Qurtubi mengatakan,
“Sementara seruling, tendon (senar) dan gendang tidak ada perbedaan dalam
pengharaman mendengarkannya. Saya tidak mendengar seorang pun yang
pendapatnya diakui dari kalangan ulama salaf dan para imam khalaf yang
membolehkan hal itu. Bagaimana tidak diharamkan, ia adalah syiar peminum
khamar dan orang fasik. Pemicu syahwat dan kerusakan serta kegilaan. Maka,
hal seperti itu tidak diragukan keharamannya dan pelakunya fasik serta
berdosa.” (Dikutip dari Ibnu Hajar Haitsami di kitabnya ‘Zawajir ‘An Iqtirob
Kabair, 2/193).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah mengatakan, “Mazhab Imam Empat berpendapat bahwa semuat alat
musik adalah haram.” (Majmu Fatawa, 11/576).

Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah,
38/177, “Para ahli fikih berpendapat mengharamkan penggunaan alat musik dan
tendon (senar) seperti mandolin, rebab, kamanjah, qonun dan semua alat musik
bersenar. Menggunakannya maksudnya dengan memukulnya.”

Dengan demikian, maka
pengharaman mencakup semua alat musik lama maupun baru. Sebagian berdasarkan
nash dan sebagian lagi masuk dalam keumuman pengharaman alat musik.

Syekh Al-Albani rahimahullah
mengatakan, “Ketahuilah wahai saudaraku, hadits-hadits tadi jelas
menunjukkan pengharaman alat musik dengan semua bentuk dan macamnya.
Sebagian dinyatakan dengan jelas (nash) seperti seruling, gendang dan jenis
alat musik. Yang lainnya bersifat mengikutinya. Karena dua perkara:

Pertama: Semua itu tercakup
dalam Lafaz ‘Ma’azif’  dari segi bahasa.

Kedua: Memiliki makna yang
sama dalam hal suara dan melalaikan.

Yang menguatkan hal itu
adalah pendapat Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma, “Rebana haram, alat
musik haram, kubah (sejenis alat musik seperti gitar) haram dan seruling
haram. (HR. Baihaqi, 10/222, dari jalur Abdul Karim Jarzi dari Abu Hisyam
Al-Kufi . saya mengatakan, sanad ini shahih. Abu Hisyam Al-Kufi adalah Abu
Hisyam As-Sanjari yang dinamakan Sa’ad, beliau adalah Jazri seperti Abdul
Karim. Disebutkan bahwa beliau meriwayatkan darinya akan tetapi tidak
melihatnya ada orang yang menyebutkan beliau orang Kufah dalam kitab ‘Tsiqat
Ibnu Hibban, 4/296). Wallahu a’lam (Tahrim Alat Tharbi, hal. 92).

Tidak dikecualikan dari
pengharaman alat musik kecuali rebana saja dalam kondisi tertentu. Terdapat
penjelasan dalam jawaban soal no. 20406.

Hukum nyanyian

Melihat dari definisinya yang
telah kami sebutkan tadi, diketahui tidak diharamkan nyanyian dari sisi
asalnya. Bahkan ia mubah. Kecuali digunakan dengan alat permainan dan alat
musik. Atau jika ada lirik jorok dan munkar yang mengandung perkara haram.

Ibnu Bar rahimahullah
mengatakan, “Dalam bab ini di antara nyanyian ada yang membolehkan di
kalangan para ulama. Terdapat atsar dari ulama salaf yang membolehkannya
yaitu yang dinamakan nyanyian rukban, nyanyian nasob dan huda. Nyanyian
semacam ini tidak ada perbedaan tentang dibolehkannya di kalangan ulama.
Diriwayatkan Ibnu Wahb dari Usamah dan Abdullah ibnai Zaib bin Aslam dari
ayahnya Zaid bin Aslam dari ayahnya bahwa Umar bin Khotob berkata,,
“Nyanyian merupakan bekal pengendara atau bekal orang musafir. Yang kami
ketahui tidak ada perbedaan di antara para ulama tentang kebolehannya jika
syairnya  tidak ada kata kotor.” (At-Tamhid, 22/197, 198).

Beliau rahimahullah
mengatakan, “Adapun nyanyian yang dimakruhkan oleh para ulama, adalah
nyanyian yang memotong huruf hijaiyah, merusak tatanan syair, menyanyianan
untuk mendapatkan permainan dan sesuai lantunan music dan keluar dari mazhab
orang arab.

Dalil yang membearkan apa
yang kami sebutkan adalah bahwa orang yang membolehkan seperti apa yang kami
sebutkan berupa nyanyian nasbu dan huda’ mereka juga memakruhkan jenis
nyanyian ini. Di antara mereka tidak mungkin mendatangkan sesuatu yang dia
sendiri melarangnya. (At-Tamhid, 10/198).

Al-Hafiz Ibnu Hajar
rahimahullah mengatakan, “Termasuk Hida’ di sini nyanyian para jamaah haji
yang mencakup kerinduan untuk berhaji dengan menyebut ka’bah dan pemandangan
lainnya. Yang sepadan dengan itu juga nyanyian para mujahid untuk berperang.
Di antaranya juga nyanyian seorang ibu untuk menenangkan anaknya dalam
gendongan.” (Fathul Bari, 10/538).

Semua nyanyian yang ada
pengharaman atau celaan dari ulama salaf, adalah yang disertai dengan alat
musik. Atau nyanyian wanita asing di hadapan lelaki atau sebaliknya. Atau di
dalamnya ada lenggak lenggok dan gerakan kebanci-bancian. Atau di dalamnya
ada kata yang mengharuskan untuk diharamkan dan dicela. Atau
berlebih-lebihan dalam penggunaannya sehingga melalaikannya dari kewajiban
agama.

Maka nyanyian yang mubah itu
sesuai dengan syarat, yaitu:

Pertama, bebas dari peralatan
yang melalaikan dan nyanyian.

Kedua, tidak menyerupai orang
fasik lelaki dan wanita dari kalangan penyanyi lelaki dan wanita.

Ketiga, tidak
berlebih-lebihan sehingga menjadi kebiasaannya dan meninggalkan apa yang
Allah wajibkan kepadanya.

Keempat, wanita tidak di
depan lelaki non mahram.

Kelima, hendaknya
perkataannya tidak ada keyakinan yang merusak atau seronok atau buruk atau
menyanjung perbuatan haram.

Keenam, tidak dijadikan
pekerjaan sehingga dikenal dengannya.

Syarat-syarat ini ada
dalilnya, baik secara umum dan khusus, diantaranya:

1.Dari Ibnu Umar
radhiallahu anhu berkata, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ (رواه أبو داود، رقم
4031 و صححه الألباني في ” صحيح أبي داود)

“Siapa yang menyerupai suatu
kaum, maka dia bagian darinya.” (HR. Abu Dawud, no. 4031, dinyatakan shahih
oleh Al-Albany dalam Shahih Abu Dawud)

2.Wanita tidak
disyariatkan azan dan mengimami orang. Dianjurkan baginya tepuk tangan dalam
shalat kalau dia ingin mengingatkan imam yang  salah dan tidak dianjurkan
baginya bertasbih. Jika demikian, bagaimana halnya dengan hukum nyanyian
mereka  depan lelaki –apalagi kalau ada lirik porno? (Mestinya tidak
dibolehkan) 

3.Dari Robi’
binti Muawwiz radhiallahu anha berkata:

دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
غَدَاةَ بُنِيَ عَلَيَّ فَجَلَسَ عَلَى فِرَاشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي
وَجُوَيْرِيَاتٌ يَضْرِبْنَ بِالدُّفِّ ، يَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ
آبَائِهِنَّ يَوْمَ بَدْرٍ ، حَتَّى قَالَتْ جَارِيَةٌ وفينا نبي ٌّ يَعْلَمُ
مَا فِي غَدٍ ” فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَا
تَقُولِي هَكَذَا وَقُولِي مَا كُنْتِ تَقُولِينَ ( رواه البخاري، رقم 3779 )

“Nabi sallallahu alaihi wa
sallam mendatangiku hari pernikahanku. Maka beliau duduk di atas ranjangku
seperti duduk anda di samping diriku. Sementara anak-anak wanita menabuh
rebana dengan menyebut orang yang terbunuh dari ayah mereka waktu perang
badar. Sampai salah satu anak wanita itu mengatakan, “Di antara kita ada
nabi yang mengetahui hari esok.” Maka Nabi sallallahu alaihi wa sallam
bersabda, “Jangan mengatakan seperti itu, katakan seperti apa yang anda
katakana (tadi).” (HR. Bukhari, no. 3779).

Maka Nabi sallallahu alaihi
wa sallam melarang nyanyian yang mengandung perkataan menyalahi agama.

4.Dari Aisyah
radhiallahu anha berkata: 

دَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي
الْأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ الْأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ ،
قَالَتْ وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ : أَمَزَامِيرُ
الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟
وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدٍ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا
(رواه البخاري، رقم  909 ، ومسلم، رقم 892)

“Abu Bakar masuk sementara di
sisiku ada dua anak wanita di antara anak-anak wanita Anshar mendendangkan
peristiwa yang dialami kaum Ansor pada perang Bu’ats. (Aisyah) mengatakan,
keduanya bukan sebagai penyanyi. Abu Bakar mengatakan, “Apakah pantas
seruling setan ada di rumah Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam?” Hal itu
terjadi waktu hari raya. Maka Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam
bersabda, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum ada hari raya, dan ini
hari raya kita.” (HR. Bukhari, no. 909, Muslim, no. 892)

Al-Hafiz Ibnu Hajar
rahimahullah mengatakan, “Al-Qurtubi mengatakan, “ungkapan ‘Keduanya bukan
penyanyi’ maksudnya bukan orang yang dikenal menyanyi sebagaimana halnya
penyanyi wanita yang telah dikenal.  Hal ini mengecualikan  nyanyian yang
sudah terkenal. Yaitu, nyanyian yang dapat menggerakkan yang diam dan
mengeluarkan yang tersembunyi. Biasanya berisi keelokan wanita, khamar dan
lainnya dari perkara yang diharamkan –. Kalau ini, tidak diperselisihkan
keharamannya. (Fathul Bari, 2/442).

Ibnu Qudama rahimahullah
mengatakan, “Intinya, siapa yang menjadikan nyanyian sebagai pekerjaan, dia
didatangkan dan mendatangkan atau menjadikan anak lelaki atau anak perempuan
sebagai penyanyi untuk mengumpulkan orang-orang, maka dia tidak layak
dijadikan saksi. Karena hal ini bagi yang tidak mengharamkannya termasuk
kebodohan, kerendahan dan menjatuhkan wibawanya. Sedangkan bagi yang
mengaharamkannya, maka disamping bodoh, dia juga berdosa terang-terangan
dalam dosa serta menampakkan kefasikannya. Inilah yang dikatakan Asy-Syafi’i
dan Ashabur ro’yi (ulama mazhab Hanafi, pent).

Keempat:

Peneliti tidak dapat
menghukumi masalah ini dengan mengabaikan lirik nyanyian sekarang yang
rendahan dan seronok atau gerakan berlenggak lenggok atau pengaruh musik
yang membangkitkan syahwat serta pengaruh yang dihasilkannya. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah mengatakan, “Musik menutupi jiwa, mempengaruhi jiwa lebih besar
dibandingkan yang dilakukan tegukan gelas (khamar). Kalau mereka telah mabuk
dengan suara, maka telah halal kesyirikan baginya, lalu dia mendorong kepada
perzinahan dan kezaliman. Akibatnya mereka melakukan kesyirikan dan membunuh
jiwa yang diharamkan Allah, serta melakukan perzinaan. Tiga hal ini banyak
sekali terjadi pada pelaku musik.” (Majmu Fatawa, 10/417).

Ibnu Qoyim rahimahullah
mengatakan, “Yang kami lihat juga oleh selain kami dan kami ketahui dengan
pengalaman, tidaklah musik dan alat yang melalaikan merajalela dan meluas
pada suatu kaum, dan mereka sibuk dengannya kecuali Allah, kecuali mereka
akan dikuasai musuh. Diuji kekeringan, kelaparan dan pemimpin jahat. Orang
yang berakal hendaknya memperhatikan fenomena alam dan melihatnya. Wallahul
musta’an.” (Madarijus Salikin, 1/500).

Wallahu a’lam
.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android
at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android